Nuclear deal between Iran and the West has recently brought a significant impact on changing political map of the Middle East region. Many parties assumed that the nuclear agreement initiated by the United States is part of the scenario to keep the Middle East remained stable. For the past five years America was so overwhelmed in facing threats either by state actors or non-state. At least with the achievement of the Iranian nuclear deal America can be free from a potential direct threat of nuclear weapons. However, this step is not fully run smoothly because the negotiation was challenged by the US strategic ally, Saudi Arabia and Israel, both criticized the policy of the White House as an error. Behind security considerations, economic factor also played significant role in sealing the deal. What are the main reasons and dynamics behind the deal? This paper intends to review these dynamics by elaborating prominent reports and research findings.
Revolusi Iran tahun 1979 menjadi sebuah titik balik terhadap dinamika politik, budaya, dan sosial yang ada di Iran. Pemimpin revolusi, Khomeini, ingin Iran menjadi negara mandiri secara militer, salah satunya adalah membentuk milisi yang disebut Basij e-Mustafasin. Basij adalah milisi yang loyal terhadap Ayatollah yang terdiri dari masyarakat sipil. Basij telah begitu aktif terlibat dalam berbagai macam konflik yang melibatkan kepentingan Iran, seperti perang Irak-Iran 1980, perang Lebanon 2006, hingga perang sipil Suriah 2011. Menurut Paul Bucala (2017), penggunaan milisi Basij Iran dalam Perang Sipil Suriah yang terjadi dinilai tidak efektif, menghabiskan dana dan memunculkan korban yang cukup banyak, selain itu terdapat sebuah anomali dimana milisi yang seharusnya digunakan untuk bertahan di dalam teritorial negara (Calder, 1910). Namun hal ini tidak membuat Ali Khameini sebagai pemimpin agung untuk meminimalisir penggunaan milisi Basij pada Perang Sipil Suriah. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat konsistensi serta peningkatan dalam penggunaan milisi Basij dikarenakan budaya strategis yang mengakar dalam kultur militer Iran yaitu exporting sectarianism dan ideological army mobilization yang di sebutkan oleh Kamran Taremi (2014). Melalui hal tersebut peneliti akan menggunakan kerangka pemikiran Ole Waever tentang konstruksi sejarah sebagai identitas utama dari budaya strategis. Peneliti juga menggunakan kerangka beprikir militerisasi sipil oleh Julian Schofield (2007) untuk melihat fenomena milisi yang ada di Iran. Laporan penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa adanya sebuah penyerapan pemahaman kolektif budaya strategis dalam perumusan kebijakan luar negeri Iran khususnya dalam bidang militer.
Perempuan dalam konflik / Adinda Tenriangke Muchtar -- Perdamaian dari sudut pandang feminis / A.A. Sg. Dwinta Kuntaladara -- Perkosaan perempuan dalam konflik / Fitri Bintang Timur -- Migrasi internasional dan ketidaksetaraan global / Pande K. Trimayuni -- Peningkatan arus migrasi TKW-PRT ke PEA / Mita Yesyca -- Perkawinan dalam kajian ekopolin ilmu hubungan internasional / Andy Yentriyani -- Hak perempuan adalah hak asasi manusia, perjuangan di benua Afrika / Witania Larasati dan A.A. Sg. Dwinta Kuntaladara -- Konvensi perempuan, sebuah peluang menggugat ketidakadilan berbasis gender di Iran / Septi Shilawati.
Global Governance encompasses the world's political activities and the management of issues and phenomena that occurred on a nation-state, involving contributions from regional to the international environment. In the global security sector, there are numerous efforts carried out by a country to counter such external threats that can cause destabilization. Non-proliferation and nuclear developments for peace are such issues of the global defense-security concern. The attempts to control and ensure the use of nuclear has been carried out by enacting international law, resolutions, and multilateral agreements. The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) is one kind. Influencing the world's security, politics, and economy, JCPOA began to be disrupted since the U.S. withdrawal as one of the parties that initially signed the agreement. This research aims to analyze The Collapse of Global Governance: When the U.S. Leaves the Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). This research used a qualitative method with analysis based on secondary data, validated by the triangulation technique in this qualitative study. The analytical procedure uses secondary data from journals, media, and literature related to the Iran nuclear agreement and previous analyses discussing the U.S. exit from the JCPOA agreement. The analysis technique performs by arranging the data sequence, organizing the data into a pattern, category, and basic description. This research has found that Global Governance has fundamental weaknesses in its application. Through an analysis of the U.S. exit from the Iran nuclear agreement, it can be said that the reins of control are in the hands of the U.S. The Trump administration's policy on behalf of the U.S. to leave JCPOA to thwart the achievement of Global Governance and significantly affects the multi-national economic, political, and security order. The implementation of Global Governance and the issues also raised based on the interests of the superpowers. ; Global governance meliputi kegiatan politik dunia dan pengelolaan isu dan fenomena yang terjadi pada suatu negara kebangsaan, yang melibatkan kontribusi dari lingkungan regional hingga internasional. Di bidang keamanan global, banyak upaya yang dilakukan oleh suatu negara untuk melawan ancaman eksternal yang dapat menyebabkan destabilisasi. Non-proliferasi dan perkembangan nuklir untuk perdamaian adalah isu-isu yang menjadi perhatian pertahanan-keamanan global. Upaya pengendalian dan penjaminan penggunaan nuklir dilakukan melalui penetapan hukum internasional, resolusi, dan kesepakatan multilateral. The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) adalah salah satunya. Mempengaruhi keamanan, politik, dan ekonomi dunia, keberadaan JCPOA mulai terganggu sejak mundurnya Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu pihak yang awalnya menandatangani perjanjian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Runtuhnya Global Governance: Saat Keluarnya AS dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis berdasarkan data sekunder, divalidasi dengan teknik triangulasi dalam penelitian kualitatif ini. Prosedur analitis menggunakan data sekunder yang diambil dari jurnal, media, dan literatur terkait perjanjian nuklir Iran dan analisis sebelumnya yang membahas keluarnya AS dari perjanjian JCPOA. Teknik analisis dilakukan dengan menyusun urutan data, mengorganisasikan data ke dalam suatu pola, kategori, dan deskripsi dasar. Penelitian ini menemukan bahwa global governance memiliki kelemahan mendasar dalam penerapannya. Melalui analisis keluarnya AS dari perjanjian nuklir Iran, dapat dikatakan bahwa kendali kendali berada di tangan AS. Kebijakan pemerintahan Trump mengatasnamakan AS keluar dari JCPOA untuk menggagalkan pencapaian global governance dan secara signifikan mempengaruhi tatanan ekonomi, politik, dan keamanan multi-nasional. Implementasi global governance dan permasalahannya juga diangkat berdasarkan kepentingan negara adidaya.
The Gulf coalition country led by Saudi Arabia simultaneously severed its diplomatic relations with Qatar in early June 2017. This action was motivated by Saudi Arabia's accusations of Qatar's proximity to several Islamic opposition organizations such as the Muslim Brotherhood and Hamas and its bilateral tendencies with Iran. This resentment continued with the launching of a land, sea and air blockade against Qatar's territory. Qatar dismissed the accusations and saw the Arab coalition's actions as an intervention against its foreign policy. In addition, Turkey as an ally of Qatar initially responded to the diplomatic crisis in a neutral manner and put forward mediation efforts. However, these efforts failed due to sabotage by the Gulf coalition. Turkey later denounced the blockade and immediately signed a military agreement to speed up the deployment of troops to Qatar. This article aims to analyze the reasons for Turkey's shift from initially neutral to pro-Qatar by strengthening its bilateral relations with Qatar through a series of help.