Suchergebnisse
Filter
458 Ergebnisse
Sortierung:
Den ny Antropologi
In: Man: the journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Band 11, Heft 1, S. 132
Politieke antropologie: ein terreinverkenning
In: Man: the journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Band 10, Heft 2, S. 330
KONSEP RESIPROSITAS DALAM ANTROPOLOGI EKONOMI
Antropologi ekonomi mempunyai kecenderungan yang khas dalam mengkaji masalah perekonomian yaitu banyak menaruh perhatian terhadap berbagai gejala penukaran yang tidak melibatkan penggunaan uang sebagai mekanisme pertukaran. Berbagai geiala pertukaran tersebut sering dikenal dengan nama resiprositas dan redistribusi. Kecenderungan disiplin antropologi ekonomi seperti itu bekaitan dengan orientasi studi antropologi yang banyak menaruh perhatian pada masyarakat-masyarakat di luar Eropa. Ketika awal perkembangan disiplin antropologi ekonomi, umumnya gejala-gejala penukaran yang terjadi dalam perekonomian di masyarakat-masyarakat di luar Eropa tersebur tidak menggunakan mekanisme uang sebagaimana seperti terjadi di Eropa. Kecenderungan antropologi ekonomi banyak menaruh perhatian padagejala penukaran resiprositas dan redistribusi disertai pula dengan cara kerja disiplin ini yang berbeda dengan disiplin ilmu ekonomi. Dalam melihat gejala pertukaran, antropologi ekonomi tidak hanya melihat gejala tersebut sebagai gejala ekonomi semata, melainkan sebagai gejala kebudayaan yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial.
BASE
PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan agama sangat akrab dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia, berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan pasif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Melalui pendekatan antropologi dapat dilihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini seseorang ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaan. Pendekatan antropologi ini dapat dilihat dalam hubungan dangan mekanisme pengorganisasian. Melalui pendekatan antropologis terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia. Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab masalah kehidupan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi. Artinya, manusia dalam memahami ajaran agama, dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dangan cabang-cabangnya.
BASE
KONTEKSTUALISASI (PENDIDIKAN) ANTROPOLOGI INDONESIA
Dunia pendidikan Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang ambivalen. Pendidikan yang seharusnya dapat secara positif membekali manusia dengan modal pengetahuan praktis maupun substantif yang berguna justru mempunyai potensi yang sebaliknya, yaitu menjadi kendala bagi pembangunan berkelanjutan karena tuntutan-tuntutan praktis, khusus, dan sesaat yang dikehendaki oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan sosial yang selalu berubah. Fakta tersebut menjadi latar belakang penulisan artikel ini yang bertujuan mengajukan sebuah wacana tentang kontekstualisasi pendidikan Antropologi di Indonesia agar pendidikan dapat berfungsi sebagaimana idealnya. Setelah melakukan pengamatan terhadap fakta yang ada dengan menggunakan analisis berbasis teori-teori Antropologi dan ilmu sosial, diperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya, kontekstualisasi pendidikan Antropologi Indonesia harus diupayakan untuk mengisi nasionalisme Indonesia dengan jiwa baru untuk menghadapi krisis akulturasi akibat sistem komunikasi global. Dalam pendidikan antropologi, para peserta didik secara total mestinya diberi kesempatan mengembangkan daya apresiasi, empati/afektif dan kognitifnya sesuai dengan pengalaman hidupnya untuk berwacana dengan subyek yang dipelajarinya. Untuk mewujudkan hal itu salah satu pendekatan yang sesuai adalah pendekatan reflektif partisipatoris agar dapat menjangkau ranah kognitif dan simbolik suatu identitas sosial budaya yang sedang berubah, sehingga akan sampai pada hasil yang lebih bersifat pengetahuan reflektif dan apresiatif, yaitu pada penemuan eksistensi manusia itu sendiri. Education in Indonesia is currently in an ambivalent state. Education should positively equip people with practical and substantive knowledge capital that has the potential to be useful, instead of becoming an obstacle to sustainable development because of the practical, specific, and momentary demand of the ever-changing economic, political, and social interests. The fact has encouraged the authors to write this article which aims to propose a discourse about the contextualization of educational anthropology in Indonesia in order that education can serve its fundamental purposes. After observing the fact by using analysis involving the theories of anthropology and social sciences, it is obtained several conclusions, among them is that contextualization of Indonesian Anthropology education should be made to fill the new spirit of Indonesian nationalism with acculturation to deal with the crisis caused by global communication system. In anthropology education, the learners in total should be given the opportunity to develop the appreciation, empathy / affective and cognitive experience of his life according to a learned discourse on the subject. To realize that, one appropriate approach is reflective participatory approach in order to reach the cognitive and symbolic discourse of a changing socio-cultural identity, so it will create more reflective and appreciative knowledge, namely the discovery of human existence itself.
BASE
Antropologi Politik Helmuth Plessner
In the contexts of contemporary social and political thought, a fundamental anthropological and political problem is thedebate about how deeply the essence of the human related to political praxis. The purpose of this article is to explore the idea ofHelmuth Plessner's political anthropology as the middle paradigm, between political theology and economic theology. In thefirst and second parts of this article, Plessner's philosophical anthropology will be presented, which focuses on the concept of theeccentric position of human being. Based on this concept, Plessner attempted to show the mutual interpenetration of philosophyand politics, which will be described in the third part of this article. Plessner insists on the importance of a philosophicalanthropology of the political for practical politics itself. Some conclusion will be drawn concerning the importance of smalldimensions of Plessner's political anthropology in relation to the current political context.
BASE
Culturele antropologie: een Inleiding
In: Man: the journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Band 8, Heft 2, S. 319
Antropologie van de moderne geschiedwetenschap?
J. Tollebeek, Fredericq en zonen. Een antropologie van de moderne geschiedwetenschap The Anthropology of Modern Historiography?Jo Tollebeek's book about the Belgian historian Paul Fredericq is meant to be an example of 'the anthropology of modern professional history'. The author believes that this anthropology goes beyond older genres. The traditional historiography focused too heavily on the intellectual content of history writing, whereas the sociology of knowledge only looked at the infrastructure of history as a profession. The post-modern deconstruction of the political role of history writing has become rather reductionistic. The anthropological gaze has to combine all of these points of view and then try to embed them in background information. Does Tollebeek succeed in doing this? We certainly get a rich picture of content, social context and professional practice. The thrills of archival research, the routine of day-to-day academic life, and the (management of) emotional ties within the community of scholars in particular, all come alive. It comes at a price, though. The precision and specificity of micro-history make comparisons within larger frameworks and developments difficult. This macro level makes more selection and simplification inevitable.
BASE