Politik steht zunehmend unter dem Einfluss von Religion, insbesondere in Nord- und Südamerika. Führer der evangelikal-pfingstlichen Bewegung verschaffen sich dort immer mehr politische Macht und bilden eine religiöse Rechte. Aus dem Leiden an sozialer Ungleichheit formen sie ein rückschrittliches Wählerpotenzial und durchlöchern die Grenze zwischen Religion und säkularer Politik. Dagegen positionieren sich auf der Linken religiöse Graswurzelbewegungen, die die Erfahrungen sozialer Ungleichheit in ethischen Protest umleiten. Heinrich Wilhelm Schäfer analysiert diese religiös-politischen Kämpfe um gesellschaftliche Macht und Laizität in den Amerikas und diskutiert die Möglichkeiten eines post-säkularen Dialogs.
Demokrasi Terpimpin merupakan pemikiran Presiden Soekarno yang dianggap dapat mengatasi segala kemelut yang di akibatkan oleh sistem multipartai di Indonesia. Banyaknya partai politik yang saling menjatuhkan dalam kabinet menjadikan pemerintahan tidak stabil dan menghambat terlaksananya program kabinet. Perpecahan yang terjadi di dalam pemerintahan karena sistem multipartai ini bahkan lebih parah dari konflik ras dan keagamaan. Sehingga pembubaran partai adalah agenda utama dalam menjalankan demokrasi terpimpin.Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1) Bagaimana situasi politik di Indonesia pada masa demokrasi terpimpin, 2) Mengapa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1960 terjadi pembubaran partai, 3) Apa dampak pembubaran partai bagi kehidupan politik di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan situasi politik di Indonesia pada masa demokrasi terpimpin, untuk menganalisis hubungan Dekrit Presiden 5 Juli 1960 dengan pembubaran partai, dan untuk menganalisis dampak pembubaran partai bagi kehidupan politik di Indonesia.Penelitian sejarah ini menggunakan metode penelitian sejarah meliputi heuristik, kritik, interpretasi hingga historiografi. Penelitian sejarah yang benar tidak terlepas dari proses heuristik yakni penelusuran sumber. Penelusuran sumber primer seperti Perundang-undangan antara lain PP No.6 Tahun 1960, Kepres No.200 tahun 1960, Penpres N0.7 tahun 1960 dan sumber pemberitaan media cetak sezaman dari surat-surat kabar Bintang Timoer, Abadi, Pikiran Rakjat, Nasional dan Sket masa pada tahun 1959-1966. Penelusuran sumber sekunder berupa buku-buku refrensi yang terkait dengan pembubaran partai politik Masyumi dan PSI pada masa demokrasi terpimpin.Berdasarkan sumber yang di dapat penelitian ini mendapatkan hasil sebagai berikut. 1) Situasi politik mengalami kemacetan akibat sistem multipartai yang menyebabkan sering jatuhnya kabinet, terjadi perbedaan ideologi antara presiden yang pro PKI dengan Partai Masyumi dan PSI, terjadi kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah yang menyebabkan peristiwa PRRI 2) Kekuasaan presiden semakin besar sejak dikeluarkanya Dekrit 5 Juli 1960 sebagai awal demokrasi terpimpin, presiden membubarkan Partai Masyumi dan PSI yang tidak setuju dengan konsep demokrasi terpimpin dan beberapa pemimpin terlibat dalam PRRI. 3) Dampak politik yang ditimbulkan dari pembubaran partai adalah adanya penyimpangan konstitusi yang dilakukan presiden saat membubarkan Masyumi dan PSI dan semakin kuatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan, dampak ekonomi Indonesia mengalami devisit anggaran karena banyaknya pengeluaran untuk menumpas anggota PRRI bersamaan dengan Indonesia keluar dari PBB, sehingga Indonesia tidak mendapat bantuan investor dan IMF, serta akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI yang terlibat PRRI ditangkap dan pemimpin yang tidak terlibat juga dipenjara. Kata Kunci : Demokrasi Terpimpin, Pembubaran Partai, Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI)
ABSTRAK. Menguatnya politik identitas di Indonesia pasca reformasi telah melahirkan formasi arsitektur baru yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Identitas budaya terkait indigenitas menjadi bagian dari politik identitas yang menurut sebagian pengamat politik disinyalir dimanfaatkan para elit dan penguasa untuk kepentingan politik kekuasaan. Ironisnya, dalam bidang arsitektur, definisi tentang identitas ini justru semakin tidak jelas. Definisi-definisi ini berputar pada debat tentang pencarian jati diri yang tidak pernah selesai dan sering diasosiasikan dengan proses untuk memunculkan jati diri kebudayaan sebagai jawaban atas tantangan universalitas arsitektur modern, globalisasi dan kemajuan teknologi. Makalah ini mencoba mengambil dari sudut pandang yang berbeda yaitu politik identitas dalam silangannya dengan arsitektur ('space'), waktu (sejarah) dan aspek sosial-politik. Isu yang muncul adalah bagaimana politik identitas perlahan-lahan melanjutkan pengaruhnya dalam formasi arsitektur di Indonesia pasca reformasi, di balik kesalah-pahaman tentang definisi 'identitas' dalam debat-debat arsitektur di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak arsitek atau teoretikus arsitektur di Indonesia membatasi dirinya hanya dalam lingkup arsitektur, dan gagal berinteraksi secara lebih luas dengan isu-isu sosio politik. Konsekuensinya, di satu sisi, istilah 'identitas' kehilangan pengaruh sosio-politiknya dan direduksi kepada masalah-masalah estetika visual semata, yang mengaburkan identitas arsitektur sebagai suatu konsep sosial budaya. Sementara itu, di sisi lain pemanfaatan identitas sebagai bagian dari komoditas politik juga melanjutkan dinamika yang terjadi di daerah (regional) yaitu warna kekuasaan (power) dalam formasi arsitektur di Indonesia sebagai imbas dari Desentralisasi. Makalah ini mengkritisi perilaku politik identitas yang cenderung berubah menjadi 'regime' dalam formasi identitas arsitektur saat ini, dan kurang terangkatnya isu identitas arsitektur dengan dinamika sosio-politik dan keseharian ('everyday-life') masyarakat. Kata Kunci: subjektivitas, hibrid, indigenitas, pasca-nasionalisme ABSTRACT. Straighthening the politics of identity in Indonesia after the 1997 political reformation has increased the formation of new architecture which are scattered in various regions in Indonesia. The cultural identity on indigeneity and become part of identity politics. It was exploited by elites and rulers for the sake of power politics. Ironically, in the field of architecture, the definition of this identity is even more unclear. These definitions spin on the debate about the search for identity that was never finished and is often associated with the process to bring a cultural identity as a response to the challenges of modern architecture such as universality, globalization and technological progress. This paper tried to look at architecture (space) in the intersection with time (history) and socio-political aspects. The issue that arises is how the politics of identity is slowly continuing influence in the formation of architecture in Indonesia after the 1997 political reform, under misconceptions about the definition of 'identity' in debates of architecture in Indonesia. This happens because many architects or architectural theorists in Indonesia restricts itself only in the sphere of architecture, and failed to interact more broadly with social and political issues. Consequently, on the one hand, the term 'identity' loss of the socio-political influences and are reduced to a visual aesthetic problems alone, which obscure the identity of architecture as a socio-cultural concept. Meanwhile, on the other hand the use of identity as part of a political commodity also continue the dynamics that occur in the area (regional) is the color of power (power) in the formation of architecture in Indonesia as the impact of decentralization. The paper criticized the behavior of identity politics that tends to turn into a 'regime' in the current architectural identity formation, and less lifting of architecture with issues of identity and everyday social and political dynamics ( 'everyday-life') of community. Keywords: subjectivity, hybrid, indigeneity, post-nationalism
Abstract: A correct understanding to the fundamental elements in the Islamic political economy is a must for its development. This study tried to seek a conceptual understanding of the basic elements of scientific aspects including worldview and epistemology. Its role to construct the methodology of Islamic political economy also became the main topic. There were some different vision,and epistemological and methodological framework of the Islamic political economy to those of western,. The consequences of those differences leaded to different scientific developments. At the level of praxis, it also produced differences in determining policy, while internal logic, coherence and consistency were essential pre-requisites for scientific approach. Islamic political economiy should be evaluated with its own worldview and epistemology. However, in another side, we could not neglect the role and position of current political and economic sciences in the process of developing Islamic politial economy. The study of political-economic epistemology consisted of the intervention and role of the state in the economy, especially in terms of public policy. الملخص: إن تنمية الاقتصاد السياسي الإسلامي يُشترط فيه الفهم الصحيح تجاه العناصر الأساسية فيه. حاول هذا المقال اكتشاف أنواع المفاهيم عن العناصر الأساسية العلمية فيه، وكذلك النظرة السائدة والابستمولوجيا وموقع كل منها في بناء منهجية الاقتصاد السياسي الإسلامي. هناك فروق في الرؤية والابستمولوجيا والاطار المنهجي بين الاقتصاد السياسي الإسلامي والغرب. وإن هذه الفروق أدت إلى وجود الاختلافات في المبتى العلمي. وفي الجانب العملي، تسببّ هذه الفروق أيضا التعدّد والاختلافات في أخذ القرارات، مع أن المنطق، والتماسك والاتساق هي شرط مهمّ للمدخل العلميّ. ولابد أن يُدرّس الاقتصاد السياسي الإسلامي بوجهة النظر والابستمولوجيا لنفسه. ولكن – في جانب آخر – لا يمكن أن نهمل مكانة علم السياسة وعلم الاقتصاد الآن في عملية تطوير علم سياسة الاقتصاد الإسلامي. وإن دراسة ابستمولوجيا سياسة الاقتصاد تشمل تدخّل الدولة ودورها في الاقتصادية، وخاصة في القرارات الاجتماعية.Abstrak: Pemahaman yang benar terhadap unsur-unsur mendasar dalam ekonomi politik Islam menjadi keniscayaan bagi pengembangannya. Tulisan ini berupaya untuk melacak pemahaman-pemahaman konseptual mengenai unsur-unsur dasar keilmuan, termasuk mengenai worldview dan epistemologi. Kedudukannya dalam mengkonstruk metodologi ekonomi-politik Islam juga menjadi topik utama. Terdapat perbedaa-perbedaan dalam visi, epistemologi dan kerangka metodologi ekonomi politik Islam dengan Barat. Konsekuensi-konsekuensi dari perbedaan tersebut mengakibatkan adanya perbedaan pada bangunan keilmuan. Pada level praksis, hal itu juga menimbulkan perbedaan dalam penentuan kebijakan. Sedangkan logika, koherensi dan konsistensi menjadi prasyarat penting bagi pendekatan ilmiah. Politik ekonomi Islam harus dikaji dengan worldview dan epistemologi yang dimiliki sendiri. Namun, di sisi lain, kita tidak dapat menafikan peran dan posisi ilmu politik dan ekonomi sekarang dalam proses pengembangan ilmu politik ekonomi Islam. Studi epistemologi politik-ekonomi mencangkup tentang intervensi dan peran negara dalam perekonomian, khususnya dalam hal kebijakan publik.
Rezension: Die Virulenz unserer Innen- und Außenpolitik bringt permanent Veränderungen und neue politische Begrifflichkeiten mit sich. Dieses Lexikon im Taschenbuchformat bietet Aktualität und ein beachtlich breites Spektrum zur Befriedigung schneller Informationsbedürfnisse. Dafür werden nicht nur Begriffe erläutert, sondern es werden zu Schlüsselwörtern auch kurze Definitionen gegeben. Die Abgrenzung zu Wirtschaft, Kultur, Religion und moderner Geschichte ist notwendigerweise fließend. Den Schwerpunkt bildet natürlich die verfassungmäßige Ordnung in Deutschland. Literaturhinweise gibt es nicht, dafür einige Internetadressen. Der Umfang der Begriffe macht ein überzeugendes System von Verweisungen nötig. Ein Anhang verzeichnet die Staaten der Erde mit einigen Grunddaten. Dem Lexikon merkt man sofort die Professionalität seines Verfassers an. Für Bibliotheken jeder Art und Größe. (1 A,S)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis politik hukum ekonomi Syariah tentang dual banking system di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa landasan keberlakuan undang-undang yang mengatur Dual Banking System di Indonesia menggunakan undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan undang-undang Nomor 21 Tahun 2008, ynag merupakan pedoman bagi operasionalnya Dual Banking System. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi bank konvensional menerapkan Dual Banking System diperoleh dari faktor eksternal yang meliputi sosial, ekonomi, keagamaan, politik, meniru negara tetangga. Faktor internal terdapat pada filosofis pancasila dan perundang-undangan. Pengaruh politik sangat kental terhadap penerapan dual banking system di Indonesia, juga karena kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralisme.
Vom "Modell Deutschland" zur Standortdebatte. Zeitpunkt und Maßstäbe einer Bilanz der Ära Kohl -- Sozialstaatliche Politik in der Ära Kohl -- Mehrfache Desillusionierung und Ambivalenz. Eine sozialpolitische Bilanz -- Wechselnde Strategien und kontinuierlicher Abbau solidarischen Ausgleichs. Eine gesundheitspolitische Bilanz -- Wirtschaftspolitik im Zeichen des Primats der Politik oder der Ökonomie? -- Das Nadelöhr der Wirklichkeit verfehlt: Eine beschäftigungspolitische Bilanz der Ära Kohl -- Die Wende im Stolperschritt — eine finanzpolitische Bilanz -- Vom Aufstieg und Niedergang eines Vorreiters. Eine umweltpolitische Bilanz der Ära Kohl -- Helmut Kohl und der "schlanke Staat": Eine verwaltungspolitische Bilanz -- Eine außenpolitische Bilanz -- Bundeskanzler Kohl — Baumeister Europas. Randbemerkungen zu einem zentralen Thema -- Die entwicklungspolitische Bilanz der Ära Kohl -- Chronik der Ära Kohl 1982–1998 -- Die Ära Kohl im Spiegel der Statistik. Ein Überblick über die Wirtschafts-, Beschäftigungs-, Finanz- und Sozialpolitik seit 1982 -- Verzeichnis der Autorinnen und Autoren.
Zugriffsoptionen:
Die folgenden Links führen aus den jeweiligen lokalen Bibliotheken zum Volltext:
von Carl v. Rotteck ; NST: Lehrbuch der materiellen Politik ; Volltext // Exemplar mit der Signatur: München, Bayerische Staatsbibliothek -- Ph.pr. 1031 lz-3
Kesehatan adalah merupakan modal penting dalam pembangunan hidup berbangsa dan bernegara, utamanya dalam hal pembangunan nasional. Sehigga politik hukum penanganan wabah penyakit memilik kedudukan penting dalam menjamin dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang sehat dan layak sebagai salah satu amanat Pancasila. Namun pada pelaksanaannya terdapat berbagai macam persoalan baik berupa tidak efektifnya pelaksanaan politik hukum penanganan wabah penyakit yang ada saat ini. Hal ini pada dasarnya dikarenakan berbegai macam kelemahan yang ada pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 yang tidak memiliki ketentuan teknis yang jelas. Sekalipun lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 menjadi alternatif baru dalam teknis penanganan wabah penyakit namun pada kenyataanya skala daya jangkau aturan tersebut hanya sebatas pelaksanaan Pembatasan Sosial Bersekala Besar dan hanya terkait COVID-19 saja, yang hingga kini belum teruji efektifitasnya. Sehingga perlu dilakukan reorientasi nilai dasar kembali politik hukum penanganan wabah penyakit yang berlandaskan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas agar mampu terwujud keadilan sosial dan keseimbangan hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pancasila.
Diese Publikation legt den Schwerpunkt auf die sowjetische Außenpolitik zur Zeit der Perestroika von 1985 bis 1991.1985 erfolgte der Regierungsantritt von Michail Gorbatschow in der Sowjetunion mit dem dann auch massive Veränderungen erfolgten. Von großer Bedeutung waren in diesem Kontext vor allem auch die Treffen zwischen Ronald Reagan und Michail Gorbatschow in Genf 1985, in Reykjavik 1986, in Washington 1987 und in Moskau 1988, sowie die Treffen zwischen Gorbatschow und George Bush Senior im Jahre 1989 auf Malta Um wesentliche Änderungen als Ergebnis der Außenpolitik während der Perestroika in einem besseren Zusammenhang zu sehen, wurde auch ein kurzer Überblick über die Außen- und Sicherheitspolitik zur Zeit des "Kalten Krieges" vor Beginn der Perestroika, gegeben. Das betrifft besonders die 1970er Jahre, die eine gewisse Entspannung zwischen den beiden Supermächten brachten. In dieser Phase wurden auch bedeutende Verträge abgeschlossen und bedeutende Konferenzen abgehalten. Die Politik der Ära Michail Gorbatschow war dann besonders durch Glasnost (Transparenz nach innen und nach außen) und Perestroika (Änderungen in Wirtschaft und Verwaltung) geprägt. Die von Gorbatschow eingeleitete Perestroika, sein Reformprogramm in der damaligen Sowjetunion, umfasste konkret drei Ebenen, das waren die Wirtschaft, die Politik und die Gesellschaft die miteinander aber sehr eng verbunden waren. Im Bereich der Politik der damaligen Sowjetunion hatten die Innen- und die Außenpolitik bedeutende Wechselwirkungen zu verzeichnen. Grundlegende Reformen waren damals besonders aufgrund der schwierigen Situation der sowjetischen Wirtschaft notwendig geworden. Die Innenpolitik betreffend sollte die "Perestroika" dem Sozialismus besonders durch freie Wahlen, durch Gewaltenteilung und dem Ausbau des Rechtsstaatsprinzips in der Sowjetunion eine demokratische Richtung geben, wodurch auch der gesamte Ostblock stabilisiert werden sollte. Die privilegierte Stellung der Kommunistischen Partei der Sowjetunion sollte aber erhalten bleiben. Ab ...