Politics, coming back to its original meaning which might be defined as influencing other people and which is involves the making of a common decision for people, then, life is never politics-free. When we are thinking, we are contributing in the political life, how to influence or how to be influenced, how to make a decision in life or how to follow a decision. Politics contain of many dimensions, one might think politics in a negative or positive way depending on which dimensions he stick the politics with. Political party is one of the main institutions in the political life which used in practicing the democracy as the representative system needed by the community. It used as a media to transfer the political messages from the community to the government, as peoples' media to send their aspiration to the people 'above', which existence is influencing the development of the policies of the country depending on its effectiveness. As a Muslim-Largest country, Islam has a very important role in Indonesia's political zone. Though, not everything that has an "Islam" name is able to completely represent Islamic values and so some "non-Islam" might also represent Islamic ethical values. The point of this article is to focus more on how is the relationship between politics and Islam in Indonesia by observing the development of Islamic Political Parties and its phenomena. It will be well observed by the historic-phenomenology approach, which is describing and observing the history of Islamic Political Parties in Indonesia and the social facts that happened in the society
Indonesia has a long history in the agricultural management sector. The economic development in Indonesia shows that the development of the agricultural sector has a made great contribution to the change in the Indonesian economy. Agriculture also has an important role in providing employment. providing raw materials for other sectors. as foreign exchange. and as the basis for the food security of the Indonesian population. In the national policy. the government has prioritized the subsidies in the agricultural sector to stimulate it to be more productive. This research has some aims i.e.: to describe the role of the agricultural sector based on the distribution of household income groups in Indonesia; to describe the impact of household income level groups if the subsidies in the agricultural food sector or Indonesia have increased. The research was conducted by using the analysis of Social Accounting Matrix (SAM) with 2008 database. The food sectors are classified into: sector production of: rice. corn and soybeans. other crops. poultry meat (traditional farms). poultry meat (medium and large farms). eggs. forestry and hunting. fishing and others. The results of the study after the policy injection (simulation) show that the food industry has experienced a significant increase in productivity among the economic sectors. Agricultural entrepreneurs are the group that experienced a high increase in income among farming households. In addition. linkage analysis showed that the commodities of other food industries has experienced forward and backward linkages.
Masalah gizi utama menjadi semakin serius akibat terjadi krisis ekonomi dan politik yang diperparah dengan adanya berbagai bencana (kekeringan, dll) di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kediri. Bencana kekeringan yang terjadi di Jawa Timur, termasuk di Kab. Kediri, telah berdampak pada penurunan produksi dan mempengaruhi ketersediaan pangan ditingkat rumahtangga, terutama pada keluarga miskin (gakin). Disisi lain hasil PSG Jatim (2000) menunjukkan Kabupaten Kediri memiliki prevalensi KEP (bayi dan balita) tertinggi di Jawa Timur (KEP nyata 10,20% dan KEP total 37,09%). Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis konsumsi, status kelaparan dan status gizi kelompok rawan (balita dan ibu) pada keluarga miskin di daerah rawan pangan Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan disain studi cross sectional . Populasi penelitian adalah keluarga miskin (berdasarkan kriteria kemiskinan yang berlaku setempat) di daerah rawan pangan gizi kecamatan terpilih Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sampel penelitian adalah keluarga miskin yang mempunyai balita di daerah rawan pangan-gizi di wilayah terpilih di Kabupaten Kediri yaitu Kecamatan Semen dan Gampengrejo. Responden adalah ibu dan ayah balita. Besar sampel penelitian ditetapkan secara Quota Sampling, yaitu sebesar 50 keluarga miskin (gakin). Secara purposif dengan memperhatikan aspek proporsional, maka ditetapkan secara langsung besar sampel di wilayah kecamatan Semen (barat sungai) yaitu 30 keluarga dan di kecamatan Gampengrejo (timur sungai) yaitu 20 keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga di kedua kecamatan sebagian besar (>50,0%) terdiri dari 5-6 orang (tergolong keluarga sedang), orang tua (ayah dan ibu) balita (>70,0%) berpendidikan masih rendah (tamat SD) dengan usia ibu antara 20 � 30 tahun dan ayah 30 - 40 tahun, bermata pencaharian utama sebagai buruh bangunan dan buruh tani dengan pendapatan rendah (masih dibawah garis kemiskinan). Ketersediaan bahan makanan keluarga miskin pada saat paceklik untuk jenis pangan pokok beras atau campuran ( beras- singkong, beras jagung) sebagian besar (>50%) menyatakan relative cukup makan untuk sehari-hari, namun jenis pangan lain (lauk, sayur, buah) dirasakan sebagian besar keluarga (>70%) adalah kurang, bahkan sebagian lain dalam keadaan sangat kurang. Kebiasaan makan keluarga miskin saat tidak paceklik sebagian besar 3 kali sehari dengan variasi antara 2 -3 kali per hari, namun pada saat paceklik bervariasi 1 - 3 kali per hari, bahkan ada sebagian kecil keluarga (6,7%) hanya makan 1 kali/hari. Paceklik menyebabkan perubahan kebiasaan makan (jumlah dan jenis) pada sebagian (> 25 %) keluarga miskin, terutama di Semen. Perubahan jenis yang dikonsumsi berlangsung secara bertahap, terutama jenis makanan pokok yaitu awalnya beras dicampur dengan jagung atau lainnya, kemudian makin lama porsi campuran makin besar. Makanan pokok dan sayuran dikonsumsi rutin tiap hari, namun pangan hewani dan buah masih sangat jarang dikonsumsi pada saat paceklik maupun tidak paceklik. Hidangan menu keluarga miskin di kecamatan Semen sebagian besar (50,0%) cukup sederhana (makanan pokok dan sayur), sedangkan di sebagian besar (42,0%) terdiri dari makanan pokok dan sayuran dan sebagian lainnya (42,0%) terdapat tambahan lauk berupa lauk nabati, (tahu dan tempe). Sumber protein sebagian besar bertumpu pada protein nabati yang berbasis kacang-kacangan dan pangan hewani relatif jarang menjadi bagian menu keluarga di kedua kecamatan sebagian besar (50,0%) masih tergolong defisit berat atau berisiko kelaparan. Keluarga miskin di Semen lebih banyak mengalami defisit berat ( 60%) normal (baik), namun saat paceklik terjadi peningkatan kejadian balita KEP, meskipun masih dalam taraf ringan (KEP ringan). Kejadian KEP balita di Semen banyak terjadi pada kelompok usia 12 - 35 bulan, sedangkan di Gampengrejo pada kelompok usia 24 - 47 bulan. Status gizi ibu bervariasi dari kurus tidak sehat hingga obesitas, namun sebagian besar (>70%) tergolong normal. Ibu balita kurang berisiko mengalami masalah intake yang mengarah kelaparan dibandingkan balita. Kejadian KEP (ringan dan sedang) pada balita di kedua kecamatan terjadi pada keluarga dengan rerata tingkat konsumsi kurang dari 70% AKG maupun 81-120 % AKG. Namun demikian KEP lebih banyak terjadi pada keluarga yang memiliki rerata tingkat konsumsi kurang 70 % AKG Energi. Keadaan konsumsi keluarga dalam taraf kelaparan maupun tidak kelaparan, status gizi balita dan ibu balita di kedua kecamatan sebagian besar masih tergolong baik (normal), meskipun sebagian di Kec. Semen (36,7%) dan Kec. Gampengrejo (45,0%) balita mengalami KEP dengan berbagai tingkat (ringan dan sedang) dan ibu tergolong kurus (15,4 % di Kec. Semen dan 20,0% di Kec. Gampengrejo). Ibu balita (isteri) perlu diberdayakan dengan pembekalan ketrampilan pengolahan aneka ragam makanan agar dapat menyediakan menu keluarga beragam dan seimbang. Selain itu masalah gizi pada keluarga miskin di daerah rawan pangan tidak mungkin hanya diselesaikan dari sisi kesehatan saja, apabila aneka kemiskinan tidak dikurangi dan keadilan semakin merata. Masalah gizi harus diupayakan menjadi isu politis guna memperkuat komitmen.
Vulnerable Children and Children with Special Condition (Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan or AKKR) are children who must receive assistance and motivation to achieve their rights. In practice in real life, they are temporarily forced to be in correctional institutions/detention centers/Institute for Special Development Children (LPKA) as a result of violating the law. It should not make them shunned, but instead, they must be assisted. Vulnerable Children and Children with Special Condition need enforcement of the fulfillment of their rights. The existence of Sahabat Kapas as a nonprofit non-governmental organization (NGO) located in Karanganyar, Central Java, Indonesia, provides concerns and solicitudes for Vulnerable Children and Children with Special Condition. This research aims to analyze and describe the forms of social practice based on habitus in Sahabat Kapas organization. This research used a qualitative research method with Bourdieu's genetic structuralism approach. Informants were determined using purposive sampling techniques. Data collection was performed using participant observation techniques in the field, in-depth interviews, and documentation studies. Data were analyzed in three stages, including data reduction, data presentation, and ended with concluding. Data were verified by source triangulation. The results showed that Sahabat Kapas became an alternative to assist Vulnerable Children and Children with Special Condition conducted in correctional institutions/detention centers/Institute for Special Development Children (LPKA). The social practices conducted by Sahabat Kapas in assisting Vulnerable Children and Children with Special Condition are following the capital they have and the history of the habitus they conduct. Relational social capital is at stake by assistants with prison officers and how to build relationships with children. Economic capital refers to the efforts made by Sahabat Kapas to get funds to support assistance through entrepreneurship and opening donations. Cultural capital includes the whole intellectual/knowledge gained by assistance through training that is useful to assist children in correctional institutions/detention centers/Institute for Special Development Children (LPKA). Symbolic capital is manifested in the form of awards from the government for Sahabat Kapas and assistance awards for children in the form of gifts. ; Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan (AKKR) adalah anak yang harus mendapat bantuan dan motivasi untuk mendapatkan haknya. Pada praktiknya dalam kehidupan nyata, mereka untuk sementara waktu terpaksa berada di Lapas/Rutan/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) akibat melanggar hukum. Seharusnya hal itu tidak membuat mereka dijauhi, tapi malah harus dibantu. Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan membutuhkan penegakan hukum dalam pemenuhan haknya. Keberadaan Sahabat Kapas sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) nirlaba yang berlokasi di Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia, memberikan perhatian dan kepedulian bagi Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan bentuk-bentuk praktik sosial berbasis habitus di organisasi Sahabat Kapas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan strukturalisme genetik Bourdieu. Informan ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi informan di lapangan, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dalam tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan. Data diverifikasi dengan triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sahabat Kapas menjadi alternatif pendampingan Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan yang dilaksanakan di Lapas/Rutan/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Praktik sosial yang dilakukan Sahabat Kapas dalam mendampingi Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan mengikuti modal yang mereka miliki dan riwayat habitus yang mereka lakukan. Modal sosial relasional dipertaruhkan oleh pendamping dengan petugas lapas dan bagaimana membangun hubungan dengan anak. Modal ekonomi mengacu pada upaya Sahabat Kapas untuk mendapatkan dana bantuan melalui wirausaha dan membuka donasi. Modal budaya mencakup seluruh intelektual/pengetahuan yang diperoleh dengan bantuan melalui pelatihan yang berguna untuk mendampingi anak di Lapas/Rutan/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Modal simbolik diwujudkan dalam bentuk penghargaan dari pemerintah kepada Sahabat Kapas dan penghargaan pendampingan kepada anak-anak berupa hadiah.