Suchergebnisse

Berbicara mengenai istilah fundamentalisme, banyak sarjana yang mengakui bahwa penggunaan istilah "fundamentalisme" itu problematik dan tidak tepat. Istilah ini seperti dikatakan William Montgomery Watt, pada dasarnya merupakan suatu istilah Inggris kuno kalangan protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-kitab harus diterima dan ditafsirkan secara rafiah. Istilah sepadan adalah integrism yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian yang sama pada kaum Katolik Romawi. Kaum fundamentalis sunni menerima Al-Qur'an, sekalipun di dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu. Kaum Syi'ah Iran, dalam pengertian umum bahwa para fundamentalis tidak terikat pada penafsiran Al-Qur'an. Montgomery Watt, menjelaskan bahwa kelompok fundamentalis Islam merupakan kelompok muslim yang sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta kehendak mempertahankan secara utuh. Sesungguhnya fundamentalisme Islam merupakan salah satu fenomena yang baru dalam percaturan politik dunia. Barat sesungguhnya telah mengalami kegagalan dalam menata politik dunia, karena itu mereka berupaya mengganti tatanan dunia baru berdasarkan interpristasi politik Islam menurut pemikiran mereka, namun selama ini, hal tersebut hanya sebatas wacana atau retorika semata

Fundamentalism does not just show up, because fundamentalism is a phenomenon that always appears in every religion and belief which represents a rebellion against moderniry. Indeed only a small partial fundamentalists who peiform acts of terrorism, but its impact is global For groups. for groups who do not like the violence come to enjoy as a result of a handful of Islamic groups called fanatics or radicals. Islamic fundamentalism is one of the new phenomenon in world politics. Western world has experienced a failure in managing world politics, so they try to replace the new world order based on the political interpretation of Islam by thinker

Christian Johannes Neddens ; Inhaltsverzeichnis ; Volltext // Exemplar mit der Signatur: München, Bayerische Staatsbibliothek -- 2010.40758

Michael Schramm: Der unterhaltsame Gott. Theologie populärer Filme. Paderborn: Schöningh 2007, 168 S., ISBN 978-3-506-76444-7, € 22,90; Dietmar Regensburger, Gerhard Larcher (Hg.): Paradise Now!? Politik - Religion - Gewalt im Spiegel des Films. Marburg: Schüren 2009 (Reihe Film und Theologie, Bd. 9), 303 S., ISBN 978-3-89472-531-0, € 24,90;

Michael Schramm: Der unterhaltsame Gott. Theologie populärer Filme Dietmar Regensburger, Gerhard Larcher (Hg.): Paradise Now!? Politik - Religion - Gewalt im Spiegel des Films

While feminist theology is not necessarily Christian, it emerged out of Christian European and North American contexts. This chapter focuses on postcolonial feminist theological interventions in Christianity because of the inextricable connections between Christianity, gender, racism, and European colonialism. Postcolonial feminist theology asserts that Christian actors and epistemologies—frameworks of knowledge—perform a central role in European colonial projects of the past and present. Thus, Christianity's continuing significance in national and global politics; individual, local, and national identity formation; and the constitution of gendered subjectivity necessitates further analysis and critique (Donaldson and Kwok 2002). While the particular conditions of European colonial regimes varied enormously over time and between each colonized territory, Christianity, in general, spread alongside political and cultural colonization, through the dismantling, exclusion, and disparagement of indigenous peoples' worldviews. Widespread hostility and suspicion of indigenous traditions and practices resulted from unconscious and overt Eurocentric evaluations of indigenous cultures. Eurocentrism, the measuring of other cultures according to European Christian social and cultural ideals, also encouraged colonizers to interpret indigenous gender roles, social structures, and systems of knowledge as evidence of savagery and the absence of ''civilization.'' Therefore, postcolonial feminist theologies are particularly concerned with imagining and enacting new concepts of, and relationships with, God that depart from the imperialistic theologies of colonizer cultures and restore indigenous traditions and practices as inherent aspects of their theological imaginaries.

Politisch engagierter Glaube im Streit: Neuere Veröffentlichungen zu Politischer Theologie, Katholischer Soziallehre und Theologie der Befreiung: Ockenfels, Wolfgang: Politisierter Glaube?, Bonn: IFG-Verlagsges. 1987 (= Sammlung Politeia 33), 346 S., Ln., DM 93,—. Büchele, Herwig: Christlicher Glaube und politische Vernunft, Wien—Z ürich-Düsseldorf: Europa-Verlag, Patmos 1987, 256 S., Ppb., DM 28,—. Hofmann, Rupert (Hrsg.): Gottesreich und Revolution, Münster: Regensburg 1987, 215 S., Kart. DM 19,80.

This is an Accepted Manuscript of a book chapter published by Bloomsbury Academic in Political Theologies in Orthodox Christianity. Common Challenges – Divergent Positions on 15-06-2017, available online: https://www.bloomsbury.com/us/political-theologies-in-orthodox-christianity-9780567674135

Als wissenschaftliches Forschungsparadigma, das seinen Hauptfokus auf die Reflexion der vielfältigen Interdependenzen von Religion und Öffentlichkeiten richtet, ist Öffentliche Theologie grundsätzlich offen für unterschiedliche religiöse und konfessionelle Aneignungen. Der vorliegende Beitrag nährt sich dem Paradigma aus evangelisch-lutherischer Perspektive, indem er aufzeigt, inwiefern Öffentliche Theologie eine für die Gegenwart besonders anschlussfähige Interpretation von Martin Luthers politischer Ethik erschließt und deren theologische Anliegen in besonderem Maße unter den Bedingungen einer modernen Demokratie im 21. Jahrhunderts zur Geltung bringen kann.As a scientific research paradigm that focuses primarily on the reflection of the diverse interdependencies between religion and public spheres, Public Theology is naturally open to different religious and denominational appropriations. The present article seeks to appropriate the paradigm from a Protestant-Lutheran perspective by showing how Public Theology provides a contemporary interpretation of Martin Luther's political ethics. In this context, the paper argues that Public Theology can particularly emphasize the theological concerns of Lutheran political ethics in a modern democracyof the 21st century?

Abstrak: Theologi Filsafat Politik Islam. Theologi merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan ketuhanan. Tuhan telah memberikan fasilitas bagi manusia untuk menjadi manusia yang bijak dan bermoral. Kedamaian kemungkinan akan hadir pada suatu negeri jika orang-orang di dalamnya terkhusus para pengambil kebijakkan mengindahkan hal-hal yang menjadi pokok dalam hidup manuisa. Manusia, negara, agama, politik merupakan bagian-bagian yang sulit untuk dipisahkan yang memang keempatnya merupakan sesuatu pertalian yang mengait antara satu sama lain. Singkat kata untuk menjadikan suatu negara menjadi yang lebih baik maka tentunya diawali dengan pemimpin yang bijak dalam bersikap. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan teologi politik dalam dunia islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjabarkan bagaimana filsafah dunia politik dalam Islam. Penelitian ini menggunakan Metode metode deskriptif kualitatif, sedangkan jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research). Dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data atau variable yang berkaitan dengan pembahasan penelitian. Pengumpulan data dapat berupa buku, artikel, majalah, jurnal dan lain sebagainya. Metode dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dan teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan proses pengelolaan, mereduksi dan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Theologi politik Islam dapat dikatakan secara singkat bahwa bagaimana mekanisme dan aturan bernegara ini dihiasi dengan nilai-nilai agama. Para politisi dalam mengambil berbagai macam kebijakkan hendaklah didasari atas kepentingan rakyat, kepentingan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Dalam hal ini sangat penting dipahami, Islam sebagai agama yang terakhir dibawa oleh nabi Muhammad Saw telah mengajarkan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kepedulian, nilai-nilai kearifan, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan. Persamaan derajat dan martabat manusia lebih penting dari manusia itu sendiri. Filsafat politik Islam hendaknya mewarnai pola hidup yang baik bagi para politisi dalam menjalankan tugas untuk kepantingan rakyat, mengemban amanah rakyat hendaklah didasari oleh nilai-nilai keberagamaan yang matang sehingga nantinya memberikan dampak yang baik bagi masyarakat dalam hidup bernegara, berbangsa, beragama, bermasyarakat yang hidup di negara.

Wortwörtliche politische Auslegung der Bibel für die Politik von heute. ; Word for word interpretation of bible for politics today.

In his essay Land und Meer from 1942 on the evolution of world history, the political philosopher Carl Schmitt is making a fundamental distinction between the rough ("gekerbtes") and smooth ("glatte") areas of the globe, i.e. between Land and Sea. While according to Schmitt the simple roughness ("Einkerbungen") of the land also promotes and sustains political stability and continuity, the open sea, on the other hand, represents and supports a distribution and flexibility of power ("Entortung des Absoluten"). From the great discoveries, and onwards, there is a continous drift in the political history of the world, from land- to sea-domination. The continentally based concept of state-souvereignty was gradually overcome by the forces of trade and shipping, which revolutionized the dimension of space. According to Schmitt power and domination can emanate from other sources than the brute military force traditionally connected to territorial domination. In his essay Carl Schmitt links sea-domination to a specific type of power expansion which is anarchic in character, and which, in turn, he connects with two highly questionable analytical or rather philosophical categories which he labels "a-teleological" and "a-historical being".

Franz Segbers hat 2015 ein Buch veröffentlicht, das den Titel trägt: "Ökonomie, die dem Leben dient. Die Menschenrechte als Grundlage einer christlichen Wirtschaftsethik". Ich habe zu diesem Buch mehrere Stellungnahmen verfasst. Auf meine 2015 im ORDO-Jahrbuch (Band 66) erschienene Rezension hat Franz Segbers mit einem Brief reagiert, der hier mit seinem Einverständnis abgedruckt wird (Anhang 1). Ebenfalls abgedruckt wird mein Antwortbrief (Anhang 2), ein zweiter Brief von Franz Segbers an mich (Anhang 3) sowie meine abschließende Replik (Anhang 4). Die Publikation dieses Briefwechsels soll unserem gemeinsamen Anliegen dienlich sein, eine konstruktive wirtschaftsethische Debatte zwischen Theologen und Ökonomen zu fördern. ; In 2015, Franz Segbers published a book titled "Ökonomie, die dem Leben dient. Die Menschenrechte als Grundlage einer christlichen Wirtschaftsethik" (Life-Serving Business. Human Rights as the Foundation of a Christian Business Ethics). I wrote several comments on his book. One review was published in 2015 in ORDO (vol. 66). Franz Segbers reacted with a letter, which is documented here with his consent (appendix 1). Also documented is my answer letter to him (appendix 2), his reply (appendix 3) and my final answer (appendix 4). This exchange of letters is published here because we share the same goal of promoting a constructive debate on business ethics between the disciplines of theology and economics.

hrsg. von Jacob Taubes ; Volltext // Exemplar mit der Signatur: München, Bayerische Staatsbibliothek -- 85.1327-3

Riccardo Panattoni ; Inhaltstext ; Inhaltsverzeichnis ; Volltext // Exemplar mit der Signatur: München, Bayerische Staatsbibliothek -- PVA 2006.810