Sentani is one of more than two hundred tribes in Papua that has various folklore as their invaluable cultural heritages. One of them is folktale. Folktales that used to be passed down with some purposes are not recognised by the people anymore. This serious phenomenon cannot be ignored since there are philosophy, mythology, and indigenous knowledge they carried with that can be used to build identity and the whole social life of Sentani people. This writing aims at igniting Sentani folktales and using them as learning sources for children. Data were collected through observation, deep interview, and recordings in three areas of Sentani, namely East, Central, and West Sentani. The research used socio-cultural approach and involved tribal chiefs, elderly people, parents, and teachers as the informants. The research found that folktales were still recognised in remote areas of Sentani, known by some tribal chiefs and elderly people and told mostly in Indonesian. Folktales collected can be used as various learning sources for children, i.e. (1) Sentani language, (2) literacy, (3) indigenous knowledge, and (4) character building. Igniting folktales as learning sources also means doing preservation of Sentani cultural heritages. Initiatives and discussion with tribal chiefs, government, and educators are urgently needed. Keyword: Sentani, cultural heritages, folktales MENGHIDUPKAN KEMBALI CERITA RAKYAT SEBAGAI SUMBER BELAJAR ANAK-ANAK DI SENTANI JAYAPURA PAPUA AbstrakSentani adalah satu dari ratusan suku di Papua yang mempunyai berbagai pusaka budaya yang tak ternilai harganya. Salah satunya adalah cerita rakyat. Cerita rakyat yang dahulu dituturkan dengan bermacam tujuan ini kini telah ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat. Fenomena seperti ini tak dapat dibiarkan karena dalam cerita rakyat terdapat filosofi, mitologi, pengetahuan, dan nilai kearifan masyarakat yang dapat digunakan untuk membangun identitas dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Artikel ini bertujuan untuk menghidupkan kembali cerita rakyat dan menggunakannya sebagai sumber pembelajaran untuk anak-anak. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan rekaman di tiga wilayah Sentani, yaitu Sentani Timur, Sentani Tengah dan Sentani Barat. Penelitian menggunakan pendekatan sosial-budaya dan melibatkan pemangku adat, tokoh masyarakat, orang tua dan guru sebagai informan. Penelitian ini menemukan bahwa cerita rakyat masih dikenali di wilayah terpencil Sentani, dikuasai oleh sebagian kecil pemangku adat dan tokoh masyarakat, dan dituturkan sebagian besar dalam Bahasa Indonesia. Cerita yang diperoleh dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran bagi anak-anak, yaitu (1) bahasa Sentani, (2) literasi, (3) kearifan lokal, dan (4) pengembangan karakter. Menghidupkan kembali cerita rakyat sebagai sumber pembelajaran berarti melakukan preservasi pusaka budaya masyarakat. Inisiatif dan diskusi dengan para pemangku adat, pemerintah dan pemangku pendidikan perlu segera dilakukan. Kata Kunci: Sentani, pusaka budaya, cerita rakyat
AbstrakKajian Nation Branding dalam Event INAFEST 2017 di Shanghai Tiongkok, diawali dengan permasalahan kurang gaungnya penyelenggaraan pariwisata internasional ini bagi masyarakat Indonesia. Karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis proses nation branding INAFEST 2017 melalui tema Wonderful Indonesia di Shanghai Tiongkok. Metode penelitian, menggunakan studi kasus eksploratif untuk mendeskripsikan tahap penyelenggaraan INAFEST 2017 melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan para narasumber seperti Kemenpar RI, Kemerindag RI, Duta Besar RI di Tiongkok, Konjen RI, Inacham, Di Shanghai – Tiongkok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nation branding pariwisata Indonesia yaitu Wonderful Indonesia dalam INAFEST 2017 dapat diterima dengan positif di Tiongkok karena menerapkan konsep public diplomacy yang terbuka, jemput bola, dan berbaur dengan masyarakat domestik Tiongkok. Secara prinsip cultural melalui produk budaya tradisional yang dikemas modern pun dapat meraih investment Negara Tiongkok dan dunia internasional dengan tingkat kunjungan 2 juta orang ke Indonesia pertahun, meski masih di bawah Malaysia dan Thailand. Meski kendala bahasa dan budaya kerap terjadi, namun, Wonderful Indonesia telah mampu menjadi perhatian dunia dengan diraihnya rangking pertama dalam inbound Tiongkok ke Indonesia. Rekomendasi penelitian, pemerintah harus meningkatkan promosi dan kebijakan proaktif lainnya, agar nation branding pariwisata Indonesia dapat sejajar dengan Negara Asia, juga internasional. Abstract The Nation Branding Study at the 2017 INAFEST Event in Shanghai, China, began with the problem of the lack of international tourism organization for the people of Indonesia. Therefore, the purpose of this study is to analyze the INAFEST 2017 nation branding process through the theme of Wonderful Indonesia in Shanghai China. The research method, uses exploratory case studies to describe the stages of organizing INAFEST 2017 through field observations and in-depth interviews with speakers such as the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia, the Ministry of Industry and Trade, the Indonesian Ambassador in China, the Republic of Indonesia, the Kinjen RI, Inchamber, and Kadin in Jakarta and Shanghai-China. The results showed that Indonesia's tourism nation branding namely Wonderful Indonesia in INAFEST 2017 can be received positively in China because it applies the concept of open public diplomacy, ball pick-up, and mingling with Chinese domestic communities. In principle, culture through traditional products that are packaged in a modern way can achieve investment in China and the international world with a rate of 2 million people visiting Indonesia annually, although it is still below Malaysia and Thailand. Although language and cultural barriers often occur, however, Wonderful Indonesia has been able to become the world's attention by achieving the first rank in China inbound to Indonesia. Research recommendations, the government must increase promotion and other proactive policies, so that Indonesia's tourism of nation branding can be aligned with other Asian countries, as well as internationally.
Abstrak Adanya penggantian kurikulum membuat guru-guru di Indonesia diminta untuk menggunakan berbagai model pembelajaran dari pemerintah. Salah satu modelnya yaitu pembelajaran proyek, atau dalam pembelajaran bahasa inggris dikenal dengan project work. Project work sudah dikenal sebagai model yang tepat untuk pengajaran menulis. Karena baik project-work dan menulis sama-sama menekankan pada proses. Selain itu, dengan kesulitan yang dihadapi siswa Indonesia dalam menulis, model ini bisa dijadikan solusi. Tugas yang menarik dalam Project work bisa memotivasi siswa dan membantu dalam menulis. Salah satu tugasnya yaitu dengan membuat buku GO Pop-up. Buku ini mirip dengan buku pop-up yang dijual dipasaran, tapi dilengkapi dengan graphic organizer. Sayangnya, setelah dua tahun pelaksanaan kurikulum ada guru yang masih bingung dalam menerapkan model-model ini. Mereka membutuhkan prosedur yang jelas dalam menerapkannya. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian ini untuk mendiskripsikan penerapan project work yang sudah dilakukan guru dengan mendorong siswa kelas sebelas membuat buku GO pop-up untuk pengajaran menulis teks report. Selain itu, peneliti juga akan mendeskripsikan kualitas tulisan siswa yang dihasilkan dalam penerapan model pembelajaran project work ini. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dasar. Guru dan siswa kelas bahasa dari SMA N 1 Kertosono merupakan subyek penelitian ini. Data didapat dari pengamatan yang ditulis dalam catatan lapangan, dan dari hasil tulisan siswa. Setelah melakukan empat kali pengamatan dalam penerapan Project work, peneliti kemudian menganalisis data yang didapat. Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat mengambil kesimpulan antara lain. Pertama, Project work bisa digunakan dalam pengajaran menulis teks report. Walaupun ada langkah yang tidak berurutan dan ada hal yang dilupakan oleh guru yaitu memberi rubric penilaian menulis. Langkah yang tidak berurutan tidak berpengaruh pada siswa dalam mengerjakan proyek tersebut, akan tetapi kesalahan guru karena tidak memberi rubric sangat berpengaruh pada hasil tulisan siswa. Kedua, dari langakh-langkah Project work, siswa dapat belajar tentang proses menulis, sehingga diharapkan, dapat melatih siswa untuk bisa menjadi penulis mandiri. Terakhir, project work dapat meningkatakan kreatifitas, kemampuan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan kermampuan kerja sama siswa. Kata Kunci : menulis, Project work, buku GO Pop up Abstract Due to the reformation of the curriculum, Indonesian teachers are demanded to use various models suggested by the government. One of the models is Project-based Learning, which in English teaching and Learning known as Project work. Project work has been known as a right model to teach writing. As both writing and project work, emphasize on the process, this model could be a solution to the difficulty of Indonesian students in writing. The interesting tasks demanded by Project work could motivate and help students to write. One of the tasks is creating a similar GO Pop-up book. This book is like a commercial pop-up book, but completed by a graphic organizer. Unfortunately, until the second year of the application of the 2013 curriculum, some teachers are still confused in implementing the model. They need practical procedures in applying them. Therefore, the researcher conducted this study to describe the implementation of project work by encouraging students to create a similar GO-pop up book as students' project to teach writing of a report text to the eleventh graders. Moreover, the researcher would also describe the students' writing quality during the implementation of project work. This study belonged to basic interpretative study. The teacher and the students from language program of SMA N 1 Kertosono were as the subject. The data were gained from the result of observations documented in field notes, and from the students' compositions. After conducting four observations toward the teaching learning process used Project work, the researcher, then, analyzed the data. From the result of the study, the researcher could draw several conclusions, which are as follows. First, Project work could be well implemented to teach writing of a report text, even though there were disorganized steps and there was one thing being missed by the teacher to give a writing rubric. The chaotic steps applied did not affect the students, as they were still able to follow the activities. Meanwhile, the missing of the writing rubric made the quality of the students' compositions did not change to be better although there was proofreading activity. Second, by the steps applied, the students could learn the process of writing, which hopefully, could train them to be independent writers. At last, Project work could increase students' creativity, critical thinking, problem solving and collaboration skills. Keywords: writing, project work, GO Pop-up book
AN ANALYSIS OF THE RELEVANCE OF ENGLISH MATERIALS IN TEXTBOOK ENTITLED "PATHWAY TO ENGLISH" FOR SENIOR HIGH SCHOOL GRADE X TO THE 2013 CURRICULUM Laras Ratnasari English Study Program FBS Surabaya State University larasratnasari@gmail.com Ririn Pusparini, S.Pd., M.Pd. Lecturer of English Study Program FBS Surabaya State University rrn.puspa@gmail.com ABSTRACT Recently, by Peraturan Pemerintah No.32 Th. 2013 the educational system of Indonesia has launched the 2013 curriculum. Due to the new launched curriculum, there are several changes in some parts of education, including the material. Textbook is one of the materials which have to give deep attention. A research from McGrath (2006) showed that mostly English language teacher use textbook as their main sources of teaching. Therefore, textbook should be matched with curriculum applied. However, selecting the best textbook is considering difficult for some teachers. Although there are many textbooks which are claims suitable with the 2013 curriculum, there is no guarantee whether the textbook is relevant to the standard competences of the 2013 English curriculum. To solve this problem, the researcher focused this study: 1) to describe the relevance of the materials in textbook entitled "Pathway to English" to the 2013 English Standard Competence in term of cognitive aspects, 2) to describe the relevance of the materials in textbook entitled "Pathway to English" to the 2013 English Standard Competence in term of psychomotor aspects. This study was designed in descriptive qualitative research. The instrument used to collect the data is observation in the form of checklists. After being analyzed, it is found that all chapters in the first semester successfully cover the indicators of cognitive aspects in the basic competences three. Meanwhile, some of the materials are irrelevant in terms of psychomotor aspects. After all, the researcher argues that this textbook is still appropriate to be used, since the materials are mostly relevant with the 2013 curriculum. This textbook is still suitable to be used in order to help teacher and students in the process of teaching and learning. Key words: analysis, relevance, materials, textbook, the 2013 Curriculum ABSTRAK Baru-baru ini, melalui Peraturan Pemerintah No.32 Th. 2013 pemerintah Indonesia meluncurkan kurikulum 2013. Karena adanya peluncuran kurikulum baru ini, ada beberapa perubahan dalam beberapa bagian di sistem pendidikan termasuk di material. Buku teks adalah salah satu material yang harus diberi perhatian. Riset dari McGrath (2006) menunjukan bahwa sebagian besar guru bahasa Inggris menggunakan buku teks sebagai sumber utama dalam mengajar. Oleh karena itu, buku teks haruslah sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Namun, memilih buku teks terbaik itu tidaklah mudah bagi beberapa guru. Meskipun banyak buku yang mengklaim sesuai dengan kurikulum 2013 namun, tidak ada jaminan apakah buku itu benar-benar relevan dengan kompetensi dasar dari kurikulum 2013. Untuk mengatasi masalah ini, peneliti memfokuskan penelitian ini: 1) untuk mendeskripsikan kesesuaian material buku teks berjudul 'Pathway to English' dengan kompetensi dasar bahasa Inggris kurikulum 2013 sesuai dengan kognitif aspek, 2) untuk mendeskripsikan kesesuaian material buku teks berjudul 'Pathway to English' dengan kompetensi dasar bahasa Inggris kurikulum 2013 sesuai dengan psikomotor aspek. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah observasi dalam bentuk checklist. Setelah dianalisis, ditemukan bahwa semua bab dalam buku teks ini dapat memenuhi semua indikator dari kognitif aspek dalam kompetensi dasar tiga. Sedangkan, sebagian material ada yang tidak sesuai dengan psychomotor aspek. Meskipun demikian, peneliti berargumen bahwa buku teks ini masih cocok untuk digunakan, karena sebagian besar materinya telah sesuai dengan kurikulum 2013. Buku teks 'Pathway to English' ini masih bisa digunakan untuk membantu guru dan murid dalam proses mengajar dan belajar. Kata kunci: analysis, relevance, materials, textbook, the 2013 Curriculum Introduction Realizing the importance of English language in globalization era, recently, Indonesian government has implemented English subject into the academic curriculum as a compulsory subject to be taught in Junior and Senior High school. Recently, by Peraturan Pemerintah No.32 Th. 2013 the educational system of Indonesia has launched the 2013 curriculum. This new launched curriculum is a school based curriculum, an operational curriculum which is constructed, developed, and implemented by each education unit (school). The aim of this curriculum is preparing Indonesian people to be religious, productive, creative, and innovative. Furthermore it is hoped that they also can give contribution for their social life, nation, country and world civilization. Due to the new launched curriculum, there are several changes in some parts of education. As stated by Richards (2001:103), Curriculum changes are of many different kinds. Curriculum may affect teachers' pedagogical values and beliefs, teachers' understanding of the nature of language or second language learning, or their classroom practices and the use of teaching and learning materials. Among several changes in education parts teaching material also need to be adjusted because it is one of the most important factors in teaching and learning process. This argument is supported by Richards (2001). He argues teaching materials are regarded as a key factor in most language programs. Teaching materials can be developed from many learning sources, one of it is from textbook, thus, it also need special attention regarding its changes toward recent applied curriculum. The adjustment of textbook to the recent curriculum should be conducted because English teachers tend to display a strong reliance on textbook usage. In a research by Richards, Tung & Ng as cited by Lawrence (2011) they conducted a research with 149 local secondary school English teachers, it was reported that textbook were one of the primary sources of teaching material. Only 28% of the total respondents have claimed that they have made a significant use of self-developed teaching materials. In addition for the use of textbook in English language teaching, the research from McGrath (2006) also showed that mostly English language teacher use textbook as their main sources of teaching. The study involved 75 teachers of English, mainly English teachers of secondary schools, and several hundreds of secondary school students. It was found that teachers mostly think that the use of textbooks is important. The wide use of textbooks in the local ELT classroom is understandable as given the fact that material (textbooks) are not simply the everyday tools of the language teacher, they are embodiment of the aims, values and methods of the particular teaching and learning situation (Hutchinson: 1987). A good textbook should be reflected the curriculum which is applied. It is because there is a strong relationship between both of them. The relationship of textbook and curriculum can be described as water and fish, or as the two sides of coin, two but one, one but two (Tarigan and Tarigan, 1986: 66). It should be matched with the goal of the curriculum and be able to support curriculum and facilitate the process of teaching and learning. Every curriculum has their own goals which have to be reached by students as the sign of their success and expertness in their education. One of the goals in curriculum is instructional objective. It describes what behavior and ability that the students need to reach after teaching and learning process. Instructional objective should depict the learning objective which is expected from the students. The learning objective which is expected is behavior change of the students. The forms of students' objective behavior are classified into three domains by Bloom et. al.(1956). They named it as "The taxonomy of educational objectives". Objectives could be placed in one of three major domains or classification; (1) Cognitive, (2) Affective, and (3) Psychomotor. Thus every textbook written nowadays should be applied those three objectives as one of qualification of a suitable textbook based on 2013 curriculum because it is the recent curriculum applied in Indonesia. Despite the need of a suitable textbook for teachers and students, selecting an appropriate textbook with a good quality and curriculum matched is not easy. Cunningsworth and Green in Lawrence (2011) stated that the increasing of textbook on the market makes it difficult to choose the right textbooks. Therefore, the selection of textbook should be conducted seriously because it can have massive impact on the teaching and learning process as teachers would make references to the textbooks. (Cunningsworth, Harmer, McGrath in Lawrence, 2011). One wrong step in choosing an appropriate textbook can lead into the failure in teaching and learning process. It is supported by Mukundan (2007) that the quality of a textbook might be so important that it can determine the success or failure on ELT courses. Unfortunately, not all textbooks are written in a good quality in terms of its appropriateness with teacher and students' need or its compatibility with applied curriculum. Teachers as the determiner of teaching process in class sometimes careless in choosing the right textbook for their students. In line with this argument, McGrath (2002) showed that textbooks are often purchased without careful analysis. Frequently, a textbook selection is not based on its intrinsic pedagogical value, but the perceived prestige of the author or the publisher, or skillful marketing by the publishers. The books are printed in attractive covers or teachers only blindly use the best-selling textbooks which are used in many other places. (McGrath 2002) It is regrettably consider the significant of textbook in teaching and learning process. There are various textbook written by expert writers which are claimed based on the 2013 curriculum. However, though the textbook written by professional writers are usually of good quality in terms of organization, packaging and design, they tend to be lacking in qualities of being creative and imaginative (Tomlinson, 2003). Besides, the urgency to evaluate ELT textbooks written for the new curriculum on its pedagogical fitness with the recommended instructional objectives has become an urgent concern as many local English teachers have displayed heavy reliance on textbooks in their daily teaching (Lawrence, 2011). There are some previous studies related to the textbook analysis. Some of them are Widiarto (2009) and Fauzi (2012). They analyse the relevance of textbook materials with 2006 English Standard Competence. Widiarto (2009) found that there are some conformity of the text materials in the textbook. However, not all of the text materials which are suggested in standard isi 2006 are developed in four language skills in the textbook. Meanwhile, Fauzi (2012) found that all of reading materials are not relevant to the 2006 English Standard Competence. It did not provide any explanations, examples, and exercises in order to make the students really understand about the texts being learnt. Thus, it is proven that not all the textbook used are relevant to the curriculum. In addition, although the 2013 curriculum is already applied in Indonesian education system, there is still lack analysis of textbook which based on the 2013 Curriculum, since the 2013 curriculum is still fresh launched in 2013. According to those reasons stated, this study is aimed to analyze and figure out the relevance of materials of English textbook entitled "Pathway to English" for Senior High School published by Erlangga with the 2013 English Standard Curriculum in terms of Cognitive and Psychomotor aspects. RESEARCH METHOD Since this study deals with analysis of the content of the textbook especially in the form of document book, a descriptive qualitative research design will be implemented. Furthermore, Ary, D. et.al (2010: 423) stated that qualitative research mostly relies on words only minor use of numbers. Thus, the data which was derived is in the form of document from textbook then those data were described in the form of words without using statistical calculation. The object and the source of the data of this study is an English textbook entitled "Pathway to English" for Senior High School Grade X Published by Erlangga. This textbook is written by Th. M. Sudarwati and Eudia Grace. The textbook consists of 11 chapters and 248 pages. The materials of each unit are organized into 8 parts; (1) listening, (2) speaking, (3) reading, (4) writing, (5) grammar, (6) values, (7) cultural awareness, and (8) ways to say it. The researcher focused on just one book and all of the activities in the textbook in the scope of first semester, therefore, the research only focused at chapter 1 until chapter 5. The data gained from this research then analyzed using two research instruments. The first instrument was the researcher herself as the main instrument to collect the data. As stated by Ary,D. et.al (2010: 421) The primary instrument used for data collection in qualitative research is the researcher him- or herself, often collecting data through direct observation or interviews. The second instrument was the observation in the form of checklist. The data from this study was collected through several steps of observation. First, the researcher determined the textbook which is going to be analyzed through some survey on various textbooks which claimed based on the 2013 Curriculum on its cover. Second, the researcher read and observed the content of the textbook thoroughly. Third, the researcher will compare the content of the textbook with the 2013 Curriculum in terms of cognitive and psychomotor aspects. After being collected, the data was analyzed through some steps. First, the researcher analyzed the relevance of the materials with the cognitive aspects which are contained in the 2013 English Standard Competence. Second, the researcher analyzed the relevance of the materials with the psychomotor aspects which are contained in the 2013 English Standard Competence. Third, the researcher described and elaborated the analysis. The last, the researcher determined the conclusion. RESULT AND DISCUSSION The Relevance of 'Pathway to English' Textbook to the 2013 English Standard Competences In this section there will be some example of the tables of observation sheet and also the discussion to figure out the results of the relevance of 'Pathway to English' textbook material with the 2013 English Standard Competences. Each observation sheet for cognitive aspect in basic competence three is consisted of three columns. The first column will be divided into three aspects of the 2013 English curriculum, including Topic, Text structure, Language feature and also Social function. The second column is the example of activity in the textbook which is suitable with the 2013 English curriculum. the last column is the relevance of the material. for tables of psychomotor aspect in basic competence four it is also consisted of three columns but the first column will be divided into two aspects. It is including Topic and indicators only. The researcher used the third and fourth basic competences to analyze the relevance of the textbook material. The basic competences then broke down into sub-basic competences. In the following tables, the sign (√) means that the sub-basic competency and the material are relevant. Meanwhile, the sign (-) means the material are not relevant with sub-basic competence. The Relevance of the Materials with the Cognitive Aspects The table below is the result of the analysis of the relevance of textbook material with the 2013 curriculum in terms of cognitive aspects. Table 1. The conformity of textbook materials with the cognitive aspects The Relevance The Third Basic Competence Relevant All chapters in first semester Partly Relevant - Irrelevant - According to the table above, it can be seen that there is no partly relevant or irrelevant materials in chapter one to chapter five. All the materials in those chapters are relevant to the 2013 English curriculum in terms of cognitive aspects in basic competences three. All materials successfully provided the indicators needed in each sub-basic competence including the topic, the text structure, the language features and also the social function. The Relevance of the Textbook Materials with the Psychomotor Aspects Table 1. The conformity of textbook materials with the cognitive aspects The Relevance The Third Basic Competence Relevant 4.2.1, 4.2.2, 4.3.1, 4.3.2, 4.4.1, 4.4.2, 4.5.1, 4.5.2, 4.6.1, 4.6.2 Partly Relevant 4.1.1 and 4.1.2 Irrelevant - In the table above, it can be seen that there are some materials which are relevant and partly relevant with the psychomotor aspects in basic competence four. The relevant material successfully provided the indicators needed in each sub-basic competence four. The irrelevant materials cannot cover all the indicators in the sub-competences 4.1.1 and 4.1.2 both of the chapters do not include indicators 'Find the purpose of the text' which is one of the indicators of understanding the text. Thus, it can be concluded that the textbook materials is partly relevant with the basic competence four. CONCLUSION & SUGGESTION Conclusion The conclusion from the analysis can be subtracted into two points. The first point is the materials in the textbook 'Pathway to English' are all relevant with the cognitive aspects which are contained in the 2013 English Standard Competence. There are ten analysis tables for basic competences three. From all the ten tables, the researcher found that all the materials are relevant to the sub-competences in basic competences three. Therefore, the researcher concluded 'The Pathway to English' English textbook is relevant to the 2013 English curriculum in terms of cognitive aspects which are shown in basic competences three. Meanwhile, in the second point the researcher concluded that the materials in the textbook 'Pathway to English' are quite relevant with the psychomotor aspects in the 2013 English Standard Competence. There are twelve tables for the analysis of basic competences four. From twelve tables, there are two tables which showed that the materials in this textbook are not fully relevant to sub-competences which are tables for sub-competences 4.1.1 and 4.1.2. Another ten tables showed that the materials are relevant because it contains the materials for the sub-competences. According to the analysis above, the final conclusion states that material in the textbook 'Pathway to English' is still quite relevant with the 2013 English curriculum in terms of cognitive and psychomotor aspects. Since, the researcher found the materials which are relevant to sub-basic competence are more than the irrelevant one. Therefore, the researcher argues that this textbook is appropriate to be used as the aid material in English teaching and learning process. Suggestions After the analysis of this textbook 'Pathway to English', the researcher would like to give suggestions for: a) For teacher, they should be aware of what kind of textbook which is most suitable with their need. Since the process of teaching and learning depend on the curriculum, the teacher should be selective and careful to choose the most suitable textbook which covers the curriculum aims. The selected textbook should support the curriculum to achieve the instructional objectives. b) For the textbook writers/publishers, they have to apply the criteria in developing the materials. For this period of time, the materials should be in line with the 2013 English Standard Competence stated in the 2013 curriculum. Furthermore, the writers/publishers should be able to serve the high quality textbook which is able to fulfill all of the indicators, topics, language features, text structure and the social functions related to the competences. c) For the textbook writer of 'Pathway to English', they should concern more in conducting questions related to sub-competences understanding the texts. In order to be able to cover all the indicators stated in the sub-competences. d) For further research, the researcher hopes that in the future there will be another research regarding to analyze textbook with the 2013 Curriculum. The next researchers can conduct their research for the same textbook but focus on the activities in second semester. Otherwise, they can conduct research for another textbook with different grade. REFERENCES Ary, Donald. et.al. 2010. Introduction to Research in Education.Canada: Wadsworth, Cengage Learning. Bloom B. S. 1956. Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitive Domain. New York: David McKay Co Inc. Byrd, P. 2001. Textbook: Evaluation for Selection and Analysis for Implementation. In M. Celce-Murcia (Eds.), Teaching English as a Second or Foreign Language (3rd ed., pp. 415-427). US: Heinle&Heinle. Fauzi, Arif. 2012. An analysis of Reading Materials in "Interlanguage: English for Senior High School Students XI (Science and Social Study Programme)" Published by The National Education Departement as An Implementation of The 2006 English Standard Competence. UNESA: Unpublished Thesis. Hutchinson, T. 1987. 'What's Underneath?: An Interactive View of Materials Evaluation'. In L. Sheldon. (Ed). ELT Textbook and Materials: Problems in Evaluation and Development (pp. 37-44). Oxford: Modern English Publications. Lawrence , W. 2011. Textbook Evaluation: A Framework for Evaluating the Fitness of the Hongkong New Secondary School (NSS) Curriculum. Department of English City University of Hongkong: Hongkong. McGrath, I. 2002. Materials Evaluation and Design for Language Teaching. Edinburgh: Edinburg University Press. Mukundan, J. 2007. Evaluation of English Language Textbooks: Some Important Issues for Consideration'. Journal of NELTA, Vol 12 No1&2: 80-4. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No.69 Th. 2013 . 2013. Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Mendikbud. Richards, Jack. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. USA: Cambridge University Press. Tarigan, H. G and Tarigan, D. 1986. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung Angkasa. Tomlinson, B. 2003. Developing Materials for Language Teaching. London: Continuum. Widiarto, Yos. 2009. A Study On The Relevance of English Textbook "Look A Head" Materials with Standar Isi 2006. UNESA: Unpublished Thesis.
AN ANALYSIS OF TRANSLATING THE ADDRESSING TERMS IN PRAMOEDYA ANANTA TOER'S THIS EARTH OF MANKIND Azimatul Fauziah English Literature, Faculty of Languages and Arts, State University of Surabaya azimatul13@gmail.com Dian Rivia Himmawati, SS, M.Hum. English Language and Literature Department, Faculty of Languages and Arts, State University of Surabaya dianrivia@gmail.com ABSTRAK Studi ini focus pada penerjemahan sapaan dalam Bumi Manusia sebagai bahasa sumber dan This Earth of Mankind sebagai bahasa sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kekuasaan dan solidaritas dalam penerjemahan sapaan dan mengetahui faktor yang menyebabkan ketakterjemahan dalam menerjemahkan sapaan. Metode deskriptif kualitatif, teori penerjemahan (House; 2009), hubungan antar kata , kata ganti orang yang memiliki kekuasaan dan solidaritas (Brown and Gilman; 1960), dan register kategori Halliday digunakan untuk menganalisa data. Hasil analisa menunjukan bahwa ada tiga macam sapaan di This Earth of Mankind, sapaan dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. Beberapa sapaan dari bahasa yang berbeda memiliki makna yang sepadan dan penerjemah menerjemahkannya dengan istilah yang sama dengan menggunakan 'denotative equivalence' dan pragmatic equivalence. Penerjemah gagal memahami bahwa penulis membedakan sapaan untuk penjajah dan jajahan, keluarga bangsawan dan masyarakat umum, hubungan formal dan keakraban. Masalah penerjemahan sapaan terjadi ketika sapaan tersebut memiliki konsep khusus yang berhubungan dengan budaya tertentu namun tidak memiliki istilah padanan dalam bahasa sasaran dan karena sistem tatabahasa yang berbeda. Oleh karena itu, penerjemah menggunakan dua pandangan yang berbeda untuk menerjemahkan sapaan. pandangan yang pertama terpusat pada bahasa sumber sedangkan pandangan yang kedua terpusat pada proses penafsiran penerjemah. Hal tersebut membuat terjemahan menjadi sangat berbeda jika dilihat dari mode (cara), field (bidang), dan tenor (tujuan). Kata Kunci: penerjemahan, sapaan, padanan, budaya, kekuasaan ABSTRACT This study focuses on the translation of addressing term in Bumi Manusia as source text and This Earth of Mankind as target text. The purpose of this study is to find out the influence of power and solidarity in translating the addressing terms and find out the factors of untranslatability in translating addressing term. Descriptive qualitative method, translation theory (House; 2009), lexical relation (Kreidler; 1998), pronoun of power and solidarity (Brown and Gilman; 1960), and Hallidayan register categories are applied to analyze the data. The result show that there are three kinds of addressing terms in This Earth of Mankind, Dutch addressing term, Malay addressing term, and Javanese addressing term. Some addressing terms from different language have the same proportional meaning and the translator translated them as the same term and the translator used denotative equivalence and pragmatic equivalence. The translator failed to catch that the author differ the addressing term to show the difference between colonize and colonizer, aristocrat family and common people, intimacy relation and formal relation. The problem of translating addressing terms appeared when the special concept of addressing term related to particular culture do not have any equivalence term in target text and the different of grammatical system. Therefore, it makes the translator use double perspective in translating the addressing term. The first focuses on the source text while the other focus on the process of interpretation by the translator. It made the result of the translation become really different from the original seen from register categories: mode, field, and tenor. Keywords: translation, addressing term, equivalence, culture, dan power INTRODUCTION Bumi Manusia is one of the greatest works of Pramoedya Ananta Toer who was frequently discussed as Indonesia's and Southeast Asia's best candidate for a Nobel Prize in Literature. Terms of addressee plays important role in Bumi Manusia because it indicates the social status of someone. There are three kinds of addressing terms based on ethnicity in this novel. They are Dutch addressing term, Malay addressing term, and Javanese addressing term. Oyetade (as quoted in Chu-Cing Hsu; 2) defines terms of addresseeas words or linguistic expression which speakers use to designate the person being talked to while talk is in progress or which writers use to address the recipient in written communication. Moreover, Braun (1988:7) explains that the actual use and the function of addressing terms depands on the stucture of language, on the speaker's intention and on the address relationship between two interlocutors, as well as on the occasion of the occurrence. Juliane House (2009: 4) defined translation as a process of replacing a text in one language by text in another language. He also explained that translating is not only a linguistic act but it is also an act of communication across culture. Translating terms of addressee from Indonesian into English is not easy because they have different pronominal form. In translating addressing term, the translator should notice on the detail. Words can only be understood when it is considered together with the cultural context. So, in translating addressing term, it is not only replacing the word to another language but creating the same meaning and atmosphere as similar as the original text. Moreover, the addressing terms in Bumi Manusia are closely related to power. Braun and Gilman defined Power as ability to control behavior over another. They also said that power is a relationship between at least two persons, and it is nonreciprocal in the sense that both can not have the same power in the same area of behavior (1960: 254). People who have power will be addressed differently from common people. Power is associated with high social status and it reflects respect and honor. So, people from high social status will be addressed in polite way to show a great reverence. To translate a text as similar as the source text, it is needed to see whether the source text is equivalent to target text or not. House defined equivalence as how similarity of message or function is interpreted (2009: 29). There are many types of equivalence and it depends on the perspective that the translator used. It is possible to use denotative equivalence that use 'real world' referents to which the text relates. Also, the translator could use other equivalence such as pragmatic equivalence which focuses to fulfill its communicative function for the recipients. This study tries to discuss the factors of untranslatability in translating addressing term. There are two research questions for this study, (1) How does the translator translate the Indonesian addressing terms in Toer's Bumi Manusia into English version, This Earth of Mankind? (2) What is the influence of power and solidarity toward the choices of addressing terms in Toer's Bumi Manusia? This study tries to describe about the method of the translator in translating addressing term and know the influence of power and solidarity in translating the addressing term. This study only focuses on translating the addressing terms that have any equivalence problems in their translation and do not pay attention to grammar or another linguistic aspect. This study tries to describe about the process of young learner with visual learning style acquire language and know the relationships between personality and learning style. This study is not only focusing in linguistics but also covering learning activities and psychology area but it is not for learning strategy. Several theories are becoming main cores of this study, such as translation theory of House, lexical relation of Kreidler and Brown and Gilman in pronoun of power and solidarity. . RESEARCH METHOD This study uses descriptive-qualitative in getting and describing about the translating addressing terms phenomena in This Earth of Mankind. This study needs to be explained by words not by numbers or statistics, because this study is stressing on translation aspect and its relationship with culture. Bodgan and Biklen (1984:5) defined the qualitative approach as a research procedure which produces a descriptive data such as verbal or nonverbal utterances or words from the object being observed. The data for this study are utterances. There are two sources of data used in this study. Those data are Toer's Bumi Manusia as source text that was written by Pramoedya Ananta Toer and This Earth of Mankind as target text that was translated by Max Lane. Observation is used to analyze this research. Observation includes collection of the data that is needed by the researcher without manipulating. Sugiyono(2010, p. 146) adds that observation is done by the researcher about what the researcher wants to observe in the research. To observe this research, internet access and taking a note are needed by the researcher as the basic instrument. There were three steps to analyze the data. They were data reduction, data display and conclusion and verification. The researcher sorted the data by choosing the addressing terms that had problem with equivalence. Then, she displayed the data in table. Conclusion and verification became the last step of the data analysis process. In this case, the data had been displayed and discussed before were concluded. The conclusion was the answer of the problems existing supported by some theories related (Sugiyono, 2010, p. 345). To answer the first question, the researcher used lexical relation of Kreidler in his book introducing English semantic and translation theory by Machali. Then, in answering the research question number two, the researcher used pronoun of power and solidarity by Brown and Gilman, translation theory by Nababan and House, then collaborate with Hallidayan register categories of field, mode and tenor. ANNALYSIS AND DISCUSSION There are two analyses in this section. The first is the analysis of the method that was used by translator to translate addressing terms. The second is the analysis of relation between power and solidarity toward the addressing terms. In translating terms of addressees, the translator should find the equivalence between the source text and the target text. House (2009: 29) defines equivalence as a similar message and fulfills a similar function. The writer noticed that the translator use some different patterns. The first pattern, the translator tried to find out the literal or denotative equivalence which use 'real world' as referents for source text to target text. The second pattern, the translator used the original addressing terms from the source text and provided glossary for informing the meaning of the addressing terms in the end of the novel. The last, the translator changed the addressing terms to different addressing terms as the adaptation to the context of target language. After analyzing the method that was used by translator to translate addressing terms, the research used the following table to sum up the result: Table 1 The Comparison of Addressing Terms in Bumi Manusia and This Earth of Mankind No Original Translation Procedure Problem 1. Juffrouw Miss Literal translation Different in context 2. Noni Miss Literal translation Different in context 3. Noni Noni Annotation Inconsistent 4. Mevrouw Mrs/Madam/ Ma'am Literal translation Different in context 5. Mevrouw Miss Free translation Different in meaning 6. Tuanmuda Young master Literal translation Different in context 7. Tuanmuda Master Literal translation Inconsistent 8. Tuan Sir/Mr. Literal translation Different in context 9. Tuan Tuan Annotation Inconsistent 10. Tuan You/he Free translation Different in function 11. Tuan-tuan Tuans Free translation Different in meaning 12. Ndoro Master Literal translation Different in context 13. Ndoro Ndoro Annotation Inconsistent 14. Sahaya I Literal translation Different in context 15. Sahaya Your servant Free translation Different in meaning 16. Meneer Mr. Literal translation Different in context 17. Papa Father Literal translation Different in context 18 Kowe You Literal translation Different in context 19. Nak Child Literal translation Different in context 20. Nyai Nyai Annotation - 21. Nyai-nyai Nyais Free translation Different in meaning 22. Gus Gus Annotation - 23. Sinyo Sinyo Annotation - 24. Mas Mas Annotation - 25. Abang Your friend Free translation Different in meaning 26. Man Man Free translation Different in context 27. Mr Mr. Free translation Different in meaning As shown from the table above, Malay dominated the addressing terms because Malay is neutral language that can be used by Javanese and Dutch in their daily conversations. Noni, Tuanmuda, Tuan, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Nak, Sinyo, and Abang are addressing terms that belong to Malay addressing terms. These terms are more common because Malay is widely used in all Dutch East Indies. In the other hand, there were some Javanese addressing terms such as Nyai, Ndoro, Kowe, Gus, Mas, and Man that were used in particular occasions or refer to particular people. Similar to Javanese addressing terms, Dutch addressing terms are only used for certain people. Juffrouw, Mevrouw, Meneer, and Meester are Ducth addressing terms that only used to call Dutch people. There are three patterns in translating addressing terms. In the first pattern, the translator used denotative equivalence which only focused on the meaning of the terms. Machali (2000) stated that as a method, literal translation considers as the most important translation procedure because the basic of literal translation is in clause or sentence level. However, translating addressing terms include and reflect the culture of the society because the addressing terms that were used by the characters determine their background whether their status or ethnicity. Even the words in source text have the same denotation with target text, they do not always have the same connotation. The translator used two different procedures in translating the addressing terms for the first pattern. The first procedure is lexical translation which is used to translate Tuanmuda, Tuan, Papa, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Aku, Kowe, and Nak. Some of the terms are not appropriate because there is the difference of interpersonal perspective. The second procedure is adaptation. The translator attempted to make the addressing terms familiar in target text. The terms Juffrouw, Mevrouw, Meneer, Ndoro, and Noni are special concepts that were used in Dutch colonial era. The translation text could be understood by the reader of the target text, but the reader can not catch the essence that those terms are particular addressing terms for certain groups. So, even the words of source text have denotative equivalence in target text, but they are not suitable for the context of source text. In the second pattern, the translator did not change the addressing terms because the terms, Noni, Nyai, Ndoro, Gus, Sinyo, and Mas are special concept of source text that do not have any equivalence word in target text. The translator used annotation to translate because he persisted to use the original terms and gave glossary to explain the meaning of the term. The writer noticed that the translator is understand that the addressing terms have important role to distinguish the identity of the characters, but he only highlighted Javanese addressing terms. The concept of thing in Dutch and English are almost similar because they are in the same language family. So, the translator was easy to find out the lexical equivalence from Ducth terms to English terms. However, the concept of some words such as Noni, Sinyo, and Nyai are especially used in colonial era, so it is difficult to find out the equivalence in target text. Ndoro, Gus, and Mas are terms from Javanese culture who really emphasis in status and familiarity while English only differ for formal or informal situation. Unfortunately, the translator used inconsistent translation procedures for one term. For instance, the term Noni is translated as Miss by using lexical translation and the translator also used annotation in other text so that he did not change the addressing terms. These conditions would make the reader confuse and would make wrong interpretation that Miss and Noni are different. The last pattern showed that the translator change the form of the addressing terms. The translator used free style translation. The translator missed to understand the language system of source text and target text because he translated Nyai-Nyai as Nyais and Tuan-Tuan as Tuans. Nyai and Tuan are not English term, so the plural form of Nyai and Tuan are not necessarily Nyais or Tuans because it is unclear whether Nyai and Tuan are countable or uncountable noun. Accountability concept is universal concept that can be understood by all people and can be expressed through lexical structure in all language, but not all languages have grammatical category for number and not all languages apply the same concept for number. The second analysis is relation between power and solidarity toward the addressing using T and V because in previous part, there are many translations of addressing term that are not appropriate to the context of the novel. The ways of people in choosing the addressing terms are really related to the culture that exist in their society. The culture of society consists of everything that everybody has to know or believe in order to operate manner that acceptable for its member. In Javanese society, especially in the past, the kingdom applied feudal system. This system force lower class people to respect much to people who have more power. Gilman (1960; 252) defined Power as a relationship between at least two persons and it is nonreciprocal because both can not have the same authority. There are many forms of power such as physical strength, wealth, age, sex, institutionalized role in the state, the army, or within the family. The relations called older than, richer than, stronger than, employer of, richer than and nobler then are all asymmetrical. If A is older than B, B is not older than A. The relation called "more powerful than". The pronoun usage expressing this power relation is also asymmetrical or nonreciprocal, with the greater receiving V and the lesser T. Pronoun form of T and V were used by some European countries to differ between 'singular you' tu (T) and 'plural you' vos (V). Now, T and V are used as symbols; the T form is often described as the familiar form and the V form as the polite one. The superior will say T to the inferior and receives V, and vice versa. T and V approach also could be used to indicate solidarity. The T form is usually used by people who stand in the same position. It reflects symmetrical relation; for instance: attended the same school or have the same parents or practice in the same profession. The T of solidarity can be produced by frequency of contact as well as by objective similarities. The dimension of solidarity is potentially appropriate to all persons addressed. Power superiors may be solidarity (parents, elder siblings) or not solidarity (officials whom one seldom sees). Reciprocal T usage was always available to show intimacy. The following part would discuss the power of characters and its influence among the other characters and the writer used T and V form to analyze them. To sum up the relation of power and solidarity through the addressing term that were chosen by the characters in Bumi Manusia, the writer summarized them into a table. The table would illustrate the addressing terms, the interlocutors, the relation between interlocutors, and the function of the addressing terms. Table 2 The T and V form of Addressing Terms in Bumi Manusia No Addressing Term Interlocutor Relation Function 1 Juffrouw Java – Dutch Dutch- Indo nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 2 Noni Java – Indo nonreciprocal Respecting 3 Mevrouw Java – Dutch Dutch -Dutch Indo – Indo nonreciprocal reciprocal reciprocal Respecting showing intimacy respecting 4 Nyai Java – Java Dutch - Java reciprocal nonreciprocal Respecting respecting 5 Tuanmuda Dutch – Java Java - Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 6 Tuan Java - Java Java – Dutch nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 7 Ndoro Java – Dutch Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 8 Meneer Java – Dutch nonreciprocal Respecting 9 Mama Ann – Nyai Minke – Nyai nonreciprocal nonreciprocal showing intimacy showing intimacy 10 Papa Indo – western nonreciprocal showing intimacy 11 Aku Java - Java Java – Dutch reciprocal nonreciprocal showing intimacy showing intimacy 12 Sahaya Java – Java nonreciprocal showing intimacy 13 Kowe Dutch – Java nonreciprocal Disrespecting 14 Nak Java – Java nonreciprocal showing intimacy 15 Gus Java – Java nonreciprocal showing intimacy 16 Sinyo Java –Indo Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 17 Abang Indo - Indo Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting showing intimacy 18 Mas Indo – Java reciprocal showing intimacy 19 Man Dutch – Java nonreciprocal Disrespecting 20 Mr (Meester) Java – Dutch nonreciprocal Respecting The table above shows that there are three functions of addressing terms, respecting, disrespecting, and showing intimacy. From the data above, the relations of the interlocutors are mostly nonreciprocal, so it shows that social status is very important in colonial era because the nonreciprocal relations illustrate the difference power between addressor and addressee. In many nonreciprocal cases, the higher social status will get V form from the addressors to show their respect and say T form because they are not stand in the same position as the addressee. Except respecting, nonreciprocal relation is also used to show disrespect. The addressing terms that are used to disregard are especially designed for lower class by upper class or have bad connotation. In contrast, to show intimacy, the relations of the interlocutors are sometimes reciprocal or nonreciprocal. The dimension of solidarity is little bit different from power, because even the interlocutors are not stand in the same position they can use intimate addressing terms because their relations are close. DISCUSSION After analyzing the translation of addressing terms from the source text to target text, now the writer discusses the result of the analysis. Comparison of Original and Translation The research compares the field, tenor, and mode of Bumi Manusia and This Earth of Mankind. The concept of field, tenor, and mode are sociolinguistic dimensions of context of situation jointly characterizing a particular register. House (2009; 33) stated that the original and its translation should have an equivalent function whenever possible. He also said that text and context of situation are indeed separated, but the two interact with each other through inextricable connection between the social environment and the functional organization of language. Before analyzing the register, it is needed to analyze the genre first. House (2009; 35) explained that genre connect an individual text with the larger cultural context of the linguistic and cultural community in which the text is embedded. The genre of Bumi Manusia is historical fiction but it is based on the reality. It included to historical story because the setting illustrated the situation of Indonesia in the late of nineteenth century. The author used particular time and places that make the story as if it was real. The story happened in 1890's, when the national movement had been begun by native to fight against colonizer through non-violence way. Field The first dimension of register is field. Holmes (2009; 34) explained that field captures the subject matter or topic. It describes what the text is about and what kinds of thing are in text. The text was about Minke's life. It describe Minke's journey who is a naïve boy at first to be a mature person. In that process, Minke should face many problems dealing not only with himself but also his society and the colonizer. The complexities of Minke's problem include the conflict of social judgments, hierarchy system, and racial conflict. The description of this story is not so much as historical text but an attractive, easily readable story. Evidence for this is the use of Malay language in telling the story rather than Javanese or Dutch. Malay was language of interracial communication which was used by many people weather Native or Eurasian. However, there were many terms that are not Malay, but they were only used as addressing term. The choice of particular addressing term in Bumi Manusia shows the style of speaking and the purpose of the speaker, indeed the social status. Mevrouw, Juffrouw, Meester, and Meneer are some addressing terms that were borrowed from Dutch language, while Mas, Ndoro, Gus, Mas and Man are some addressing terms that were borrowed from Javanese language. The used of various addressing terms has function as the mark of power and solidarity. As seen in table 4.1.3 (see page 102) there are three functions of addressing terms, respecting, disrespecting, and showing intimacy. From that data, the relations of the interlocutors are mostly nonreciprocal, so it shows that social status is very important in colonial era because the nonreciprocal relations illustrate the difference power between addressor and addressee. The feudal and colonial system forced people to respect everyone who have more power. Geertz (1960: 282) explained that it is nearly impossible for language that applied etiquette system to say anything without indicating the social relationship between the speaker and the listener in terms of status and familiarity. In many nonreciprocal cases, the higher social status will get V form from the addressors to show their respect and say T form because they are not stand in the same position as the addressee. Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai, Tuanmuda, Tuan, Ndoro, Menner, Sahaya, Sinyo, Abang, and Meester are addressing terms to show respect. The translation appears to be generally and decrease its local color because the absence of Dutch addressing terms as the marker of Dutch colonial. Even the translation of Dutch addressing terms have the same function to respect the addressee, the translation can not replace the emotion and the feeling of the original. Except respecting, nonreciprocal relation is also used to show disrespect. The addressing terms that are used to disregard are especially designed for lower class by upper class or have bad connotation. For instance, Kowe is addressing term that was used by Dutch people to express disrespect toward Javanese. The translation of Kowe, you, can not express the same function as the original because this term is neutral addressing term. In contrast, to show intimacy, the relations of the interlocutors are sometimes reciprocal or nonreciprocal. The dimension of solidarity is little bit different from power. Even the interlocutors were not stand in the same position they can use intimate addressing terms because their relations are close. In Bumi Manusia, the relations of the people who used intimate addressing terms such as Mama, Papa, Gus, Abang, and Nak were nonreciprocal. Gus, Abang and Nak were used by older people to younger people. In Javanese, age is one of the main distinctions of nonreciprocal relation. The older people do not need to use polite form, but in this case Gus, Abang and Nak are polite addressing term that indicated close relationship between older and younger people. The translation of Abang (your friend) and Nak (child) can not full fill the same function as the intimate sign like the original did. Tenor House (2009; 34) stated that tenor refers to the nature of the participants, the author and his or her addressee, the relationship between them in terms of social power and familiarity, the author's intellectual and affective position, that is, his or her personal viewpoint. The author was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemic and histories of his homeland and its people. The author seemed to be very aware of the conditions of his story. He attempted to create colonial atmosphere as same as the reality. The choice of the addressing terms included Dutch, Malay, and Javanese was the evident. By differing the addressing terms based on the ethnicity and social status, the author would like to inform the reader the 'reality' in the past. He wanted to show that there were social distance between poor and rich, also Javanese as the colony and Dutch as the colonizer. He persisted to use Dutch addressing terms rather than change it into Malay to create colonial atmosphere because at that time Dutch people make their language as exclusive language. The translator also tried to create colonial atmosphere by using Java and Malay addressing term that do not have equivalent in English. However, instead of using Dutch term as the author did, the translator change the addressing terms into English. Dutch and English are still in the same language family, so there are many terms of English and Dutch that have the same meaning. Mevrouw, Juffrouw, Meneer, and Meester are Dutch terms. Except Meester, they are denotatively equivalent. Mevrouw could be translated as Mrs, Juffrouw as Miss, and Meneer as Mr. They have the same referents in the real world, so it makes them denotatively equivalents. Although, the translator failed to capture that Dutch addressing term has special function as imperial impression. Ashcroft (2002; 7) stated that one of main features of imperial oppression is control over language. Dutch people, at that time, not only controlled for social, politic, and economic aspects but also controlled the language. They limit the used of their language for themselves and their offspring to marginalize their colonies. The translator did not catch the author's aim that he wanted to show the great distance between Dutch and Javanese people. Instead of giving the Dutch colonial atmosphere, the translator gave mental image of British colonialism because the special terms that implicate Dutch colonialism had been translated in English terms. Based on the table in 4.1 (see page 3), most addressing term translation dealt with cultural context. This problem arose because the translation and the original can not make the same psychological understanding for the readers. In addition, the translator used inconsistent term in his translations that primarily make the reader confused. Mode House (2009; 34) defined Mode as a channel of communication. Equivalence in dimension of mode relates to the means whereby the communication is performed. In Bumi Manusia, there were some addressing terms that have different meaning than the lexical meaning because of the feeling of the speaker. Kowe actually is common addressing terms in Javanese society to address someone who is younger or have closed relation, but when it is used by Dutch people the function is changed from showing intimacy become disrespecting. When the Dutch people used Kowe in Bumi Manusia novel, the character always used it in high tension. However, the reader will not catch that Kowe has negative connotation directly because the translation term, you, is neutral addressing terms. The communication purpose of the term Kowe cannot easily catch. So, the irritation of the character could not be understood by the reader. As seen from the mode, field, and tenor analyses above, it show that the original and the translation are not equivalence. The genre of the translation in translating addressing term is not so much as the original because some translation of the addressing terms can not reveal the atmosphere of Dutch colonial that become the main point in this equivalence problem. Equivalence Problem in Translating Addressing Terms in Bumi Manusia The analysis of register categories above clearly showed that the original and translation are not equal. Equivalence of source text and target has limited area because not all of the equivalence approaches can achieved all translation cases. The main factor that made the addressing in source text do not have suitable equivalence in target text is the special concept of Dutch colonial and Javanese culture. Nababan (1999: 99) said that the concept of source text can reveal a concept that is not well known in the target text. Some addressing terms from source text that has special concept are difficult to have their equivalence in target text because of the cultural concept of addressing term from Dutch and Javanese like Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai, Ndoro, Meneer, Gus, Sinyo, Mas, Man, and Meester. Those terms can not easily be transferred to target text because those terms are created by certain condition in particular communities. Some of those terms, Juffrouw, Noni, Mevrouw, Ndoro, and Meneer have the same denotation with the translation term, but the original and translation addressing term have different connotation that make them share different interpretation. The special concept that can not be replaced in target text lead to others related problem. The special concept of particular culture make the language concept of source text is not available in target text. Nababan (1999: 99) explained that the words of source text could be understand and recognized in target text but the target text does not have a term that can reveal the concept from source text. In this case, the term Sahaya and Kowe in source text have different concept from Aku and Kau. The target text do not differ the first and second singular pronoun that make the translation of Sahaya and Kowe have different function from source text. Even the concept of Sahaya and Kowe could be understand in the target text, but the term that have the same meaning and connotation with those term are not available. So, the translator used 'I' and 'you' in a pinch to replace Sahaya and Kowe even 'I' and 'you' also used to translate Aku and Kau. The complexities of Javanese community that apply speech level also direct the translation to the equivalence problem because it makes difference of interpersonal perspective. Nababan (1999: 03) argued that interpersonal perspective is related to the relation of the participants in a text. In a language that really concern to etiquette like Javanese, Geertz stated that it is impossible to address someone without pay attention to the status of the addressee. Etiquette system force the people to create different term for one concept, so the participant can easily choose the right term to address someone that suitable for both the addressor and the addressee. For instance, in Bumi Manusia there are three different addressing terms to call male parent, Papa, Ayah and Ayahanda. The use of those addressing term could reflect the social status of the addressor and the addressee. Papa is used in western family who live Dutch East Indies, Ayah is used in middle-low family, while Ayahanda is used in Javanese aristocrat family. This difference of Papa, Ayah and Ayahanda can not be seen in the translation because the translator translated them as 'father'. The other problem of equivalence that appears because of the particular culture of the two languages is the difference of expressive meaning. According to Nababan (1999: 103) the words in source text and target text have the same proportional meaning but often they are different in expressive meaning. There are many addressing terms that have the same proportional meaning but they are different in expressive meaning because Malay terms differentiate the addressing terms based on the relationship and the social status. The term Nak has the same proportional meaning with child, but they are used in different intention. Nak is for showing intimacy but child dispose to create formal atmosphere rather than familiarity. Both terms have the same proportional meaning but they express different purpose and connotation. The different perspective toward a concept will also lead the translation to equivalence problem (Nababan, 1999: 101). Furthermore, it is also the effect of special concept in source text. The term Man in Javanese context at that time was used to address Javanese adult male from middle-low status. In the translation text, the term Man translated as man because English does not distinguish the term man for rich or poor people. In the other hand, the translator also missed to capture the perspective of the character in choosing particular term when he translated Abang. The proportional meaning of Abang is addressing term to call elder brother but it could be used to call man or boy who is elder than the addressee. The translator translated Abangmu as your friend but from Nyai Ontosoroh's point of view, she used Abangmu to make Annelies felt comfort and consider Minke as her own son. Changing the term Abangmu as your friend would lead the reader to different understanding because it seems that Nyai Ontosoroh treat Minke as only her guest. The other factor except special concept of Dutch colonial and Javanese culture is the difference in grammatical system. Nababan (1999; 108) stated that grammatical equivalence focuses to the similar concept of source text and target text at the level of number, gender, person, tense, and aspect. In translating the addressing term, the problem appeared when source language and target language have different grammatical system. The term Nyai-Nyai became Nyais or Tuan-Tuan became Tuans is not equivalence because both term are Malay term. Malay and English apply different method to change the singular concept to be plural. The translator used free style translation and he missed to understand the language system of source text and target text because he translated Nyai-Nyai as Nyais and Tuan-Tuan as Tuans. Nyai and Tuan are not English term, so the plural form of Nyai and Tuan are not necessarily Nyais or Tuans because it is unclear whether Nyai and Tuan are countable or uncountable noun. Accountability concept is universal concept that can be understood by all people and can be expressed through lexical structure in all language, but not all languages have grammatical category for number and not all languages apply the same concept for number. Therefore, the translator should observe carefully whether one concept of a language could be applied to another language or not. The reader of the target text would feel unfamiliar because in some text, the translator used Nyai and Tuan for singular form, but after that those terms became Nyais and Tuans, whereas the reader could have another understanding rather than think that those terms are plural form because they never know the terms Nyais and Tuans before. Double Perspective in Translating Bumi Manusia Constructing the effective translation is one of the purposes of translation. Nababan (1999:88) stated that there are two main factors that determine the effectiveness of the translation. The first is dimension of linguistic and knowledge. Straight (as quoted in Nababan, 1999) said that fruitfulness in conveying the message depends on the knowledge about the context of culture and the language system of source language and target language. In this case, the translator failed to capture that addressing term play important role because it reflects etiquette culture of Javanese and Dutch colonial culture in Dutch East Indies. The second factor is purpose dimension. Nababan (1999, 87) stated that the translator should decide the purpose of the translation. Further, he explained that the purpose should meet this criteria; fruitful to the original, use translation style that appropriate to source text, use suitable equivalence, and the readability level of translation fitted to the source text. However, the analysis in the previous part show that the translation of addressing terms dealt with many equivalence problems and shared different function and connotation from the original that make the translation become unreadable and confusing for the reader. Both dimensions above can not be reached by the translator because he used more than one perspective in translating the addressing terms. Before translating a text, a translator had to analyze the source text to understand the content of the text. Then, the translator chose the approach that is suitable for source text. From the data in the table in 4.1 (see page 3), the writer found some addressing terms that have many equivalent problems. The translator may use more than one procedure in translating addressing terms because the procedure of translation is for sentences or smaller linguistics units as clause, phrase, word, etc. However, before determining the procedure, the translator should choose the perspective or method that he wants to apply in translating the source text. The method that the translator used will be a framework that guides the translator to translate the text in a line. The writer noticed that the translator used double perspectives that make his translation contradictory. In translating addressing terms such as Noni, Ndoro, Nyai, Tuan, Tuanmuda, Papa, Gus, Sinyo, and Mas, the translator used perspective that was focus on the original text. House (2009: 15) explained that a focus on the (original) texts mean analyzing it, and systematically linking its form and functions in order to reveal the original author's motivated choices. The translator considered the reason of the author in choosing addressing terms and tried to find out the closest equivalence in target text, even for some addressing terms do not have any equivalence that make the translator insisted to use the original term. In contrast, the translator also used perspective that focus on the process of interpretation. House (2009: 20) defined this perspective as the translator way to builds up an individual mental representation of its meaning. House added that the reconstitution of the 'the meaning' of a text to fit another language and context is not the central point. It is dealing more with the invention of the translator then discovery of what is already exist in a text. Therefore, when the translator used this perspective to translate some addressing terms such as Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai-Nyai, Tuan-Tuan, Nak, Abang, Man, etc the translation become very different from the context in source text. This perspective also leads the translator to make confusing translation because the translation for one term becomes inconsistent. Moreover some addressing terms have different meaning and connotation from the source text. In translating a text, translator should use only one perspective to make the synchronized translation. Double translation would lead the translator to different way in translating addressing term because one perspective deal with different point of view to another perspective. In Bumi Manusia case, it is much better for the translator to only apply the perspective that focus on the source text since the background of the original can not be easily transferred to target text. Moreover, if the translator was consistent to use one perspective, he would not make ambiguity translation. By understanding the whole context of the story that include ecology, technology, material culture, social organization, myth, and linguistic system of source text, the translator would have better perceptive to make good translation that fruitful to the original but it is still readable for the target reader. CONCLUSION This study is conducted to describe how the phenomenon of translating addressing terms is rolled out in BumiManusia and This Earth of Mankind. The conclusion of this study is formulated based on the statement of problems. Some translation theory based on several authors (House; 2009; Machali 2000; and Nababan; 1999): translation perspective, equivalence in translation, equivalence problem, and register categories of field, mode, and tenor are combined to the theory of addressing term (Wardaugh; 2006), pronouns of power and solidarity (Brown and Gilman; 1960) and lexical relation (Kreidler; 1998) to identify how the translator translated the addressing terms and the relation of the addressing terms toward the cultural context. Then, the writer comes to a conclusion that: The T and V approach also showed that power and solidarity become the main consideration for the characters in choosing addressing terms, so that the characters used different addressing terms depend on the status of the addressee and the relation among the characters. The translator used three patterns in translating addressing terms. In the first pattern, the translator used literal translation to translate Juffrouw, Noni, Mevrouw, Tuanmuda, Tuan, Ndoro, Meener, Papa, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Aku, Kowe, and Nak. In second pattern, the translator used original terms, Noni, Nyai, Ndoro, Gus, Sinyo, and Mas in the target text. The last pattern is changing the addressing terms such as Nyai-Nyai, Tuan, Sahaya, Abang, Man, and Meester since the adaptation of target text. From the patterns above, it was found that the translator was inconsistent to translate some addressing terms because he translated one term used some different procedure that make the meaning of the addressing terms contradictory. Also he did not pay attention to the culture and the context that involve in addressing terms so he only did linguistic translation without concerning to the cultural influences. The main factor that lead untranslatability of translating Bumi Manusia's addressing terms is special concept of Javanese culture and Dutch colonial system that make the addressing terms can not be easily transferred to target. The difference of grammatical system of source language and target language also lead the translator to get difficulties in finding suitable equivalence for the addressing terms. Therefore the translator used double perspective to solve the equivalence problems. As a result double perspective that was expected to solve the problem instead made a larger problem because the translation of addressing terms become untranslatability and unreadable. SUGGESTION Addressing terms is general phenomenon which occurs in daily life. But, the analysis of translating addressing terms is still rarely discussed whereas linguistics and its branches is basically concerning with the use of language. From this study, the future researchers are suggested to be more interested in enlarging their knowledge dealing with applied linguistics, especially translating addressing terms which concerns with how translating addressing terms based on cultural context. Equally important, it is suggested for the readers to pay attention in choosing addressing terms based on the condition and the status of the addressee because the wrong addressing terms choices will make the addressee feel insulted or annoyed REFERENCES Ananta Toer, Pramoedya. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara. Ananta Toer, Pramoedya. 1996. This Earth of Mankind. New York: Penguin books Ltd. Ashcroft, Bill and Griffiths, Gareth. 2002. The Empire Writes Back – Theory and practice in post-colonial literatures. New York and London: Routledge Taylor & Francis Group. Bogdan, Robert. C and Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: an Introduction to Theory and Methods.Allyn and Bacon. Inc. USA Brown, R., Gilman, A. 1960. The pronouns of Power and Solidarity. Thomas A. Sebeok, eds. Style in Language. Cambridge-Massachusetts: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology, 252-275. Geertz, Clifford. 1960. Linguistic Etiquette. Thomas A. Sebeok, eds. Style in Language. Cambridge-Massachusetts: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology, 282-295 Holmes, Janet. 1992. An Inroduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman Group. Hornby, A. S. (Ed.) 1948. Advanced Learner's Dictionary (7th ed.). Oxford: Oxford University Press. House, Juliane. 2009. Translation. Oxford: Oxford University Press. Machali, R. .2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. Nababan, R. 1999. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: PustakaPelajar Pramoedya Ananta Toer. Retrieved on June 25, 2013 from site: http://en.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer Rothschild, Metthew. Interview with Pramoedya Ananta Toer. The Progressive Magazine. Retrieved on June 26, 2013 from site: http://www.progressive.org/mag_intv1099 Sugiyono. 2010. MetodePenelitianKuantitatif R & D. Bandung: Alfabeta. Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistic.Oxford: Blackwell Publishing Widyastuti, Susana. Componential Analysis of Meaning: Theory and Applications. Online journal. Retrieved on June 25, 2013 from site: http://eprints.uny.ac.id/1174 W. Kreidler, Charles. 1998. Introducing English Semantic. London: Routledge.
AN ANALYSIS OF TRANSLATING THE ADDRESSING TERMS IN PRAMOEDYA ANANTA TOER'S THIS EARTH OF MANKIND Azimatul Fauziah English Literature, Faculty of Languages and Arts, State University of Surabaya azimatul13@gmail.com Dian Rivia Himmawati, SS, M.Hum. English Language and Literature Department, Faculty of Languages and Arts, State University of Surabaya dianrivia@gmail.com ABSTRAK Studi ini focus pada penerjemahan sapaan dalam Bumi Manusia sebagai bahasa sumber dan This Earth of Mankind sebagai bahasa sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kekuasaan dan solidaritas dalam penerjemahan sapaan dan mengetahui faktor yang menyebabkan ketakterjemahan dalam menerjemahkan sapaan. Metode deskriptif kualitatif, teori penerjemahan (House; 2009), hubungan antar kata , kata ganti orang yang memiliki kekuasaan dan solidaritas (Brown and Gilman; 1960), dan register kategori Halliday digunakan untuk menganalisa data. Hasil analisa menunjukan bahwa ada tiga macam sapaan di This Earth of Mankind, sapaan dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. Beberapa sapaan dari bahasa yang berbeda memiliki makna yang sepadan dan penerjemah menerjemahkannya dengan istilah yang sama dengan menggunakan 'denotative equivalence' dan pragmatic equivalence. Penerjemah gagal memahami bahwa penulis membedakan sapaan untuk penjajah dan jajahan, keluarga bangsawan dan masyarakat umum, hubungan formal dan keakraban. Masalah penerjemahan sapaan terjadi ketika sapaan tersebut memiliki konsep khusus yang berhubungan dengan budaya tertentu namun tidak memiliki istilah padanan dalam bahasa sasaran dan karena sistem tatabahasa yang berbeda. Oleh karena itu, penerjemah menggunakan dua pandangan yang berbeda untuk menerjemahkan sapaan. pandangan yang pertama terpusat pada bahasa sumber sedangkan pandangan yang kedua terpusat pada proses penafsiran penerjemah. Hal tersebut membuat terjemahan menjadi sangat berbeda jika dilihat dari mode (cara), field (bidang), dan tenor (tujuan). Kata Kunci: penerjemahan, sapaan, padanan, budaya, kekuasaan ABSTRACT This study focuses on the translation of addressing term in Bumi Manusia as source text and This Earth of Mankind as target text. The purpose of this study is to find out the influence of power and solidarity in translating the addressing terms and find out the factors of untranslatability in translating addressing term. Descriptive qualitative method, translation theory (House; 2009), lexical relation (Kreidler; 1998), pronoun of power and solidarity (Brown and Gilman; 1960), and Hallidayan register categories are applied to analyze the data. The result show that there are three kinds of addressing terms in This Earth of Mankind, Dutch addressing term, Malay addressing term, and Javanese addressing term. Some addressing terms from different language have the same proportional meaning and the translator translated them as the same term and the translator used denotative equivalence and pragmatic equivalence. The translator failed to catch that the author differ the addressing term to show the difference between colonize and colonizer, aristocrat family and common people, intimacy relation and formal relation. The problem of translating addressing terms appeared when the special concept of addressing term related to particular culture do not have any equivalence term in target text and the different of grammatical system. Therefore, it makes the translator use double perspective in translating the addressing term. The first focuses on the source text while the other focus on the process of interpretation by the translator. It made the result of the translation become really different from the original seen from register categories: mode, field, and tenor. Keywords: translation, addressing term, equivalence, culture, dan power INTRODUCTION Bumi Manusia is one of the greatest works of Pramoedya Ananta Toer who was frequently discussed as Indonesia's and Southeast Asia's best candidate for a Nobel Prize in Literature. Terms of addressee plays important role in Bumi Manusia because it indicates the social status of someone. There are three kinds of addressing terms based on ethnicity in this novel. They are Dutch addressing term, Malay addressing term, and Javanese addressing term. Oyetade (as quoted in Chu-Cing Hsu; 2) defines terms of addresseeas words or linguistic expression which speakers use to designate the person being talked to while talk is in progress or which writers use to address the recipient in written communication. Moreover, Braun (1988:7) explains that the actual use and the function of addressing terms depands on the stucture of language, on the speaker's intention and on the address relationship between two interlocutors, as well as on the occasion of the occurrence. Juliane House (2009: 4) defined translation as a process of replacing a text in one language by text in another language. He also explained that translating is not only a linguistic act but it is also an act of communication across culture. Translating terms of addressee from Indonesian into English is not easy because they have different pronominal form. In translating addressing term, the translator should notice on the detail. Words can only be understood when it is considered together with the cultural context. So, in translating addressing term, it is not only replacing the word to another language but creating the same meaning and atmosphere as similar as the original text. Moreover, the addressing terms in Bumi Manusia are closely related to power. Braun and Gilman defined Power as ability to control behavior over another. They also said that power is a relationship between at least two persons, and it is nonreciprocal in the sense that both can not have the same power in the same area of behavior (1960: 254). People who have power will be addressed differently from common people. Power is associated with high social status and it reflects respect and honor. So, people from high social status will be addressed in polite way to show a great reverence. To translate a text as similar as the source text, it is needed to see whether the source text is equivalent to target text or not. House defined equivalence as how similarity of message or function is interpreted (2009: 29). There are many types of equivalence and it depends on the perspective that the translator used. It is possible to use denotative equivalence that use 'real world' referents to which the text relates. Also, the translator could use other equivalence such as pragmatic equivalence which focuses to fulfill its communicative function for the recipients. This study tries to discuss the factors of untranslatability in translating addressing term. There are two research questions for this study, (1) How does the translator translate the Indonesian addressing terms in Toer's Bumi Manusia into English version, This Earth of Mankind? (2) What is the influence of power and solidarity toward the choices of addressing terms in Toer's Bumi Manusia? This study tries to describe about the method of the translator in translating addressing term and know the influence of power and solidarity in translating the addressing term. This study only focuses on translating the addressing terms that have any equivalence problems in their translation and do not pay attention to grammar or another linguistic aspect. This study tries to describe about the process of young learner with visual learning style acquire language and know the relationships between personality and learning style. This study is not only focusing in linguistics but also covering learning activities and psychology area but it is not for learning strategy. Several theories are becoming main cores of this study, such as translation theory of House, lexical relation of Kreidler and Brown and Gilman in pronoun of power and solidarity. . RESEARCH METHOD This study uses descriptive-qualitative in getting and describing about the translating addressing terms phenomena in This Earth of Mankind. This study needs to be explained by words not by numbers or statistics, because this study is stressing on translation aspect and its relationship with culture. Bodgan and Biklen (1984:5) defined the qualitative approach as a research procedure which produces a descriptive data such as verbal or nonverbal utterances or words from the object being observed. The data for this study are utterances. There are two sources of data used in this study. Those data are Toer's Bumi Manusia as source text that was written by Pramoedya Ananta Toer and This Earth of Mankind as target text that was translated by Max Lane. Observation is used to analyze this research. Observation includes collection of the data that is needed by the researcher without manipulating. Sugiyono(2010, p. 146) adds that observation is done by the researcher about what the researcher wants to observe in the research. To observe this research, internet access and taking a note are needed by the researcher as the basic instrument. There were three steps to analyze the data. They were data reduction, data display and conclusion and verification. The researcher sorted the data by choosing the addressing terms that had problem with equivalence. Then, she displayed the data in table. Conclusion and verification became the last step of the data analysis process. In this case, the data had been displayed and discussed before were concluded. The conclusion was the answer of the problems existing supported by some theories related (Sugiyono, 2010, p. 345). To answer the first question, the researcher used lexical relation of Kreidler in his book introducing English semantic and translation theory by Machali. Then, in answering the research question number two, the researcher used pronoun of power and solidarity by Brown and Gilman, translation theory by Nababan and House, then collaborate with Hallidayan register categories of field, mode and tenor. ANNALYSIS AND DISCUSSION There are two analyses in this section. The first is the analysis of the method that was used by translator to translate addressing terms. The second is the analysis of relation between power and solidarity toward the addressing terms. In translating terms of addressees, the translator should find the equivalence between the source text and the target text. House (2009: 29) defines equivalence as a similar message and fulfills a similar function. The writer noticed that the translator use some different patterns. The first pattern, the translator tried to find out the literal or denotative equivalence which use 'real world' as referents for source text to target text. The second pattern, the translator used the original addressing terms from the source text and provided glossary for informing the meaning of the addressing terms in the end of the novel. The last, the translator changed the addressing terms to different addressing terms as the adaptation to the context of target language. After analyzing the method that was used by translator to translate addressing terms, the research used the following table to sum up the result: Table 1 The Comparison of Addressing Terms in Bumi Manusia and This Earth of Mankind No Original Translation Procedure Problem 1. Juffrouw Miss Literal translation Different in context 2. Noni Miss Literal translation Different in context 3. Noni Noni Annotation Inconsistent 4. Mevrouw Mrs/Madam/ Ma'am Literal translation Different in context 5. Mevrouw Miss Free translation Different in meaning 6. Tuanmuda Young master Literal translation Different in context 7. Tuanmuda Master Literal translation Inconsistent 8. Tuan Sir/Mr. Literal translation Different in context 9. Tuan Tuan Annotation Inconsistent 10. Tuan You/he Free translation Different in function 11. Tuan-tuan Tuans Free translation Different in meaning 12. Ndoro Master Literal translation Different in context 13. Ndoro Ndoro Annotation Inconsistent 14. Sahaya I Literal translation Different in context 15. Sahaya Your servant Free translation Different in meaning 16. Meneer Mr. Literal translation Different in context 17. Papa Father Literal translation Different in context 18 Kowe You Literal translation Different in context 19. Nak Child Literal translation Different in context 20. Nyai Nyai Annotation - 21. Nyai-nyai Nyais Free translation Different in meaning 22. Gus Gus Annotation - 23. Sinyo Sinyo Annotation - 24. Mas Mas Annotation - 25. Abang Your friend Free translation Different in meaning 26. Man Man Free translation Different in context 27. Mr Mr. Free translation Different in meaning As shown from the table above, Malay dominated the addressing terms because Malay is neutral language that can be used by Javanese and Dutch in their daily conversations. Noni, Tuanmuda, Tuan, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Nak, Sinyo, and Abang are addressing terms that belong to Malay addressing terms. These terms are more common because Malay is widely used in all Dutch East Indies. In the other hand, there were some Javanese addressing terms such as Nyai, Ndoro, Kowe, Gus, Mas, and Man that were used in particular occasions or refer to particular people. Similar to Javanese addressing terms, Dutch addressing terms are only used for certain people. Juffrouw, Mevrouw, Meneer, and Meester are Ducth addressing terms that only used to call Dutch people. There are three patterns in translating addressing terms. In the first pattern, the translator used denotative equivalence which only focused on the meaning of the terms. Machali (2000) stated that as a method, literal translation considers as the most important translation procedure because the basic of literal translation is in clause or sentence level. However, translating addressing terms include and reflect the culture of the society because the addressing terms that were used by the characters determine their background whether their status or ethnicity. Even the words in source text have the same denotation with target text, they do not always have the same connotation. The translator used two different procedures in translating the addressing terms for the first pattern. The first procedure is lexical translation which is used to translate Tuanmuda, Tuan, Papa, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Aku, Kowe, and Nak. Some of the terms are not appropriate because there is the difference of interpersonal perspective. The second procedure is adaptation. The translator attempted to make the addressing terms familiar in target text. The terms Juffrouw, Mevrouw, Meneer, Ndoro, and Noni are special concepts that were used in Dutch colonial era. The translation text could be understood by the reader of the target text, but the reader can not catch the essence that those terms are particular addressing terms for certain groups. So, even the words of source text have denotative equivalence in target text, but they are not suitable for the context of source text. In the second pattern, the translator did not change the addressing terms because the terms, Noni, Nyai, Ndoro, Gus, Sinyo, and Mas are special concept of source text that do not have any equivalence word in target text. The translator used annotation to translate because he persisted to use the original terms and gave glossary to explain the meaning of the term. The writer noticed that the translator is understand that the addressing terms have important role to distinguish the identity of the characters, but he only highlighted Javanese addressing terms. The concept of thing in Dutch and English are almost similar because they are in the same language family. So, the translator was easy to find out the lexical equivalence from Ducth terms to English terms. However, the concept of some words such as Noni, Sinyo, and Nyai are especially used in colonial era, so it is difficult to find out the equivalence in target text. Ndoro, Gus, and Mas are terms from Javanese culture who really emphasis in status and familiarity while English only differ for formal or informal situation. Unfortunately, the translator used inconsistent translation procedures for one term. For instance, the term Noni is translated as Miss by using lexical translation and the translator also used annotation in other text so that he did not change the addressing terms. These conditions would make the reader confuse and would make wrong interpretation that Miss and Noni are different. The last pattern showed that the translator change the form of the addressing terms. The translator used free style translation. The translator missed to understand the language system of source text and target text because he translated Nyai-Nyai as Nyais and Tuan-Tuan as Tuans. Nyai and Tuan are not English term, so the plural form of Nyai and Tuan are not necessarily Nyais or Tuans because it is unclear whether Nyai and Tuan are countable or uncountable noun. Accountability concept is universal concept that can be understood by all people and can be expressed through lexical structure in all language, but not all languages have grammatical category for number and not all languages apply the same concept for number. The second analysis is relation between power and solidarity toward the addressing using T and V because in previous part, there are many translations of addressing term that are not appropriate to the context of the novel. The ways of people in choosing the addressing terms are really related to the culture that exist in their society. The culture of society consists of everything that everybody has to know or believe in order to operate manner that acceptable for its member. In Javanese society, especially in the past, the kingdom applied feudal system. This system force lower class people to respect much to people who have more power. Gilman (1960; 252) defined Power as a relationship between at least two persons and it is nonreciprocal because both can not have the same authority. There are many forms of power such as physical strength, wealth, age, sex, institutionalized role in the state, the army, or within the family. The relations called older than, richer than, stronger than, employer of, richer than and nobler then are all asymmetrical. If A is older than B, B is not older than A. The relation called "more powerful than". The pronoun usage expressing this power relation is also asymmetrical or nonreciprocal, with the greater receiving V and the lesser T. Pronoun form of T and V were used by some European countries to differ between 'singular you' tu (T) and 'plural you' vos (V). Now, T and V are used as symbols; the T form is often described as the familiar form and the V form as the polite one. The superior will say T to the inferior and receives V, and vice versa. T and V approach also could be used to indicate solidarity. The T form is usually used by people who stand in the same position. It reflects symmetrical relation; for instance: attended the same school or have the same parents or practice in the same profession. The T of solidarity can be produced by frequency of contact as well as by objective similarities. The dimension of solidarity is potentially appropriate to all persons addressed. Power superiors may be solidarity (parents, elder siblings) or not solidarity (officials whom one seldom sees). Reciprocal T usage was always available to show intimacy. The following part would discuss the power of characters and its influence among the other characters and the writer used T and V form to analyze them. To sum up the relation of power and solidarity through the addressing term that were chosen by the characters in Bumi Manusia, the writer summarized them into a table. The table would illustrate the addressing terms, the interlocutors, the relation between interlocutors, and the function of the addressing terms. Table 2 The T and V form of Addressing Terms in Bumi Manusia No Addressing Term Interlocutor Relation Function 1 Juffrouw Java – Dutch Dutch- Indo nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 2 Noni Java – Indo nonreciprocal Respecting 3 Mevrouw Java – Dutch Dutch -Dutch Indo – Indo nonreciprocal reciprocal reciprocal Respecting showing intimacy respecting 4 Nyai Java – Java Dutch - Java reciprocal nonreciprocal Respecting respecting 5 Tuanmuda Dutch – Java Java - Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 6 Tuan Java - Java Java – Dutch nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 7 Ndoro Java – Dutch Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 8 Meneer Java – Dutch nonreciprocal Respecting 9 Mama Ann – Nyai Minke – Nyai nonreciprocal nonreciprocal showing intimacy showing intimacy 10 Papa Indo – western nonreciprocal showing intimacy 11 Aku Java - Java Java – Dutch reciprocal nonreciprocal showing intimacy showing intimacy 12 Sahaya Java – Java nonreciprocal showing intimacy 13 Kowe Dutch – Java nonreciprocal Disrespecting 14 Nak Java – Java nonreciprocal showing intimacy 15 Gus Java – Java nonreciprocal showing intimacy 16 Sinyo Java –Indo Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 17 Abang Indo - Indo Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting showing intimacy 18 Mas Indo – Java reciprocal showing intimacy 19 Man Dutch – Java nonreciprocal Disrespecting 20 Mr (Meester) Java – Dutch nonreciprocal Respecting The table above shows that there are three functions of addressing terms, respecting, disrespecting, and showing intimacy. From the data above, the relations of the interlocutors are mostly nonreciprocal, so it shows that social status is very important in colonial era because the nonreciprocal relations illustrate the difference power between addressor and addressee. In many nonreciprocal cases, the higher social status will get V form from the addressors to show their respect and say T form because they are not stand in the same position as the addressee. Except respecting, nonreciprocal relation is also used to show disrespect. The addressing terms that are used to disregard are especially designed for lower class by upper class or have bad connotation. In contrast, to show intimacy, the relations of the interlocutors are sometimes reciprocal or nonreciprocal. The dimension of solidarity is little bit different from power, because even the interlocutors are not stand in the same position they can use intimate addressing terms because their relations are close. DISCUSSION After analyzing the translation of addressing terms from the source text to target text, now the writer discusses the result of the analysis. Comparison of Original and Translation The research compares the field, tenor, and mode of Bumi Manusia and This Earth of Mankind. The concept of field, tenor, and mode are sociolinguistic dimensions of context of situation jointly characterizing a particular register. House (2009; 33) stated that the original and its translation should have an equivalent function whenever possible. He also said that text and context of situation are indeed separated, but the two interact with each other through inextricable connection between the social environment and the functional organization of language. Before analyzing the register, it is needed to analyze the genre first. House (2009; 35) explained that genre connect an individual text with the larger cultural context of the linguistic and cultural community in which the text is embedded. The genre of Bumi Manusia is historical fiction but it is based on the reality. It included to historical story because the setting illustrated the situation of Indonesia in the late of nineteenth century. The author used particular time and places that make the story as if it was real. The story happened in 1890's, when the national movement had been begun by native to fight against colonizer through non-violence way. Field The first dimension of register is field. Holmes (2009; 34) explained that field captures the subject matter or topic. It describes what the text is about and what kinds of thing are in text. The text was about Minke's life. It describe Minke's journey who is a naïve boy at first to be a mature person. In that process, Minke should face many problems dealing not only with himself but also his society and the colonizer. The complexities of Minke's problem include the conflict of social judgments, hierarchy system, and racial conflict. The description of this story is not so much as historical text but an attractive, easily readable story. Evidence for this is the use of Malay language in telling the story rather than Javanese or Dutch. Malay was language of interracial communication which was used by many people weather Native or Eurasian. However, there were many terms that are not Malay, but they were only used as addressing term. The choice of particular addressing term in Bumi Manusia shows the style of speaking and the purpose of the speaker, indeed the social status. Mevrouw, Juffrouw, Meester, and Meneer are some addressing terms that were borrowed from Dutch language, while Mas, Ndoro, Gus, Mas and Man are some addressing terms that were borrowed from Javanese language. The used of various addressing terms has function as the mark of power and solidarity. As seen in table 4.1.3 (see page 102) there are three functions of addressing terms, respecting, disrespecting, and showing intimacy. From that data, the relations of the interlocutors are mostly nonreciprocal, so it shows that social status is very important in colonial era because the nonreciprocal relations illustrate the difference power between addressor and addressee. The feudal and colonial system forced people to respect everyone who have more power. Geertz (1960: 282) explained that it is nearly impossible for language that applied etiquette system to say anything without indicating the social relationship between the speaker and the listener in terms of status and familiarity. In many nonreciprocal cases, the higher social status will get V form from the addressors to show their respect and say T form because they are not stand in the same position as the addressee. Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai, Tuanmuda, Tuan, Ndoro, Menner, Sahaya, Sinyo, Abang, and Meester are addressing terms to show respect. The translation appears to be generally and decrease its local color because the absence of Dutch addressing terms as the marker of Dutch colonial. Even the translation of Dutch addressing terms have the same function to respect the addressee, the translation can not replace the emotion and the feeling of the original. Except respecting, nonreciprocal relation is also used to show disrespect. The addressing terms that are used to disregard are especially designed for lower class by upper class or have bad connotation. For instance, Kowe is addressing term that was used by Dutch people to express disrespect toward Javanese. The translation of Kowe, you, can not express the same function as the original because this term is neutral addressing term. In contrast, to show intimacy, the relations of the interlocutors are sometimes reciprocal or nonreciprocal. The dimension of solidarity is little bit different from power. Even the interlocutors were not stand in the same position they can use intimate addressing terms because their relations are close. In Bumi Manusia, the relations of the people who used intimate addressing terms such as Mama, Papa, Gus, Abang, and Nak were nonreciprocal. Gus, Abang and Nak were used by older people to younger people. In Javanese, age is one of the main distinctions of nonreciprocal relation. The older people do not need to use polite form, but in this case Gus, Abang and Nak are polite addressing term that indicated close relationship between older and younger people. The translation of Abang (your friend) and Nak (child) can not full fill the same function as the intimate sign like the original did. Tenor House (2009; 34) stated that tenor refers to the nature of the participants, the author and his or her addressee, the relationship between them in terms of social power and familiarity, the author's intellectual and affective position, that is, his or her personal viewpoint. The author was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemic and histories of his homeland and its people. The author seemed to be very aware of the conditions of his story. He attempted to create colonial atmosphere as same as the reality. The choice of the addressing terms included Dutch, Malay, and Javanese was the evident. By differing the addressing terms based on the ethnicity and social status, the author would like to inform the reader the 'reality' in the past. He wanted to show that there were social distance between poor and rich, also Javanese as the colony and Dutch as the colonizer. He persisted to use Dutch addressing terms rather than change it into Malay to create colonial atmosphere because at that time Dutch people make their language as exclusive language. The translator also tried to create colonial atmosphere by using Java and Malay addressing term that do not have equivalent in English. However, instead of using Dutch term as the author did, the translator change the addressing terms into English. Dutch and English are still in the same language family, so there are many terms of English and Dutch that have the same meaning. Mevrouw, Juffrouw, Meneer, and Meester are Dutch terms. Except Meester, they are denotatively equivalent. Mevrouw could be translated as Mrs, Juffrouw as Miss, and Meneer as Mr. They have the same referents in the real world, so it makes them denotatively equivalents. Although, the translator failed to capture that Dutch addressing term has special function as imperial impression. Ashcroft (2002; 7) stated that one of main features of imperial oppression is control over language. Dutch people, at that time, not only controlled for social, politic, and economic aspects but also controlled the language. They limit the used of their language for themselves and their offspring to marginalize their colonies. The translator did not catch the author's aim that he wanted to show the great distance between Dutch and Javanese people. Instead of giving the Dutch colonial atmosphere, the translator gave mental image of British colonialism because the special terms that implicate Dutch colonialism had been translated in English terms. Based on the table in 4.1 (see page 3), most addressing term translation dealt with cultural context. This problem arose because the translation and the original can not make the same psychological understanding for the readers. In addition, the translator used inconsistent term in his translations that primarily make the reader confused. Mode House (2009; 34) defined Mode as a channel of communication. Equivalence in dimension of mode relates to the means whereby the communication is performed. In Bumi Manusia, there were some addressing terms that have different meaning than the lexical meaning because of the feeling of the speaker. Kowe actually is common addressing terms in Javanese society to address someone who is younger or have closed relation, but when it is used by Dutch people the function is changed from showing intimacy become disrespecting. When the Dutch people used Kowe in Bumi Manusia novel, the character always used it in high tension. However, the reader will not catch that Kowe has negative connotation directly because the translation term, you, is neutral addressing terms. The communication purpose of the term Kowe cannot easily catch. So, the irritation of the character could not be understood by the reader. As seen from the mode, field, and tenor analyses above, it show that the original and the translation are not equivalence. The genre of the translation in translating addressing term is not so much as the original because some translation of the addressing terms can not reveal the atmosphere of Dutch colonial that become the main point in this equivalence problem. Equivalence Problem in Translating Addressing Terms in Bumi Manusia The analysis of register categories above clearly showed that the original and translation are not equal. Equivalence of source text and target has limited area because not all of the equivalence approaches can achieved all translation cases. The main factor that made the addressing in source text do not have suitable equivalence in target text is the special concept of Dutch colonial and Javanese culture. Nababan (1999: 99) said that the concept of source text can reveal a concept that is not well known in the target text. Some addressing terms from source text that has special concept are difficult to have their equivalence in target text because of the cultural concept of addressing term from Dutch and Javanese like Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai, Ndoro, Meneer, Gus, Sinyo, Mas, Man, and Meester. Those terms can not easily be transferred to target text because those terms are created by certain condition in particular communities. Some of those terms, Juffrouw, Noni, Mevrouw, Ndoro, and Meneer have the same denotation with the translation term, but the original and translation addressing term have different connotation that make them share different interpretation. The special concept that can not be replaced in target text lead to others related problem. The special concept of particular culture make the language concept of source text is not available in target text. Nababan (1999: 99) explained that the words of source text could be understand and recognized in target text but the target text does not have a term that can reveal the concept from source text. In this case, the term Sahaya and Kowe in source text have different concept from Aku and Kau. The target text do not differ the first and second singular pronoun that make the translation of Sahaya and Kowe have different function from source text. Even the concept of Sahaya and Kowe could be understand in the target text, but the term that have the same meaning and connotation with those term are not available. So, the translator used 'I' and 'you' in a pinch to replace Sahaya and Kowe even 'I' and 'you' also used to translate Aku and Kau. The complexities of Javanese community that apply speech level also direct the translation to the equivalence problem because it makes difference of interpersonal perspective. Nababan (1999: 03) argued that interpersonal perspective is related to the relation of the participants in a text. In a language that really concern to etiquette like Javanese, Geertz stated that it is impossible to address someone without pay attention to the status of the addressee. Etiquette system force the people to create different term for one concept, so the participant can easily choose the right term to address someone that suitable for both the addressor and the addressee. For instance, in Bumi Manusia there are three different addressing terms to call male parent, Papa, Ayah and Ayahanda. The use of those addressing term could reflect the social status of the addressor and the addressee. Papa is used in western family who live Dutch East Indies, Ayah is used in middle-low family, while Ayahanda is used in Javanese aristocrat family. This difference of Papa, Ayah and Ayahanda can not be seen in the translation because the translator translated them as 'father'. The other problem of equivalence that appears because of the particular culture of the two languages is the difference of expressive meaning. According to Nababan (1999: 103) the words in source text and target text have the same proportional meaning but often they are different in expressive meaning. There are many addressing terms that have the same proportional meaning but they are different in expressive meaning because Malay terms differentiate the addressing terms based on the relationship and the social status. The term Nak has the same proportional meaning with child, but they are used in different intention. Nak is for showing intimacy but child dispose to create formal atmosphere rather than familiarity. Both terms have the same proportional meaning but they express different purpose and connotation. The different perspective toward a concept will also lead the translation to equivalence problem (Nababan, 1999: 101). Furthermore, it is also the effect of special concept in source text. The term Man in Javanese context at that time was used to address Javanese adult male from middle-low status. In the translation text, the term Man translated as man because English does not distinguish the term man for rich or poor people. In the other hand, the translator also missed to capture the perspective of the character in choosing particular term when he translated Abang. The proportional meaning of Abang is addressing term to call elder brother but it could be used to call man or boy who is elder than the addressee. The translator translated Abangmu as your friend but from Nyai Ontosoroh's point of view, she used Abangmu to make Annelies felt comfort and consider Minke as her own son. Changing the term Abangmu as your friend would lead the reader to different understanding because it seems that Nyai Ontosoroh treat Minke as only her guest. The other factor except special concept of Dutch colonial and Javanese culture is the difference in grammatical system. Nababan (1999; 108) stated that grammatical equivalence focuses to the similar concept of source text and target text at the level of number, gender, person, tense, and aspect. In translating the addressing term, the problem appeared when source language and target language have different grammatical system. The term Nyai-Nyai became Nyais or Tuan-Tuan became Tuans is not equivalence because both term are Malay term. Malay and English apply different method to change the singular concept to be plural. The translator used free style translation and he missed to understand the language system of source text and target text because he translated Nyai-Nyai as Nyais and Tuan-Tuan as Tuans. Nyai and Tuan are not English term, so the plural form of Nyai and Tuan are not necessarily Nyais or Tuans because it is unclear whether Nyai and Tuan are countable or uncountable noun. Accountability concept is universal concept that can be understood by all people and can be expressed through lexical structure in all language, but not all languages have grammatical category for number and not all languages apply the same concept for number. Therefore, the translator should observe carefully whether one concept of a language could be applied to another language or not. The reader of the target text would feel unfamiliar because in some text, the translator used Nyai and Tuan for singular form, but after that those terms became Nyais and Tuans, whereas the reader could have another understanding rather than think that those terms are plural form because they never know the terms Nyais and Tuans before. Double Perspective in Translating Bumi Manusia Constructing the effective translation is one of the purposes of translation. Nababan (1999:88) stated that there are two main factors that determine the effectiveness of the translation. The first is dimension of linguistic and knowledge. Straight (as quoted in Nababan, 1999) said that fruitfulness in conveying the message depends on the knowledge about the context of culture and the language system of source language and target language. In this case, the translator failed to capture that addressing term play important role because it reflects etiquette culture of Javanese and Dutch colonial culture in Dutch East Indies. The second factor is purpose dimension. Nababan (1999, 87) stated that the translator should decide the purpose of the translation. Further, he explained that the purpose should meet this criteria; fruitful to the original, use translation style that appropriate to source text, use suitable equivalence, and the readability level of translation fitted to the source text. However, the analysis in the previous part show that the translation of addressing terms dealt with many equivalence problems and shared different function and connotation from the original that make the translation become unreadable and confusing for the reader. Both dimensions above can not be reached by the translator because he used more than one perspective in translating the addressing terms. Before translating a text, a translator had to analyze the source text to understand the content of the text. Then, the translator chose the approach that is suitable for source text. From the data in the table in 4.1 (see page 3), the writer found some addressing terms that have many equivalent problems. The translator may use more than one procedure in translating addressing terms because the procedure of translation is for sentences or smaller linguistics units as clause, phrase, word, etc. However, before determining the procedure, the translator should choose the perspective or method that he wants to apply in translating the source text. The method that the translator used will be a framework that guides the translator to translate the text in a line. The writer noticed that the translator used double perspectives that make his translation contradictory. In translating addressing terms such as Noni, Ndoro, Nyai, Tuan, Tuanmuda, Papa, Gus, Sinyo, and Mas, the translator used perspective that was focus on the original text. House (2009: 15) explained that a focus on the (original) texts mean analyzing it, and systematically linking its form and functions in order to reveal the original author's motivated choices. The translator considered the reason of the author in choosing addressing terms and tried to find out the closest equivalence in target text, even for some addressing terms do not have any equivalence that make the translator insisted to use the original term. In contrast, the translator also used perspective that focus on the process of interpretation. House (2009: 20) defined this perspective as the translator way to builds up an individual mental representation of its meaning. House added that the reconstitution of the 'the meaning' of a text to fit another language and context is not the central point. It is dealing more with the invention of the translator then discovery of what is already exist in a text. Therefore, when the translator used this perspective to translate some addressing terms such as Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai-Nyai, Tuan-Tuan, Nak, Abang, Man, etc the translation become very different from the context in source text. This perspective also leads the translator to make confusing translation because the translation for one term becomes inconsistent. Moreover some addressing terms have different meaning and connotation from the source text. In translating a text, translator should use only one perspective to make the synchronized translation. Double translation would lead the translator to different way in translating addressing term because one perspective deal with different point of view to another perspective. In Bumi Manusia case, it is much better for the translator to only apply the perspective that focus on the source text since the background of the original can not be easily transferred to target text. Moreover, if the translator was consistent to use one perspective, he would not make ambiguity translation. By understanding the whole context of the story that include ecology, technology, material culture, social organization, myth, and linguistic system of source text, the translator would have better perceptive to make good translation that fruitful to the original but it is still readable for the target reader. CONCLUSION This study is conducted to describe how the phenomenon of translating addressing terms is rolled out in BumiManusia and This Earth of Mankind. The conclusion of this study is formulated based on the statement of problems. Some translation theory based on several authors (House; 2009; Machali 2000; and Nababan; 1999): translation perspective, equivalence in translation, equivalence problem, and register categories of field, mode, and tenor are combined to the theory of addressing term (Wardaugh; 2006), pronouns of power and solidarity (Brown and Gilman; 1960) and lexical relation (Kreidler; 1998) to identify how the translator translated the addressing terms and the relation of the addressing terms toward the cultural context. Then, the writer comes to a conclusion that: The T and V approach also showed that power and solidarity become the main consideration for the characters in choosing addressing terms, so that the characters used different addressing terms depend on the status of the addressee and the relation among the characters. The translator used three patterns in translating addressing terms. In the first pattern, the translator used literal translation to translate Juffrouw, Noni, Mevrouw, Tuanmuda, Tuan, Ndoro, Meener, Papa, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Aku, Kowe, and Nak. In second pattern, the translator used original terms, Noni, Nyai, Ndoro, Gus, Sinyo, and Mas in the target text. The last pattern is changing the addressing terms such as Nyai-Nyai, Tuan, Sahaya, Abang, Man, and Meester since the adaptation of target text. From the patterns above, it was found that the translator was inconsistent to translate some addressing terms because he translated one term used some different procedure that make the meaning of the addressing terms contradictory. Also he did not pay attention to the culture and the context that involve in addressing terms so he only did linguistic translation without concerning to the cultural influences. The main factor that lead untranslatability of translating Bumi Manusia's addressing terms is special concept of Javanese culture and Dutch colonial system that make the addressing terms can not be easily transferred to target. The difference of grammatical system of source language and target language also lead the translator to get difficulties in finding suitable equivalence for the addressing terms. Therefore the translator used double perspective to solve the equivalence problems. As a result double perspective that was expected to solve the problem instead made a larger problem because the translation of addressing terms become untranslatability and unreadable. SUGGESTION Addressing terms is general phenomenon which occurs in daily life. But, the analysis of translating addressing terms is still rarely discussed whereas linguistics and its branches is basically concerning with the use of language. From this study, the future researchers are suggested to be more interested in enlarging their knowledge dealing with applied linguistics, especially translating addressing terms which concerns with how translating addressing terms based on cultural context. Equally important, it is suggested for the readers to pay attention in choosing addressing terms based on the condition and the status of the addressee because the wrong addressing terms choices will make the addressee feel insulted or annoyed REFERENCES Ananta Toer, Pramoedya. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara. Ananta Toer, Pramoedya. 1996. This Earth of Mankind. New York: Penguin books Ltd. Ashcroft, Bill and Griffiths, Gareth. 2002. The Empire Writes Back – Theory and practice in post-colonial literatures. New York and London: Routledge Taylor & Francis Group. Bogdan, Robert. C and Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: an Introduction to Theory and Methods.Allyn and Bacon. Inc. USA Brown, R., Gilman, A. 1960. The pronouns of Power and Solidarity. Thomas A. Sebeok, eds. Style in Language. Cambridge-Massachusetts: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology, 252-275. Geertz, Clifford. 1960. Linguistic Etiquette. Thomas A. Sebeok, eds. Style in Language. Cambridge-Massachusetts: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology, 282-295 Holmes, Janet. 1992. An Inroduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman Group. Hornby, A. S. (Ed.) 1948. Advanced Learner's Dictionary (7th ed.). Oxford: Oxford University Press. House, Juliane. 2009. Translation. Oxford: Oxford University Press. Machali, R. .2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. Nababan, R. 1999. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: PustakaPelajar Pramoedya Ananta Toer. Retrieved on June 25, 2013 from site: http://en.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer Rothschild, Metthew. Interview with Pramoedya Ananta Toer. The Progressive Magazine. Retrieved on June 26, 2013 from site: http://www.progressive.org/mag_intv1099 Sugiyono. 2010. MetodePenelitianKuantitatif R & D. Bandung: Alfabeta. Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistic.Oxford: Blackwell Publishing Widyastuti, Susana. Componential Analysis of Meaning: Theory and Applications. Online journal. Retrieved on June 25, 2013 from site: http://eprints.uny.ac.id/1174 W. Kreidler, Charles. 1998. Introducing English Semantic. London: Routledge.
AN ANALYSIS OF TRANSLATING THE ADDRESSING TERMS IN PRAMOEDYA ANANTA TOER'S THIS EARTH OF MANKIND Azimatul Fauziah English Literature, Faculty of Languages and Arts, State University of Surabaya azimatul13@gmail.com Dian Rivia Himmawati, SS, M.Hum. English Language and Literature Department, Faculty of Languages and Arts, State University of Surabaya dianrivia@gmail.com ABSTRAK Studi ini focus pada penerjemahan sapaan dalam Bumi Manusia sebagai bahasa sumber dan This Earth of Mankind sebagai bahasa sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kekuasaan dan solidaritas dalam penerjemahan sapaan dan mengetahui faktor yang menyebabkan ketakterjemahan dalam menerjemahkan sapaan. Metode deskriptif kualitatif, teori penerjemahan (House; 2009), hubungan antar kata , kata ganti orang yang memiliki kekuasaan dan solidaritas (Brown and Gilman; 1960), dan register kategori Halliday digunakan untuk menganalisa data. Hasil analisa menunjukan bahwa ada tiga macam sapaan di This Earth of Mankind, sapaan dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa. Beberapa sapaan dari bahasa yang berbeda memiliki makna yang sepadan dan penerjemah menerjemahkannya dengan istilah yang sama dengan menggunakan 'denotative equivalence' dan pragmatic equivalence. Penerjemah gagal memahami bahwa penulis membedakan sapaan untuk penjajah dan jajahan, keluarga bangsawan dan masyarakat umum, hubungan formal dan keakraban. Masalah penerjemahan sapaan terjadi ketika sapaan tersebut memiliki konsep khusus yang berhubungan dengan budaya tertentu namun tidak memiliki istilah padanan dalam bahasa sasaran dan karena sistem tatabahasa yang berbeda. Oleh karena itu, penerjemah menggunakan dua pandangan yang berbeda untuk menerjemahkan sapaan. pandangan yang pertama terpusat pada bahasa sumber sedangkan pandangan yang kedua terpusat pada proses penafsiran penerjemah. Hal tersebut membuat terjemahan menjadi sangat berbeda jika dilihat dari mode (cara), field (bidang), dan tenor (tujuan). Kata Kunci: penerjemahan, sapaan, padanan, budaya, kekuasaan ABSTRACT This study focuses on the translation of addressing term in Bumi Manusia as source text and This Earth of Mankind as target text. The purpose of this study is to find out the influence of power and solidarity in translating the addressing terms and find out the factors of untranslatability in translating addressing term. Descriptive qualitative method, translation theory (House; 2009), lexical relation (Kreidler; 1998), pronoun of power and solidarity (Brown and Gilman; 1960), and Hallidayan register categories are applied to analyze the data. The result show that there are three kinds of addressing terms in This Earth of Mankind, Dutch addressing term, Malay addressing term, and Javanese addressing term. Some addressing terms from different language have the same proportional meaning and the translator translated them as the same term and the translator used denotative equivalence and pragmatic equivalence. The translator failed to catch that the author differ the addressing term to show the difference between colonize and colonizer, aristocrat family and common people, intimacy relation and formal relation. The problem of translating addressing terms appeared when the special concept of addressing term related to particular culture do not have any equivalence term in target text and the different of grammatical system. Therefore, it makes the translator use double perspective in translating the addressing term. The first focuses on the source text while the other focus on the process of interpretation by the translator. It made the result of the translation become really different from the original seen from register categories: mode, field, and tenor. Keywords: translation, addressing term, equivalence, culture, dan power INTRODUCTION Bumi Manusia is one of the greatest works of Pramoedya Ananta Toer who was frequently discussed as Indonesia's and Southeast Asia's best candidate for a Nobel Prize in Literature. Terms of addressee plays important role in Bumi Manusia because it indicates the social status of someone. There are three kinds of addressing terms based on ethnicity in this novel. They are Dutch addressing term, Malay addressing term, and Javanese addressing term. Oyetade (as quoted in Chu-Cing Hsu; 2) defines terms of addresseeas words or linguistic expression which speakers use to designate the person being talked to while talk is in progress or which writers use to address the recipient in written communication. Moreover, Braun (1988:7) explains that the actual use and the function of addressing terms depands on the stucture of language, on the speaker's intention and on the address relationship between two interlocutors, as well as on the occasion of the occurrence. Juliane House (2009: 4) defined translation as a process of replacing a text in one language by text in another language. He also explained that translating is not only a linguistic act but it is also an act of communication across culture. Translating terms of addressee from Indonesian into English is not easy because they have different pronominal form. In translating addressing term, the translator should notice on the detail. Words can only be understood when it is considered together with the cultural context. So, in translating addressing term, it is not only replacing the word to another language but creating the same meaning and atmosphere as similar as the original text. Moreover, the addressing terms in Bumi Manusia are closely related to power. Braun and Gilman defined Power as ability to control behavior over another. They also said that power is a relationship between at least two persons, and it is nonreciprocal in the sense that both can not have the same power in the same area of behavior (1960: 254). People who have power will be addressed differently from common people. Power is associated with high social status and it reflects respect and honor. So, people from high social status will be addressed in polite way to show a great reverence. To translate a text as similar as the source text, it is needed to see whether the source text is equivalent to target text or not. House defined equivalence as how similarity of message or function is interpreted (2009: 29). There are many types of equivalence and it depends on the perspective that the translator used. It is possible to use denotative equivalence that use 'real world' referents to which the text relates. Also, the translator could use other equivalence such as pragmatic equivalence which focuses to fulfill its communicative function for the recipients. This study tries to discuss the factors of untranslatability in translating addressing term. There are two research questions for this study, (1) How does the translator translate the Indonesian addressing terms in Toer's Bumi Manusia into English version, This Earth of Mankind? (2) What is the influence of power and solidarity toward the choices of addressing terms in Toer's Bumi Manusia? This study tries to describe about the method of the translator in translating addressing term and know the influence of power and solidarity in translating the addressing term. This study only focuses on translating the addressing terms that have any equivalence problems in their translation and do not pay attention to grammar or another linguistic aspect. This study tries to describe about the process of young learner with visual learning style acquire language and know the relationships between personality and learning style. This study is not only focusing in linguistics but also covering learning activities and psychology area but it is not for learning strategy. Several theories are becoming main cores of this study, such as translation theory of House, lexical relation of Kreidler and Brown and Gilman in pronoun of power and solidarity. . RESEARCH METHOD This study uses descriptive-qualitative in getting and describing about the translating addressing terms phenomena in This Earth of Mankind. This study needs to be explained by words not by numbers or statistics, because this study is stressing on translation aspect and its relationship with culture. Bodgan and Biklen (1984:5) defined the qualitative approach as a research procedure which produces a descriptive data such as verbal or nonverbal utterances or words from the object being observed. The data for this study are utterances. There are two sources of data used in this study. Those data are Toer's Bumi Manusia as source text that was written by Pramoedya Ananta Toer and This Earth of Mankind as target text that was translated by Max Lane. Observation is used to analyze this research. Observation includes collection of the data that is needed by the researcher without manipulating. Sugiyono(2010, p. 146) adds that observation is done by the researcher about what the researcher wants to observe in the research. To observe this research, internet access and taking a note are needed by the researcher as the basic instrument. There were three steps to analyze the data. They were data reduction, data display and conclusion and verification. The researcher sorted the data by choosing the addressing terms that had problem with equivalence. Then, she displayed the data in table. Conclusion and verification became the last step of the data analysis process. In this case, the data had been displayed and discussed before were concluded. The conclusion was the answer of the problems existing supported by some theories related (Sugiyono, 2010, p. 345). To answer the first question, the researcher used lexical relation of Kreidler in his book introducing English semantic and translation theory by Machali. Then, in answering the research question number two, the researcher used pronoun of power and solidarity by Brown and Gilman, translation theory by Nababan and House, then collaborate with Hallidayan register categories of field, mode and tenor. ANNALYSIS AND DISCUSSION There are two analyses in this section. The first is the analysis of the method that was used by translator to translate addressing terms. The second is the analysis of relation between power and solidarity toward the addressing terms. In translating terms of addressees, the translator should find the equivalence between the source text and the target text. House (2009: 29) defines equivalence as a similar message and fulfills a similar function. The writer noticed that the translator use some different patterns. The first pattern, the translator tried to find out the literal or denotative equivalence which use 'real world' as referents for source text to target text. The second pattern, the translator used the original addressing terms from the source text and provided glossary for informing the meaning of the addressing terms in the end of the novel. The last, the translator changed the addressing terms to different addressing terms as the adaptation to the context of target language. After analyzing the method that was used by translator to translate addressing terms, the research used the following table to sum up the result: Table 1 The Comparison of Addressing Terms in Bumi Manusia and This Earth of Mankind No Original Translation Procedure Problem 1. Juffrouw Miss Literal translation Different in context 2. Noni Miss Literal translation Different in context 3. Noni Noni Annotation Inconsistent 4. Mevrouw Mrs/Madam/ Ma'am Literal translation Different in context 5. Mevrouw Miss Free translation Different in meaning 6. Tuanmuda Young master Literal translation Different in context 7. Tuanmuda Master Literal translation Inconsistent 8. Tuan Sir/Mr. Literal translation Different in context 9. Tuan Tuan Annotation Inconsistent 10. Tuan You/he Free translation Different in function 11. Tuan-tuan Tuans Free translation Different in meaning 12. Ndoro Master Literal translation Different in context 13. Ndoro Ndoro Annotation Inconsistent 14. Sahaya I Literal translation Different in context 15. Sahaya Your servant Free translation Different in meaning 16. Meneer Mr. Literal translation Different in context 17. Papa Father Literal translation Different in context 18 Kowe You Literal translation Different in context 19. Nak Child Literal translation Different in context 20. Nyai Nyai Annotation - 21. Nyai-nyai Nyais Free translation Different in meaning 22. Gus Gus Annotation - 23. Sinyo Sinyo Annotation - 24. Mas Mas Annotation - 25. Abang Your friend Free translation Different in meaning 26. Man Man Free translation Different in context 27. Mr Mr. Free translation Different in meaning As shown from the table above, Malay dominated the addressing terms because Malay is neutral language that can be used by Javanese and Dutch in their daily conversations. Noni, Tuanmuda, Tuan, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Nak, Sinyo, and Abang are addressing terms that belong to Malay addressing terms. These terms are more common because Malay is widely used in all Dutch East Indies. In the other hand, there were some Javanese addressing terms such as Nyai, Ndoro, Kowe, Gus, Mas, and Man that were used in particular occasions or refer to particular people. Similar to Javanese addressing terms, Dutch addressing terms are only used for certain people. Juffrouw, Mevrouw, Meneer, and Meester are Ducth addressing terms that only used to call Dutch people. There are three patterns in translating addressing terms. In the first pattern, the translator used denotative equivalence which only focused on the meaning of the terms. Machali (2000) stated that as a method, literal translation considers as the most important translation procedure because the basic of literal translation is in clause or sentence level. However, translating addressing terms include and reflect the culture of the society because the addressing terms that were used by the characters determine their background whether their status or ethnicity. Even the words in source text have the same denotation with target text, they do not always have the same connotation. The translator used two different procedures in translating the addressing terms for the first pattern. The first procedure is lexical translation which is used to translate Tuanmuda, Tuan, Papa, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Aku, Kowe, and Nak. Some of the terms are not appropriate because there is the difference of interpersonal perspective. The second procedure is adaptation. The translator attempted to make the addressing terms familiar in target text. The terms Juffrouw, Mevrouw, Meneer, Ndoro, and Noni are special concepts that were used in Dutch colonial era. The translation text could be understood by the reader of the target text, but the reader can not catch the essence that those terms are particular addressing terms for certain groups. So, even the words of source text have denotative equivalence in target text, but they are not suitable for the context of source text. In the second pattern, the translator did not change the addressing terms because the terms, Noni, Nyai, Ndoro, Gus, Sinyo, and Mas are special concept of source text that do not have any equivalence word in target text. The translator used annotation to translate because he persisted to use the original terms and gave glossary to explain the meaning of the term. The writer noticed that the translator is understand that the addressing terms have important role to distinguish the identity of the characters, but he only highlighted Javanese addressing terms. The concept of thing in Dutch and English are almost similar because they are in the same language family. So, the translator was easy to find out the lexical equivalence from Ducth terms to English terms. However, the concept of some words such as Noni, Sinyo, and Nyai are especially used in colonial era, so it is difficult to find out the equivalence in target text. Ndoro, Gus, and Mas are terms from Javanese culture who really emphasis in status and familiarity while English only differ for formal or informal situation. Unfortunately, the translator used inconsistent translation procedures for one term. For instance, the term Noni is translated as Miss by using lexical translation and the translator also used annotation in other text so that he did not change the addressing terms. These conditions would make the reader confuse and would make wrong interpretation that Miss and Noni are different. The last pattern showed that the translator change the form of the addressing terms. The translator used free style translation. The translator missed to understand the language system of source text and target text because he translated Nyai-Nyai as Nyais and Tuan-Tuan as Tuans. Nyai and Tuan are not English term, so the plural form of Nyai and Tuan are not necessarily Nyais or Tuans because it is unclear whether Nyai and Tuan are countable or uncountable noun. Accountability concept is universal concept that can be understood by all people and can be expressed through lexical structure in all language, but not all languages have grammatical category for number and not all languages apply the same concept for number. The second analysis is relation between power and solidarity toward the addressing using T and V because in previous part, there are many translations of addressing term that are not appropriate to the context of the novel. The ways of people in choosing the addressing terms are really related to the culture that exist in their society. The culture of society consists of everything that everybody has to know or believe in order to operate manner that acceptable for its member. In Javanese society, especially in the past, the kingdom applied feudal system. This system force lower class people to respect much to people who have more power. Gilman (1960; 252) defined Power as a relationship between at least two persons and it is nonreciprocal because both can not have the same authority. There are many forms of power such as physical strength, wealth, age, sex, institutionalized role in the state, the army, or within the family. The relations called older than, richer than, stronger than, employer of, richer than and nobler then are all asymmetrical. If A is older than B, B is not older than A. The relation called "more powerful than". The pronoun usage expressing this power relation is also asymmetrical or nonreciprocal, with the greater receiving V and the lesser T. Pronoun form of T and V were used by some European countries to differ between 'singular you' tu (T) and 'plural you' vos (V). Now, T and V are used as symbols; the T form is often described as the familiar form and the V form as the polite one. The superior will say T to the inferior and receives V, and vice versa. T and V approach also could be used to indicate solidarity. The T form is usually used by people who stand in the same position. It reflects symmetrical relation; for instance: attended the same school or have the same parents or practice in the same profession. The T of solidarity can be produced by frequency of contact as well as by objective similarities. The dimension of solidarity is potentially appropriate to all persons addressed. Power superiors may be solidarity (parents, elder siblings) or not solidarity (officials whom one seldom sees). Reciprocal T usage was always available to show intimacy. The following part would discuss the power of characters and its influence among the other characters and the writer used T and V form to analyze them. To sum up the relation of power and solidarity through the addressing term that were chosen by the characters in Bumi Manusia, the writer summarized them into a table. The table would illustrate the addressing terms, the interlocutors, the relation between interlocutors, and the function of the addressing terms. Table 2 The T and V form of Addressing Terms in Bumi Manusia No Addressing Term Interlocutor Relation Function 1 Juffrouw Java – Dutch Dutch- Indo nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 2 Noni Java – Indo nonreciprocal Respecting 3 Mevrouw Java – Dutch Dutch -Dutch Indo – Indo nonreciprocal reciprocal reciprocal Respecting showing intimacy respecting 4 Nyai Java – Java Dutch - Java reciprocal nonreciprocal Respecting respecting 5 Tuanmuda Dutch – Java Java - Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 6 Tuan Java - Java Java – Dutch nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 7 Ndoro Java – Dutch Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 8 Meneer Java – Dutch nonreciprocal Respecting 9 Mama Ann – Nyai Minke – Nyai nonreciprocal nonreciprocal showing intimacy showing intimacy 10 Papa Indo – western nonreciprocal showing intimacy 11 Aku Java - Java Java – Dutch reciprocal nonreciprocal showing intimacy showing intimacy 12 Sahaya Java – Java nonreciprocal showing intimacy 13 Kowe Dutch – Java nonreciprocal Disrespecting 14 Nak Java – Java nonreciprocal showing intimacy 15 Gus Java – Java nonreciprocal showing intimacy 16 Sinyo Java –Indo Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting respecting 17 Abang Indo - Indo Java – Java nonreciprocal nonreciprocal Respecting showing intimacy 18 Mas Indo – Java reciprocal showing intimacy 19 Man Dutch – Java nonreciprocal Disrespecting 20 Mr (Meester) Java – Dutch nonreciprocal Respecting The table above shows that there are three functions of addressing terms, respecting, disrespecting, and showing intimacy. From the data above, the relations of the interlocutors are mostly nonreciprocal, so it shows that social status is very important in colonial era because the nonreciprocal relations illustrate the difference power between addressor and addressee. In many nonreciprocal cases, the higher social status will get V form from the addressors to show their respect and say T form because they are not stand in the same position as the addressee. Except respecting, nonreciprocal relation is also used to show disrespect. The addressing terms that are used to disregard are especially designed for lower class by upper class or have bad connotation. In contrast, to show intimacy, the relations of the interlocutors are sometimes reciprocal or nonreciprocal. The dimension of solidarity is little bit different from power, because even the interlocutors are not stand in the same position they can use intimate addressing terms because their relations are close. DISCUSSION After analyzing the translation of addressing terms from the source text to target text, now the writer discusses the result of the analysis. Comparison of Original and Translation The research compares the field, tenor, and mode of Bumi Manusia and This Earth of Mankind. The concept of field, tenor, and mode are sociolinguistic dimensions of context of situation jointly characterizing a particular register. House (2009; 33) stated that the original and its translation should have an equivalent function whenever possible. He also said that text and context of situation are indeed separated, but the two interact with each other through inextricable connection between the social environment and the functional organization of language. Before analyzing the register, it is needed to analyze the genre first. House (2009; 35) explained that genre connect an individual text with the larger cultural context of the linguistic and cultural community in which the text is embedded. The genre of Bumi Manusia is historical fiction but it is based on the reality. It included to historical story because the setting illustrated the situation of Indonesia in the late of nineteenth century. The author used particular time and places that make the story as if it was real. The story happened in 1890's, when the national movement had been begun by native to fight against colonizer through non-violence way. Field The first dimension of register is field. Holmes (2009; 34) explained that field captures the subject matter or topic. It describes what the text is about and what kinds of thing are in text. The text was about Minke's life. It describe Minke's journey who is a naïve boy at first to be a mature person. In that process, Minke should face many problems dealing not only with himself but also his society and the colonizer. The complexities of Minke's problem include the conflict of social judgments, hierarchy system, and racial conflict. The description of this story is not so much as historical text but an attractive, easily readable story. Evidence for this is the use of Malay language in telling the story rather than Javanese or Dutch. Malay was language of interracial communication which was used by many people weather Native or Eurasian. However, there were many terms that are not Malay, but they were only used as addressing term. The choice of particular addressing term in Bumi Manusia shows the style of speaking and the purpose of the speaker, indeed the social status. Mevrouw, Juffrouw, Meester, and Meneer are some addressing terms that were borrowed from Dutch language, while Mas, Ndoro, Gus, Mas and Man are some addressing terms that were borrowed from Javanese language. The used of various addressing terms has function as the mark of power and solidarity. As seen in table 4.1.3 (see page 102) there are three functions of addressing terms, respecting, disrespecting, and showing intimacy. From that data, the relations of the interlocutors are mostly nonreciprocal, so it shows that social status is very important in colonial era because the nonreciprocal relations illustrate the difference power between addressor and addressee. The feudal and colonial system forced people to respect everyone who have more power. Geertz (1960: 282) explained that it is nearly impossible for language that applied etiquette system to say anything without indicating the social relationship between the speaker and the listener in terms of status and familiarity. In many nonreciprocal cases, the higher social status will get V form from the addressors to show their respect and say T form because they are not stand in the same position as the addressee. Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai, Tuanmuda, Tuan, Ndoro, Menner, Sahaya, Sinyo, Abang, and Meester are addressing terms to show respect. The translation appears to be generally and decrease its local color because the absence of Dutch addressing terms as the marker of Dutch colonial. Even the translation of Dutch addressing terms have the same function to respect the addressee, the translation can not replace the emotion and the feeling of the original. Except respecting, nonreciprocal relation is also used to show disrespect. The addressing terms that are used to disregard are especially designed for lower class by upper class or have bad connotation. For instance, Kowe is addressing term that was used by Dutch people to express disrespect toward Javanese. The translation of Kowe, you, can not express the same function as the original because this term is neutral addressing term. In contrast, to show intimacy, the relations of the interlocutors are sometimes reciprocal or nonreciprocal. The dimension of solidarity is little bit different from power. Even the interlocutors were not stand in the same position they can use intimate addressing terms because their relations are close. In Bumi Manusia, the relations of the people who used intimate addressing terms such as Mama, Papa, Gus, Abang, and Nak were nonreciprocal. Gus, Abang and Nak were used by older people to younger people. In Javanese, age is one of the main distinctions of nonreciprocal relation. The older people do not need to use polite form, but in this case Gus, Abang and Nak are polite addressing term that indicated close relationship between older and younger people. The translation of Abang (your friend) and Nak (child) can not full fill the same function as the intimate sign like the original did. Tenor House (2009; 34) stated that tenor refers to the nature of the participants, the author and his or her addressee, the relationship between them in terms of social power and familiarity, the author's intellectual and affective position, that is, his or her personal viewpoint. The author was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemic and histories of his homeland and its people. The author seemed to be very aware of the conditions of his story. He attempted to create colonial atmosphere as same as the reality. The choice of the addressing terms included Dutch, Malay, and Javanese was the evident. By differing the addressing terms based on the ethnicity and social status, the author would like to inform the reader the 'reality' in the past. He wanted to show that there were social distance between poor and rich, also Javanese as the colony and Dutch as the colonizer. He persisted to use Dutch addressing terms rather than change it into Malay to create colonial atmosphere because at that time Dutch people make their language as exclusive language. The translator also tried to create colonial atmosphere by using Java and Malay addressing term that do not have equivalent in English. However, instead of using Dutch term as the author did, the translator change the addressing terms into English. Dutch and English are still in the same language family, so there are many terms of English and Dutch that have the same meaning. Mevrouw, Juffrouw, Meneer, and Meester are Dutch terms. Except Meester, they are denotatively equivalent. Mevrouw could be translated as Mrs, Juffrouw as Miss, and Meneer as Mr. They have the same referents in the real world, so it makes them denotatively equivalents. Although, the translator failed to capture that Dutch addressing term has special function as imperial impression. Ashcroft (2002; 7) stated that one of main features of imperial oppression is control over language. Dutch people, at that time, not only controlled for social, politic, and economic aspects but also controlled the language. They limit the used of their language for themselves and their offspring to marginalize their colonies. The translator did not catch the author's aim that he wanted to show the great distance between Dutch and Javanese people. Instead of giving the Dutch colonial atmosphere, the translator gave mental image of British colonialism because the special terms that implicate Dutch colonialism had been translated in English terms. Based on the table in 4.1 (see page 3), most addressing term translation dealt with cultural context. This problem arose because the translation and the original can not make the same psychological understanding for the readers. In addition, the translator used inconsistent term in his translations that primarily make the reader confused. Mode House (2009; 34) defined Mode as a channel of communication. Equivalence in dimension of mode relates to the means whereby the communication is performed. In Bumi Manusia, there were some addressing terms that have different meaning than the lexical meaning because of the feeling of the speaker. Kowe actually is common addressing terms in Javanese society to address someone who is younger or have closed relation, but when it is used by Dutch people the function is changed from showing intimacy become disrespecting. When the Dutch people used Kowe in Bumi Manusia novel, the character always used it in high tension. However, the reader will not catch that Kowe has negative connotation directly because the translation term, you, is neutral addressing terms. The communication purpose of the term Kowe cannot easily catch. So, the irritation of the character could not be understood by the reader. As seen from the mode, field, and tenor analyses above, it show that the original and the translation are not equivalence. The genre of the translation in translating addressing term is not so much as the original because some translation of the addressing terms can not reveal the atmosphere of Dutch colonial that become the main point in this equivalence problem. Equivalence Problem in Translating Addressing Terms in Bumi Manusia The analysis of register categories above clearly showed that the original and translation are not equal. Equivalence of source text and target has limited area because not all of the equivalence approaches can achieved all translation cases. The main factor that made the addressing in source text do not have suitable equivalence in target text is the special concept of Dutch colonial and Javanese culture. Nababan (1999: 99) said that the concept of source text can reveal a concept that is not well known in the target text. Some addressing terms from source text that has special concept are difficult to have their equivalence in target text because of the cultural concept of addressing term from Dutch and Javanese like Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai, Ndoro, Meneer, Gus, Sinyo, Mas, Man, and Meester. Those terms can not easily be transferred to target text because those terms are created by certain condition in particular communities. Some of those terms, Juffrouw, Noni, Mevrouw, Ndoro, and Meneer have the same denotation with the translation term, but the original and translation addressing term have different connotation that make them share different interpretation. The special concept that can not be replaced in target text lead to others related problem. The special concept of particular culture make the language concept of source text is not available in target text. Nababan (1999: 99) explained that the words of source text could be understand and recognized in target text but the target text does not have a term that can reveal the concept from source text. In this case, the term Sahaya and Kowe in source text have different concept from Aku and Kau. The target text do not differ the first and second singular pronoun that make the translation of Sahaya and Kowe have different function from source text. Even the concept of Sahaya and Kowe could be understand in the target text, but the term that have the same meaning and connotation with those term are not available. So, the translator used 'I' and 'you' in a pinch to replace Sahaya and Kowe even 'I' and 'you' also used to translate Aku and Kau. The complexities of Javanese community that apply speech level also direct the translation to the equivalence problem because it makes difference of interpersonal perspective. Nababan (1999: 03) argued that interpersonal perspective is related to the relation of the participants in a text. In a language that really concern to etiquette like Javanese, Geertz stated that it is impossible to address someone without pay attention to the status of the addressee. Etiquette system force the people to create different term for one concept, so the participant can easily choose the right term to address someone that suitable for both the addressor and the addressee. For instance, in Bumi Manusia there are three different addressing terms to call male parent, Papa, Ayah and Ayahanda. The use of those addressing term could reflect the social status of the addressor and the addressee. Papa is used in western family who live Dutch East Indies, Ayah is used in middle-low family, while Ayahanda is used in Javanese aristocrat family. This difference of Papa, Ayah and Ayahanda can not be seen in the translation because the translator translated them as 'father'. The other problem of equivalence that appears because of the particular culture of the two languages is the difference of expressive meaning. According to Nababan (1999: 103) the words in source text and target text have the same proportional meaning but often they are different in expressive meaning. There are many addressing terms that have the same proportional meaning but they are different in expressive meaning because Malay terms differentiate the addressing terms based on the relationship and the social status. The term Nak has the same proportional meaning with child, but they are used in different intention. Nak is for showing intimacy but child dispose to create formal atmosphere rather than familiarity. Both terms have the same proportional meaning but they express different purpose and connotation. The different perspective toward a concept will also lead the translation to equivalence problem (Nababan, 1999: 101). Furthermore, it is also the effect of special concept in source text. The term Man in Javanese context at that time was used to address Javanese adult male from middle-low status. In the translation text, the term Man translated as man because English does not distinguish the term man for rich or poor people. In the other hand, the translator also missed to capture the perspective of the character in choosing particular term when he translated Abang. The proportional meaning of Abang is addressing term to call elder brother but it could be used to call man or boy who is elder than the addressee. The translator translated Abangmu as your friend but from Nyai Ontosoroh's point of view, she used Abangmu to make Annelies felt comfort and consider Minke as her own son. Changing the term Abangmu as your friend would lead the reader to different understanding because it seems that Nyai Ontosoroh treat Minke as only her guest. The other factor except special concept of Dutch colonial and Javanese culture is the difference in grammatical system. Nababan (1999; 108) stated that grammatical equivalence focuses to the similar concept of source text and target text at the level of number, gender, person, tense, and aspect. In translating the addressing term, the problem appeared when source language and target language have different grammatical system. The term Nyai-Nyai became Nyais or Tuan-Tuan became Tuans is not equivalence because both term are Malay term. Malay and English apply different method to change the singular concept to be plural. The translator used free style translation and he missed to understand the language system of source text and target text because he translated Nyai-Nyai as Nyais and Tuan-Tuan as Tuans. Nyai and Tuan are not English term, so the plural form of Nyai and Tuan are not necessarily Nyais or Tuans because it is unclear whether Nyai and Tuan are countable or uncountable noun. Accountability concept is universal concept that can be understood by all people and can be expressed through lexical structure in all language, but not all languages have grammatical category for number and not all languages apply the same concept for number. Therefore, the translator should observe carefully whether one concept of a language could be applied to another language or not. The reader of the target text would feel unfamiliar because in some text, the translator used Nyai and Tuan for singular form, but after that those terms became Nyais and Tuans, whereas the reader could have another understanding rather than think that those terms are plural form because they never know the terms Nyais and Tuans before. Double Perspective in Translating Bumi Manusia Constructing the effective translation is one of the purposes of translation. Nababan (1999:88) stated that there are two main factors that determine the effectiveness of the translation. The first is dimension of linguistic and knowledge. Straight (as quoted in Nababan, 1999) said that fruitfulness in conveying the message depends on the knowledge about the context of culture and the language system of source language and target language. In this case, the translator failed to capture that addressing term play important role because it reflects etiquette culture of Javanese and Dutch colonial culture in Dutch East Indies. The second factor is purpose dimension. Nababan (1999, 87) stated that the translator should decide the purpose of the translation. Further, he explained that the purpose should meet this criteria; fruitful to the original, use translation style that appropriate to source text, use suitable equivalence, and the readability level of translation fitted to the source text. However, the analysis in the previous part show that the translation of addressing terms dealt with many equivalence problems and shared different function and connotation from the original that make the translation become unreadable and confusing for the reader. Both dimensions above can not be reached by the translator because he used more than one perspective in translating the addressing terms. Before translating a text, a translator had to analyze the source text to understand the content of the text. Then, the translator chose the approach that is suitable for source text. From the data in the table in 4.1 (see page 3), the writer found some addressing terms that have many equivalent problems. The translator may use more than one procedure in translating addressing terms because the procedure of translation is for sentences or smaller linguistics units as clause, phrase, word, etc. However, before determining the procedure, the translator should choose the perspective or method that he wants to apply in translating the source text. The method that the translator used will be a framework that guides the translator to translate the text in a line. The writer noticed that the translator used double perspectives that make his translation contradictory. In translating addressing terms such as Noni, Ndoro, Nyai, Tuan, Tuanmuda, Papa, Gus, Sinyo, and Mas, the translator used perspective that was focus on the original text. House (2009: 15) explained that a focus on the (original) texts mean analyzing it, and systematically linking its form and functions in order to reveal the original author's motivated choices. The translator considered the reason of the author in choosing addressing terms and tried to find out the closest equivalence in target text, even for some addressing terms do not have any equivalence that make the translator insisted to use the original term. In contrast, the translator also used perspective that focus on the process of interpretation. House (2009: 20) defined this perspective as the translator way to builds up an individual mental representation of its meaning. House added that the reconstitution of the 'the meaning' of a text to fit another language and context is not the central point. It is dealing more with the invention of the translator then discovery of what is already exist in a text. Therefore, when the translator used this perspective to translate some addressing terms such as Juffrouw, Noni, Mevrouw, Nyai-Nyai, Tuan-Tuan, Nak, Abang, Man, etc the translation become very different from the context in source text. This perspective also leads the translator to make confusing translation because the translation for one term becomes inconsistent. Moreover some addressing terms have different meaning and connotation from the source text. In translating a text, translator should use only one perspective to make the synchronized translation. Double translation would lead the translator to different way in translating addressing term because one perspective deal with different point of view to another perspective. In Bumi Manusia case, it is much better for the translator to only apply the perspective that focus on the source text since the background of the original can not be easily transferred to target text. Moreover, if the translator was consistent to use one perspective, he would not make ambiguity translation. By understanding the whole context of the story that include ecology, technology, material culture, social organization, myth, and linguistic system of source text, the translator would have better perceptive to make good translation that fruitful to the original but it is still readable for the target reader. CONCLUSION This study is conducted to describe how the phenomenon of translating addressing terms is rolled out in BumiManusia and This Earth of Mankind. The conclusion of this study is formulated based on the statement of problems. Some translation theory based on several authors (House; 2009; Machali 2000; and Nababan; 1999): translation perspective, equivalence in translation, equivalence problem, and register categories of field, mode, and tenor are combined to the theory of addressing term (Wardaugh; 2006), pronouns of power and solidarity (Brown and Gilman; 1960) and lexical relation (Kreidler; 1998) to identify how the translator translated the addressing terms and the relation of the addressing terms toward the cultural context. Then, the writer comes to a conclusion that: The T and V approach also showed that power and solidarity become the main consideration for the characters in choosing addressing terms, so that the characters used different addressing terms depend on the status of the addressee and the relation among the characters. The translator used three patterns in translating addressing terms. In the first pattern, the translator used literal translation to translate Juffrouw, Noni, Mevrouw, Tuanmuda, Tuan, Ndoro, Meener, Papa, Ayah, Ayahanda, Sahaya, Aku, Kowe, and Nak. In second pattern, the translator used original terms, Noni, Nyai, Ndoro, Gus, Sinyo, and Mas in the target text. The last pattern is changing the addressing terms such as Nyai-Nyai, Tuan, Sahaya, Abang, Man, and Meester since the adaptation of target text. From the patterns above, it was found that the translator was inconsistent to translate some addressing terms because he translated one term used some different procedure that make the meaning of the addressing terms contradictory. Also he did not pay attention to the culture and the context that involve in addressing terms so he only did linguistic translation without concerning to the cultural influences. The main factor that lead untranslatability of translating Bumi Manusia's addressing terms is special concept of Javanese culture and Dutch colonial system that make the addressing terms can not be easily transferred to target. The difference of grammatical system of source language and target language also lead the translator to get difficulties in finding suitable equivalence for the addressing terms. Therefore the translator used double perspective to solve the equivalence problems. As a result double perspective that was expected to solve the problem instead made a larger problem because the translation of addressing terms become untranslatability and unreadable. SUGGESTION Addressing terms is general phenomenon which occurs in daily life. But, the analysis of translating addressing terms is still rarely discussed whereas linguistics and its branches is basically concerning with the use of language. From this study, the future researchers are suggested to be more interested in enlarging their knowledge dealing with applied linguistics, especially translating addressing terms which concerns with how translating addressing terms based on cultural context. Equally important, it is suggested for the readers to pay attention in choosing addressing terms based on the condition and the status of the addressee because the wrong addressing terms choices will make the addressee feel insulted or annoyed REFERENCES Ananta Toer, Pramoedya. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara. Ananta Toer, Pramoedya. 1996. This Earth of Mankind. New York: Penguin books Ltd. Ashcroft, Bill and Griffiths, Gareth. 2002. The Empire Writes Back – Theory and practice in post-colonial literatures. New York and London: Routledge Taylor & Francis Group. Bogdan, Robert. C and Sari Knopp Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: an Introduction to Theory and Methods.Allyn and Bacon. Inc. USA Brown, R., Gilman, A. 1960. The pronouns of Power and Solidarity. Thomas A. Sebeok, eds. Style in Language. Cambridge-Massachusetts: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology, 252-275. Geertz, Clifford. 1960. Linguistic Etiquette. Thomas A. Sebeok, eds. Style in Language. Cambridge-Massachusetts: The Technology Press of Massachusetts Institute of Technology, 282-295 Holmes, Janet. 1992. An Inroduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman Group. Hornby, A. S. (Ed.) 1948. Advanced Learner's Dictionary (7th ed.). Oxford: Oxford University Press. House, Juliane. 2009. Translation. Oxford: Oxford University Press. Machali, R. .2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. Nababan, R. 1999. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: PustakaPelajar Pramoedya Ananta Toer. Retrieved on June 25, 2013 from site: http://en.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer Rothschild, Metthew. Interview with Pramoedya Ananta Toer. The Progressive Magazine. Retrieved on June 26, 2013 from site: http://www.progressive.org/mag_intv1099 Sugiyono. 2010. MetodePenelitianKuantitatif R & D. Bandung: Alfabeta. Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistic.Oxford: Blackwell Publishing Widyastuti, Susana. Componential Analysis of Meaning: Theory and Applications. Online journal. Retrieved on June 25, 2013 from site: http://eprints.uny.ac.id/1174 W. Kreidler, Charles. 1998. Introducing English Semantic. London: Routledge.
AGREEMENT SHEET This is to certify that the Journal with the title "AN ANALYSIS OF ENGLISH TEXTBOOK FOR FIRST GRADERS OF SENIOR HIGH SCHOOL "BAHASA INGGRIS UNTUK SMA/MA DAN SMK/MAK KELAS X" PUBLISHED BY PUTRA NUGRAHA AND USED IN SMAN 18 SURABAYA BASED ON BASIC COMPETENCES OF CURRICULUM 2013" written by ABU DARRIN (NIM.102084005) has been thoroughly checked and fulfilled the requirements for Yudisium. Surabaya, January 2014 Advisor Drs. Fahri, M.A. NIP. 19640819 199003 1 003 AN ANALYSIS OF ENGLISH TEXTBOOK FOR FIRST GRADERS OF SENIOR HIGH SCHOOL "BAHASA INGGRIS UNTUK SMA/MA DAN SMK/MAK KELAS X" PUBLISHED BY PUTRA NUGRAHA AND USED IN SMAN 18 SURABAYA BASED ON BASIC COMPETENCES OF CURRICULUM 2013 Abu Darrin English Education Department, Language and Art Faculty, Surabaya State University Email: abudarrin92@gmail.com Drs. Fahri, M.A. English Education Department, Language and Art Faculty, Surabaya State University. Email: fahri@unesa.ac.id Abstrak Kurikulum adalah sebuah alat untuk mengontrol implementasi dari pendidikan di semua negara tidak terkecuali Indonesia. Di tahun 2013, pemerintah Indonesia telah menerbitkan kurikulum yang baru yaitu kurikulum 2013. Kurikulum ini diklaim dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan pentingnya hal tersebut, kesesuain antara materi di dalam buku pelajaran dengan kompetensi dasar di dalam kurikulum 2013 juga sangatlah penting. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa kebanyakan guru menggunakan buku pelajaran sebagai sumber utama pengajaran di dalam kelas karena pelatihan guru tentang kurikulum baru ini masih minim sekali. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah komtensi dasar di dalam buku pelajaran dengan judul "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" yang diterbitkan oleh Putra Nugraha sesuai dengan kompetensi dasar yang tercantum di dalam silabus bahasa inggris kurikulum 2013. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetaui dan mendeskripsikan materi-materi apa saja di dalam buku pelajaran tersebut diatas yang sesuai dengan kompetensi dasar di dalam silabus kurikulum 2013. Dengan menggunakan konsep deskriptif kualitatif, penelitian ini menggunakan field notes yang diadaptasi dari garis besar evaluasi buku pelajaran di dalam BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Materi di dalam buku pelajaran ini dianggap sesui apabila telah memenuhi indikator materi urutan dari kompetensi dasar kurikulum 2013. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa semua kompetensi dasar di dalam buku pelajaran sesuai dengan kompetensi dasar di dalam silabus kurikulum 2013. Selain itu, diketahui juga bahwa kebanyak materi di dalam buku pelajaran tersebut tidak sesuai dengan kompetensi dasar di dalam silabus kurikulum 2013. Materi yang sesuai antara lain adalan materi di dalam bab 1, 2, 3, 5 dan 7. Ketidaksesuain tersebut kebanyakan disebabkan oleh ketidaksesuaian urutan materi di dalam buku pelajaran dengan kompetensi dasar kurikulum 2013.Kata Kunci: Buku Pelajaran Bahasa Inggris, Kompetensi Dasar kurikulum 2013, kesesuaian. Abstract Curriculum is a tool to control the implementation of education in the country including Indonesia. In 2013, the Indonesian government has issued a new curriculum, namely, curriculum 2013. It is claimed as improving the education in Indonesia. Since it is very important, the conformity between the materials in the textbook to the 2013 English basic competence is also taking a vital role in implementing this new curriculum. It is supported by the fact that mostly the teachers uses textbook to deliver the material in the class because they are not well introduced yet to it. This research is conducted to figure out whether the basic competences in the textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha conform to the basic competences in the syllabus of English curriculum 2013 or not. Besides, this also figure out whether the materials in the textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha conform to the basic competences in the syllabus of English curriculum 2013 or not. By employing the concept of descriptive qualitative study, this research uses the field notes which are adapted from BSNP textbook evaluation guideline as the research instrument. The textbook is claimed as representing the basic competence of the syllabus in the curriculum if the materials completely conform to the basic competences and its sequence. The results of this study show that all of the basic competences in the textbook conform to the basic competences for first graders of Senior High School in the first semester syllabus of English curriculum 2013. Besides, it also shows that most of the materials in the textbook do not conform to the basic competences in the syllabus of English curriculum 2013. Few of the relevant materials are there in chapter 1, 2, 3, 5 and 7. In addition, most of the inconformity of the materials in the textbook is because they are not in the right sequence as mentioned in the Syllabus of English curriculum 2013. Key Words: English textbook, 2013 English basic competences, conformity. INTRODUCTION Students of all ages are learning to speak English all around the world (Harmer 2007). That is the evidence of the fact that English is the most popular International language used in the world. This language is used as a tool to transfer many kind of information from the others language. It is used to communicate importantly when the people do not know the certain unpopular international or even non international language. For the example; Indonesian that would like to communicate with Japanese, in case, both of them cannot speak Indonesian or Japanese, they can use English. It is rationally because English is the popular international language that mostly used by the people around the world both, in target language community or even in somewhere it is one of the main languages of culture or commerce. Target-language community is a place where English is used as the national language- e.g. Britain, Canada, New Zealand, etc. besides, India, Pakistan, Nigeria are the example of the countries where English is one of the main languages of culture and commerce (Harmer 2007). Those examples show us that English has widely used almost all around the world referring to the fact that the origin of English is from Germany. Besides, people can take a look on the point of view of education field and work field. English as a subject taught in school and college deals with the student's understanding and use of language (Guth 1973). Furthermore, the transfer of information and knowledge has been easily accessed whenever and wherever, seems there is not any limitation of time and place anymore. As the example, people can easily get the information from social media or internet. As long as they could use English to communicate, they could keep in touch with whoever or whatever around the world. As the concrete example, the student could use international references in doing their project or research. Moreover, it is not surprising news anymore knowing the transfer of the students around the world. According to the fact, it seems like not enough to study in the country for the specific purposes of certain people. They would rather choose to continue their study abroad than in their own country. This opportunity leads to make the use of English being more and more important than the other foreign language. Looking to another point of view, the use of English essentially spreads widely in the international business sector, so much so that English has become the standard language of world business (Yoneda 2008). Relating to the development of some international development, the use of English is also getting more important. For the example is the implementation of ASEAN Economic Community (AEC) in 2014. This agreement among ASEAN countries about free economic market in ASEAN open a new opportunity for every people in ASEAN countries to work in certain country in ASEAN (Community 2008). This also shows us that the role of English is very fundamental according to the fact that the countries in ASEAN have their own language. English as international language relates the people of ASEAN to communicate each other, so that there are not any difficulties anymore in term of communication of those different language countries. In addition, we can easily find the requirements of job field in our country that requires English whether written or oral skill to fulfill. In this circumstance, English also take a great importance in human social life even though it is not in English-native speaker country. Those great importance of English in daily life of the society and its prospect in the future lead the governance to put English as a major material begin in junior high school and senior high school. As the higher continuant education, senior high school has a significant role to build the extensive foundation of the student competence of English after the very basic level in elementary and junior high school. In this level, English is delivered more seriously and being a component of the syllabus of curriculum in Indonesia as stated in constitution of Indonesia number 68 2013. This curriculum has been launched in 2013. It has been used and being implemented in certain school all around Indonesia starts from the first class of junior and also senior high school. This curriculum was built based on two major challenges. Those are internal and external challenges (Permendikbud 2013a). The internal challenge is that the human resources of Indonesia are getting large and large. As the response of the government, the curriculum 2013 was build to increase the competence of the people itself. Furthermore, the global change and development are acting as the external challenge that encourages the development and the existence of curriculum 2013. The curriculum 2013 actually is developed from standard-based curriculum and competence based curriculum, that is why, the difference between this curriculum and the previous curriculum can be clearly seen from the format of the curriculum itself. In the other hand, textbook is getting a great role in education related with the implementation of the curriculum (Permendikbud 2013b). It is also supported by the fact that nowadays, there is a change of education paradigm. Begin with teacher as a center in learning in the class to the students as the center in the class. That is why, textbook as the main source of knowledge which is stated in the curriculum besides the teacher is holding a fundamental role in the education. A little bit different with the previous curriculum, especially in English object, the curriculum 2013 uses thematic approach. Based on the English textbook published by Putra Nugraha entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X", there is not any skill dividing such as in the English textbook of the previous curriculum. The skill such as listening, reading, writing and speaking are no longer used to divide the competences in the textbook. It uses the thematic approach that integrates those kinds of skill to be one competence. Those differences lead the researcher to figure out a problem, does the content of the textbook really conform to the content of the syllabus of curriculum 2013?. In addition, this textbook is published in 2013 and used in SMAN 18 Surabaya. It is the only one which is found in the field. Even though the English curriculum 2013 has been implemented, only SMAN 18 Surabaya that uses the English textbook to deliver the English material. The gap exists in the previous study also supports the researcher to conduct the research to answer the question. There are a lot of researches about textbook analysis of previous curriculum textbook such as a research conducted by the graduate of state University of Surabaya. The title is "An Analysis of Listening Material of English Textbook Entitled Get Along With English for Vocational High School Grade X Based on 2006 English Standard Competence" (Widiyawati 2012). This descriptive qualitative research is conducted to evaluate the book in the point of listening skill competence based on the 2006 English Standard Based Competence. The researcher take the Listening skill as the competence to be evaluated in the book because, in fact the book was made based on curriculum 2006 that still uses skill competence to divide the material in the book. Another one is a research conducted by Meta Chairani (2011) the graduate of Muria Kudus University entitled "The Analysis of English Textbook based on Competence Based Curriculum (CBC) for The First Year of Senior High School Published by Penerbit Erlangga and PT. Intan Pariwara. This research also analyzes the textbook of previous curriculum that is Competence Based Curriculum (CBC). So far, none of the researchers conduct a research of the textbook of curriculum 2013 that has been implemented since 2013. Recognizing this gap and urgency that it is a must for the content of the English textbook to conform with the Syllabus of the curriculum 2013, the researcher is supported to conduct this research. In addition, the researcher will use the instrument based on Badan Nasional Standart Pendidikan (BSNP) with also referring to another theory. This is to check the conformity between the basic competences in the syllabus of curriculum 2013 and the basic competences in the textbook and also the conformity between the materials in the English textbook to the basic competences in the syllabus of curriculum 2013. Based on the background and the reason above, it shows that conformity between the book and the basic competence is an urgent and important thing in the implementation of curriculum 2013. Based on the Background above, the researcher decide to research questions of this study are: How is the conformity between the basic competences in the English textbook for first graders of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha and the basic competences in the syllabus of curriculum 2013? And How is the conformity between the materials in the English textbook for first graders of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha and the basic competences in the syllabus of curriculum 2013? The result of this study is expected to give more information and input to the teacher in using the English textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X". It is expected to give them a brief overview of the textbook, so that they would know the appropriate use of it, whether they have to add some material of the syllabus that does not exist in the textbook or even skip some contents in the textbook that does not included in the syllabus of curriculum 2013. Furthermore, this research is also introduced to the writer and the editor of the textbook in order to give them input and guideline in making the next English textbook which is more relevant to the curriculum 2013. In addition, the researcher focuses on the English textbook for the first grade of senior high school entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" used in SMAN 18 Surabaya only to check the conformity of it to the basic competences of the syllabus of curriculum 2013. REVIEW LITERATURE Curriculum is a set of planning and setting of the objectives, contents, and the material of the teaching and learning process that is used as a guideline in realization of the teaching to achieve the goal of the certain education (UU No. 20 Th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Besides, Tanner (1980) defined curriculum as "the planned and guided learning experiences and intended outcomes, formulated through the systematic reconstruction of knowledge and experiences under the auspices of the school, for the learners' continuous and willful growth in personal social competence". It is used to develop and increase the even distribution of education. Every country usually has each own standard of the curriculum because it is related with the development of the country itself. Besides, it also depends on the students' needs in the each country. Since it depends on the students needs the curriculum always having the improvement time by time. It is caused by the global change that occur influence the needs of the learner. In case of English curriculum, there have been some changes or improvement of it in Indonesia. The changes are stated as follows: Old style, Grammar Translation Based Curriculum (1945), New Style, Audio Lingual Based Curriculum (1958), Revision, Audio Lingual Based Curriculum (1975), Structure Based Curriculum (1984), Communicative Based Curriculum (1994), Competency Based Curriculum (2004), Unit Level in Education Curriculum (2006) and Integrated English Curriculum (2013). The most recent curriculum is curriculum 2013 that has been launched in 2013. The English curriculum in it is no longer using skill as the point to divide the competence. It is integrated and thematic. Furthermore, Curriculum 2013 has been launched by the ministry of education and culture of Indonesia in more than 6000 schools all around Indonesia. This is the next step of the ministry of education and culture after holding some process- target teacher and instructor teacher training about curriculum 2013 (Sutiana 2013). Actually, the main substance of curriculum 2013 is the review of internal factors as a demand of education that refers to the 8 national education standards. Those include the management standard, expense standard, infrastructure standard, teacher standard, content standard, assessment standard and the competence standard of the alumnus. The other internal challenges are related with the development of Indonesia from the citizen productive age point of view (in 2020-2035 the productive age is abundant). Besides, the external challenge is also taking a role, the demand of the globalization that comes up with certain goals to achieve through future competence. Those are; communication competence, critical thinking competence, the competency to see the moral values of the problem, ready to work and the ability to live in global society, and etc (Permendikbud 2013a). So far, the global challenge in the society, especially in the future of work field that soon will be globalized, is the basic philosophical framework of this curriculum beside the past and the current condition of Indonesia. Those three values of point of view are taken to build the strength of the mental thinking of Indonesian to face the globalization above. Since the implementation of this curriculum is step by step, it is implemented in the first grade of junior high school. Based on the basic framework of this curriculum from the ministry of education and culture of Indonesia the description of English curriculum is something like the explanation as follows (Sutiana 2013). As stated in the constitution, there is a significant change in this curriculum 2013. That is the graduate standard competence or "standart kompetensi lulusan (SKL)" that related with all of the subjects. It means that the implementation of all subjects must refer to the standard. In the other side, the graduate standard competence itself is depending on the student's needs in the future that focusing on the balance soft skills and hard skills. Furthermore, the main competence is related with the basic competence that exists in every subject. In addition, the text distributing that will be the content in the linguistic material are:Interpersonal Text, Private expression such as greeting and the responds, leave taking and the responds, thanks giving and the responds, and apologizing and the responds; Transactional Text, asking and giving the information about the fact and feeling and also offering things and service; Special Functional Text, such as: name label, List (list of thing in one group), instruction, sign or traffic light, warning sign and song; Public Functional Text, such as: names of the day, month, time in a day, time in form of number, dates and years, self introduction, names of animal, things and public building, the characteristic of human, animal and things. The attitude/action/function of human/animal/things. Descriptive (human, things, and animal); Conversation Topic: related with human self and the social and natural environment around the house and school. Teaching process in curriculum 2013 using scientific approach, through some steps of the process: observing: the student read/watch/listen to the examples of texts that is being learned from many kind of sources, directly/ or using a recording that concerning to the social function, text structure, linguistic element or the delivery format or the writer; asking : through questions from the teacher, the students are asking many things based on the topic/ teaching material, such as social function, expression and text structure and etc; Exploration/ experiment : reading/watching/ listening the other examples of the text they learn; associating/analyzing : in an under control group work, the students are learning to mention the social function, expression and text structure, linguistic element, and the writing format of the type of text they learn. The feedback from the teacher and students in every result of group work are delivered. The last is, communicating: reading, listening, presenting/publishing/ speaking/reading the text they learn. In the other hand, 2006 English curriculum is unit level in education curriculum (KTSP). In this curriculum, each school in Indonesia has each own authority to develop the material based on the students' needs (Nahrowi 2013). Furthermore, this curriculum also concern on the skills as the point to deliver the competences in English such as listening, speaking, reading, and writing. It is completely different with the curriculum 2013. The government standardizes the curriculum as the same one for every school. It means that there is not any differences for every school in Indonesia, in fact, the condition of schools are different each other. Besides, the curriculum 2006 divides the competences into several point based on the skills. Then, The curriculum 2013 is integrated (Nahrowi 2013). This difference of course is included as a significant difference that also could significantly differentiate the previous textbook of the curriculum to the textbook of curriculum 2013. The textbook of curriculum 2013 is no longer divided based on the skill competence, but it is divided based on the theme as shown in the textbook of curriculum 2013 published by Putra Nugraha entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X". Textbook is used as a main guideline in language teaching especially where the teacher is least capable to deliver the material, but the fact said that not all the textbook can reflect the materials well (Williams 1983). This situation of also happens in Indonesia where the EFL classrooms are applied. Furthermore, the existence of the textbook also causes some questions. What the textbook actually is, what advantages of disadvantages of the textbook are, how to create the textbook, how to evaluate it, and also, the most important is, what the relationship between the textbook and the curriculum actually is. Textbook generally is a book contains some material of certain subject to learn by the students in the school. It is used as a main component to deliver the material framework designed in the curriculum. They may deliver the foundation for the content of the lessons, the balance of skills taught and the types of language practice the students take part in. In other hand, the textbook may provide primarily to supplement the teacher's instruction (Richards 2013). Besides, sauvignon (1983) stated that textbook contains a collection of written or oral texts with accompanying explanations that are selected and sequenced for the learners as cited in the previous study (Widiyawati 2012). As the definition above, we can see that actually, textbook can varies based on the language teaching stakeholders. It can adapt the curriculum, the teacher needs, and also the students' needs. That is why, we can find a different textbook used in a different schools. This chosen textbook is used as a basic guideline in teaching and learning process. It is stack because the teacher should follows the curriculum framework designed by the government beside they could adjust their needs. This textbook is very helpful because it contains the material instruction for the teacher that also can support the students to learn by themselves whenever and wherever they want. The material instructions usually could be varied as the curriculum framework. It could be in form of oral or written text, sounds for listening in form of CD that is very practice to use. The existence of the textbook is very crucial in language teaching. It has so many advantages to support the language learning and teaching process, but as the creation of human being, it also has some disadvantages. As the evidence, the textbook evaluation and its revision always applied time by time. The advantages and the advantages of the commercial textbook also depends on the how they are used and the contextual factors and the advantages are stated as (Richards 2013): It is providing structure and a syllabus for a program. Without textbooks a program may have no central core and learners may not receive the material as stated in the syllabus that has been systematically planned and developed by the government; It is helping standardize instruction. The textbook helps the government to implement the even distribution of the education by the similarity of the material taught in each school or even in each class; It is maintaining quality. If a good textbook is used, students are exposed to a tried and tested, that are based on certain pointed learning principles, and that are skipped appropriately; It is providing a variety of learning resources. Textbooks are usually accompanied by workbooks, CDs and cassettes, videos, CD ROMs, and comprehensive teaching guides, providing great resource for teachers and learners; It is efficient. The textbook save teachers' time, enabling teachers to devote time to teaching rather than material's delivering; It is providing effective language models and input. Textbooks can provide supports for non-native teachers and who may not be able to produce accurate language input on their own; They can train teachers. It can be a medium of initial teacher training or a limited teaching experience teacher; It is usually appealing. Commercial textbooks usually have high standards of design and production and hence are appealing to learners and teachers. Contradictory to that, the potential negative effects of the use of textbooks are: It may contain inauthentic language. Textbooks in some cases present inauthentic language since texts, dialogs and other aspects of content tend to be specially written to incorporate teaching points and are often not representing real language use; It may distort content. Textbooks often deliver an idealized view of the world or fail to represent real issues. In order to make fail represented view of material, controversial topics are avoided; It may not reflect students' needs. Textbook are produced in mass amount. That is why; usually the textbook doesn't match the certain needs of the students; It can deskill teachers. If the teacher just use the textbook as an over dominant centered, it can de skill the teacher. It occurs when the teacher is not having improvement in experiencing the class; It is expensive. Commercial textbook that is usually expensive can burden the students in low financial level; Those advantages and advantages gives the redline review for the teacher. If the disadvantages side of the textbook takes a dominant position in the class. The alternative action should be taken, such as adding some materials if there are some of them do not exist in the textbook and etc. Furthermore, what does differentiate the previous textbook curriculum and the textbook of curriculum 2013 especially in language teaching is the approach. The previous curriculum divide each skill competences in the material delivery, but, significantly different to that, the curriculum 2013 use an integrated approach that divide the material into several theme. This is considered more effective in language teaching just like the idea of Oxford (2001) that stated, the integrated approach in foreign language teaching must focus on the integration of language elements like vocabulary, pronunciation and the structure that support the language skill (sundayana 2013). Those two significance differences lead to the textbook construction difference. The textbook of previous curriculum uses the skill in dividing the material in the textbook, they divide listening, speaking, reading, and writing in every material. For the example, descriptive text teaching that is delivered by listening to the descriptive text sound, descriptive speech, descriptive reading, and descriptive writing. Different to that, based on the curriculum 2013framework that has been explained above, the textbook of English curriculum 2013 is constructed by referring to the basic competence in the syllabus. It is constructed as an integrated language material that integrates all language skill such as listening, speaking, reading, and writing into one thematic material. For the example, the language teaching in the first grade of senior high school with the theme "I am going to…". In this theme the material is given to lead the students to explore their language skill. By this theme, the teacher indirectly teaches listening, speaking, reading, and writing in the same time. In condition where there it is lack of trained Teacher, textbook has a vital position in language teaching (Williams 1983). This statement also strengthens the urgency of a well evaluated textbook because of the importance of the existence of textbook itself in the language teaching. The criteria of evaluating the textbook is also take a big role in defining and evaluating the textbook for the betterment of the language teaching. The criteria to build the instrument should be relevant and based on the trusted sources. Since it is important, this evaluation of the textbook should be done especially for the stakeholder of the teacher. The teacher could be given some practices in evaluating the textbook in order to figure out whether the organization of materials is consistent with the objectives of given English curriculum (Williams 1983). The statement of this English education scientist indirectly also shows us that the consistency between the objectives of given English curriculum and the organization of materials is holding an important urgency in the English language teaching. This could be the foundation in making an instrument to define an appropriate textbook based on the curriculum. Besides, there is a valid instrument for evaluating the textbook, including English textbook for senior high school. This instrument that is made by BSNP (Badan Standard Nasional Pendidikan) contains some components of textbook which are arranged based on characteristic of English learning and the criteria of English textbook development (Widiyawati 2012) . The textbook evaluation instrument made by BSNP consists of three main components; the feasibility of the content of the evaluated textbook, the feasibility of the language use of the evaluated textbook, and the feasibility of the presentation of the evaluated textbook. Furthermore, there are sub-components for each component of this evaluation instrument (BSNP 2007), they are: the feasibility of the content of the evaluated textbook; The feasibility of the language use of the evaluated textbook; the feasibility of the presentation of the evaluated textbook. Curriculum is a fundamental substance in the educational system. It drives how the education would look like and it controls the whole unit of education. For the betterment of education in Indonesia for example, the governance does not just revise improve the front liner of education here is the teacher, the facility, and the maintenance but also, the regular revision of curriculum. This fact leads us to understand that the basic change of education improvement is led by the curriculum. In addition, the recent curriculum has taken a serious focus on the equality of education. The equality of education support the potential talent (Rajakumar 2006). It is also reflected by this new policy of education that equal all the material for all school implemented with the standardized standard competence. This basic competence is the main reflection of the curriculum 2013 itself. All of the material guidelines are stated in this standard competence. Furthermore, as the competition of this new curriculum implementation, the teacher mostly uses the textbook as the main material in English teaching. It is caused by the less trained teacher that wants to give the most appropriate material based on the curriculum. Moreover, the well trained teacher uses the textbook as well as the main guideline based on many kind of reason. This idea is strengthen by the language researcher that stated "They can be given practice in analyzing textbooks in order to find out whether the organization of materials is consistent with the objectives of a given English language curriculum" (Williams 1983). Form this view, it can be seen that the role of appropriate textbook of curriculum 2013 is very fundamental and indirectly it also shows that their relationship is very close and can't be divided each other. There have been some previous studies about the textbook analysis, and some of them found that in certain point, there are irrelevancies between the textbook and the goals of English teaching as included in the curriculum. Those findings are clearly proves that the textbook used by school as a teaching guideline has a possibility to have the irrelevancy between the curriculum and the materials in the textbook itself. As the first example, a research conducted by a graduate of State University of Surabaya have found that there are some speaking indicators that are not covered in each unit of the textbook entitled " Mandiri: Practice your English Competence". For example, two indicators of basic competence 2.4 in Chapter 3; and two indicators of basic competence 2.3 in Chapter 6 (Xingli 2013). The second research is also conducted by the graduate of State University of Surabaya. Several text in the textbook entitled "kumpulan kegiatan siswa Bahasa Inggris" designed by Surabaya MGMP team have not fulfilled yet the requirement of the generic structures and the linguistic features yet as stated in 2004 English Curriculum (Sari 2007). Then, the last example of research is conducted by Meta Chairani, the undergraduate of Muria Kudus University (UMK) entitled "The Analysis of English textbook Based on Competence based Curriculum (CBC) for the First Year of Senior Higfh School Published by penerbit Erlangga and PT. Intan Pariwara. Different with the two previous research example, this research was comparing two different textbook to know which one is more appropriate to the curriculum. The result of this study is both of the textbook are fairly good, but only the book of PT. Intan Pariwara entitled "Bahasa Inggris Kelas 1 SMU" was appropriate in content and evaluation to cover the objective of Competence Based Curriculum (Chairani 2011). So far, based on the examples of researches above, it has been clearly found that there are some irrelevance between the textbook and the curriculum starts from Competence Based Curriculum (CBC) that was implemented since 2004 to 2006, and the Unit Level of Education Curriculum (KTSP) that was implemented in 2006 to 2013. This kind of evidences shows us that there is a big possibility of the textbook published by the Government that does not match with the curriculum in certain point. Of course, it is included the textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha as a guideline to implement the Curriculum 2013. This is the main reason why the researcher would like to conduct this study. RESEARCH METHODOLOGY Research Design This study is designed to answer the research question as stated in the Chapter I. It focuses on analyzing the conformity of the material in English textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha to the basic competencies in the syllabus of curriculum 2013. This English textbook is used by SMAN 18 Surabaya in the first year of curriculum 2013 implementation. Based on the objectives and the aim of the study above, this research is designed to analyze the English textbook that has been a phenomenon. Until nowadays, there is not any legal curriculum 2013 English textbook for senior high school published by the government. Since this study is descriptive qualitative research, the analysis of the study is presented in form of words rather than numbers without any statistical calculation (Fraenkel JR & Wallen, NE 1990; McMillan (as cited in Widiyawati 2012). Besides, this study is also documentary analysis research in which it describes the data gotten from the research instrument in detail and deeply. Object of the Study The Subject of this study is the English textbook for the first graders of Senior High School entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha. It was published in 2013. The materials in the textbook are organized in form of chapter in which the four skills of English such as Listening, Speaking, Reading, and writing are integrated to be one thematic chapter. There are seven chapters that cover one semester material, they are: I Live in Semarang, Wow! You Look So Pretty! , Are You Ok? , I'm Going to…, Congratulations, Simple Past Tense and Simple Present Perfect Tense, Descriptive Text. As stated above, those themes provide integrated English materials that also integrate the four skills of English. Data of the Study The data of this study are all of the English learning material presented in this textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha that covers one semester program of the first grade. The data are in the form of dialogues, passages, monologues, tasks, activities, instructions, tables, and etc. The textbook that is being analyzed contains seven chapters that are elaborated into 64 pages. Research Instruments As a device to collect the data, the research instrument is very important. It is a device to collect the data from the object of the study. As a descriptive qualitative study, the data of this study are in form of words rather than numbers in which the researcher is the main instrument. The main role of the researcher as the instrument in this study is profoundly to collect and analyze the data as deep as possible. However, the researcher cannot work alone. The researcher is assisted by the other research instruments; here is the field note. Others contrast field notes with data, defining field notes more along the lines of Field note is a daily input made in a field journal to record thoughts, impressions, initial ideas, working hypotheses, issues to pursue and so on. Besides, it is also everything collected in the fieldwork —the fieldwork journal, transcripts of conversations and interviews, photographs, audiotapes and videotapes, copies of documents, and artifacts (Schwandt 2007). In this study, the field note is used help the researcher to record the verbal data of the object of the study and verify the conformity of the materials in the textbook and the basic competences of curriculum 2013. The field notes are in form of table which contain the analyzed data and also the evidence of the materials. The first table of field note contains basic competences in the syllabus of curriculum 2013, basic competence in the analyzed textbook and relevant or irrelevant column. Besides, the second table of field note contains basic competences of curriculum 2013, main materials based on the Syllabus of English curriculum 2013, relevant or irrelevant column and the evidence of materials. Data Collection Technique In this study, the technique to collect the data is document analysis based on the checklist. The analysis deals with the conformity between the English learning material and the 2013 English basic competencies. There are two steps that use two tables in this study. The first is the researcher checks the conformity between the basic competences in the textbook to the basic competences in the syllabus of English curriculum 2013. The second is the researcher checks the conformity between the English materials in the textbook to the basic competences of English curriculum 2013. While it is done, the verbal data is also written in the field notes. After those two steps, the researcher collects the data and the result from the instrument table, after that, those data are analyzed and elaborated. Data Analysis Technique Since the English material in the textbook are integrated, the researcher directly describe the results of the study without any skill dividing in form of words rather than numbers. In addition, there are two steps in this study analysis. The first is describing conformity between the basic competences in the analyzed textbook and the basic competences in the syllabus of curriculum 2013. The second is describing the conformity between the materials in the textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra Nugraha English and the basic competences in the 2013 English curriculum. RESULTS AND DISCUSSION The results of this study are divided into two parts. The first is describing the conformity field note of the basic competences in the textbook for the first grade of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" to the Basic competences in the syllabus of curriculum 2013. The second is describing the conformity field note of the content in the textbook for first graders of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" to the Basic competences in the syllabus of curriculum 2013. The Conformity of the English Basic competences in the textbook to the English Basic Competences in the Syllabus of C urriculum 2013 This part of the results aims to describe the conformity of the basic competences in the textbook for first grader of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" to the basic competences in the syllabus of curriculum 2013. This part is describing the example of field note of Chapter 1 and 2 analyses in which it is described into words to be more specifically explained. The Conformity of the Basic Competences in the Textbook Chapter 1 to the Basic Competences in the Syllabus No. Basic Competence in the Syllabus of Curriculum 2013 Basic Competences in the textbook Conformity 1. 1.1. Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar Komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar. 1.1. Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar Komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar. relevant 2. 2.2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan Komunikasi transaksional dengan guru dan teman. 2.2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan Komunikasi transaksional dengan guru dan teman. relevant 3. 3.1. Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan dari teks pemaparan jati diri, sesuai dengan konteks penggunaannya. 3.1. Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan dari teks pemaparan jati diri, sesuai dengan konteks penggunaannya. relevant 4. 4.1 Menyusun teks lisan dan tulis sederhana, untuk memaparkan, menanyakan, dan merespon pemaparan jati diri, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan, secara benar dan sesuai dengan konteks. 4.1 Menyusun teks lisan dan tulis sederhana, untuk memaparkan, menanyakan, dan merespon pemaparan jati diri, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan, secara benar dan sesuai dengan konteks. relevant As can be seen above, all of the Basic competences in chapter 1 are relevant to what they are stated in the syllabus of English curriculum 2013. The basic competences are stated in the beginning of the chapter in the textbook. They are Basic Competences 1.1, 2.2, 3.1 and 4.1. The evidence of this analysis is a picture taken from the analyzed textbook as follows: The Basic Competences in Chapter 1 of the Textbook The picture above shows some basic competences in chapter 1 of the textbook. The basic competences in the textbook above conform to the basic competences in the syllabus as shown in table 4.1. The Conformity of the Basic Competences in the Textbook Chapter 2 to the Basic Competences in the Syllabus No. Basic Competence in the Syllabus of Curriculum 2013 Basic Competences in the textbook Conformity 1. 1.1 Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar Komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar. 1.1. Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar Komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar. relevant 2. 2.1. Menunjukkan perilaku santun dan peduli dalam melaksanakan Komunikasi interpersonal dengan guru dan teman. 2.1. Menunjukkan perilaku santun dan peduli dalam melaksanakan Komunikasi interpersonal dengan guru dan teman. relevant 3. 3.2. Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan pada ungkapan memuji bersayap serta responnya, sesuai dengan konteks penggunaannya 3.3. Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan pada ungkapan memuji bersayap serta responnya, sesuai dengan konteks penggunaannya. relevant 4. 4.2. Menyusun teks lisan dan tulis untuk mengucapkan dan merespon pujian bersayap, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan yang benar dan sesuai konteks. 4.2 Menyusun teks lisan dan tulis untuk mengucapkan dan merespon pujian bersayap, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan yang benar dan sesuai konteks. relevant Besides, the Filed note above also shows that all of the Basic competences in the chapter 2 are relevant to what they are stated in the syllabus of English curriculum 2013. The basic competences are stated in the beginning of the chapter in the textbook. They are Basic Competences 1.1, 2.1, 3.2 and 4.2. The evidence of this analysis is a picture taken from the analyzed textbook as follows: The Basic Competences in Chapter 2 of the Textbook The picture above shows some basic competences in chapter 2 of the textbook. It can be seen that the basic competences in the textbook above conform to the basic competences in the syllabus as shown in table 4.2. Overall, the study results that all of the basic competences in the textbook for first graders of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" conforms to the basic competences in the syllabus of English Curriculum 2013 (see appendix 1). The conformity of the Materials in the Textbook to the Basic Competences in the Syllabus The textbook entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" published by Putra nugraha are claimed as representing the English Curriculum 2013. This book uses thematic and integrated material in delivering four English skills. Since it is integrated, no more skill dividing found in this book. The thematic and integrated material are delivered into seven chapters, they are: I Live in Semarang, Wow! You Look So Pretty, Are You Ok?, I'm Going to…, Congratulations, Simple Past Tense and Simple Present Perfect Tense and Descriptive Text. This part of the study explains and describes the result of the instrument to figure out whether or not materials in the English textbook for first graders of senior high school used in SMAN 18 Surabaya entitled "Bahasa Inggris Untuk SMA/MA dan SMK/MAK Kelas X" conforms to the Basic competences in the Syllabus of Curriculum 2013. The data collection uses table of conformity (see Appendix 2) and the descriptions are divided chapter per chapter. The table analysis of the first and second chapter is presented as the example below: The Conformity of Materials in Chapter 1 to the Basic Competences in the Syllabus NO. Basic Competences in the Syllabus Main Materials Based on the Syllabus Conformity Evidence 1. 1.1. Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar Komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar 2.2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan Komunikasi transaksional dengan guru dan teman. 3.1. Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan dari teks pemaparan jati diri, sesuai dengan konteks penggunaannya. 4.1. Menyusun teks lisan dan tulis sederhana, untuk memaparkan, menanyakan, dan merespon pemaparan jati diri, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan, secara benar dan sesuai dengan konteks. Simple spoken text to explain self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. irrelevant Simple spoken text to ask about self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. irrelevant Simple spoken text to respond self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. irrelevant Simple written text to explain self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. relevant Simple written text to ask about self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. irrelevant Simple written text to respond self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. irrelevant The table above shows that most of the materials in the textbook do not conform to the basic competences in the syllabus of Curriculum 2013. There is only one material in chapter 1 of the textbook that conform to the basic competences in the syllabus. It is as seen in the picture below. Simple Written Text of self Introduction The picture above shows a simple written text of introduction taken from the analyzed textbook. It conforms to the fourth main material in chapter 1 that represents the basic competences in the syllabus of curriculum 2013. The main material in chapter 1 is Simple written text to explain self introduction which concerns on right social function, text structure and linguistic element that is appropriate with the context. The simple written text of introduction above fulfills the social function, text structure and linguistic element. The text above reflects the social function in which the students are hoped to get into a relationship among others. The text structures are reflected in form of expressions such as "My name is Arai", and "I am a student in Gemilang senior School". The last is linguistic element is reflected by the topic about family and brotherhood relationship, hobbies, occupation and the text is using simple present tense. The Conformity of Materials in Chapter 2 to the Basic Competences in the Syllabus NO. Basic Competences in the Syllabus Main Materials Based on the Syllabus Conformity Evidence 1. 1.1. Mensyukuri kesempatan dapat mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar Komunikasi internasional yang diwujudkan dalam semangat belajar. 2.1. Menunjukkan perilaku santun dan peduli dalam melaksanakan Komunikasi interpersonal dengan guru dan teman. 3.2. Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan pada ungkapan memuji bersayap serta responnya, sesuai dengan konteks penggunaannya. 4.2.&nb
A Correctness behaviour is a guidance from Islamic Religion. The flexibility of Islamic religion is seen from its doctrinal aspect which emphasizes convenience, good behaviour, and moderation allowing the religion to coexist in a multicultural community entity, such as in Indonesia. The ability of the people in accepting new values that come from outside their communities is a multicultural experience that is difficult to match. Indonesian Islam is of course formed in a multicultural atmosphere that is almost without the slightest contradiction. Differences in language, tradition, culture, communal values, and even religions and beliefs, are integrated into a religious life that is unique and too difficult to separate. For people who can understand the existence of religion from a socio-historical perspective, religious teachings that have given birth to new traditions in that society are proof that religion does not reject tradition as a whole. On the other hand, religion can provide space for local values that are considered good. Religion that has entered a multicultural society will experience an acculturation process so that religion can have many versions, especially in the aspect of implementation, from the perspective of understanding to the importance of religion in accordance with the culture of each region or place. From this multicultural society, differences in expression were born in carrying out religious orders. Correctness behaviour to create a multicultural society can be done by forming a harmonious community, intertwining together to build a religious community, so that what is later called as a form of Islamic civilization comes from a background of different traditions in society, but is able to integrate politically into a community. Multicultural community through ties of faith that transcend their religious boundaries. Perilaku Ihsan adalah pedoman dari Agama Islam. Fleksibilitas agama Islam dilihat dari aspek doktrinalnya yang mengedepankan kenyamanan, perilaku yang baik, dan moderasi yang memungkinkan agama tersebut hidup berdampingan dalam entitas masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Kemampuan masyarakat dalam menerima nilai-nilai baru yang datang dari luar komunitasnya merupakan pengalaman multikultural yang sulit ditandingi. Islam Indonesia tentunya terbentuk dalam suasana multikultural yang nyaris tanpa kontradiksi sedikitpun. Perbedaan bahasa, tradisi, budaya, nilai komunal, bahkan agama dan kepercayaan, diintegrasikan ke dalam kehidupan beragama yang unik dan terlalu sulit dipisahkan. Bagi masyarakat yang dapat memahami keberadaan agama dari perspektif sosio-historis, ajaran agama yang melahirkan tradisi baru dalam masyarakat tersebut merupakan bukti bahwa agama tidak menolak tradisi secara keseluruhan. Di sisi lain, agama bisa memberi ruang bagi nilai-nilai lokal yang dianggap baik. Agama yang telah memasuki masyarakat multikultural akan mengalami proses akulturasi sehingga agama dapat memiliki banyak versi terutama dalam aspek pelaksanaannya, mulai dari perspektif pemahaman hingga pentingnya agama sesuai dengan budaya masing-masing daerah atau tempat. Dari masyarakat multikultural inilah lahir perbedaan ekspresi dalam menjalankan tatanan agama. Perilaku kebenaran untuk mewujudkan masyarakat multikultural dapat dilakukan dengan membentuk masyarakat yang rukun, terjalin bersama untuk membangun masyarakat yang beragama, sehingga apa yang kemudian disebut sebagai wujud peradaban Islam berasal dari latar belakang tradisi yang berbeda-beda dalam masyarakat, namun mampu berintegrasi secara politik ke dalam komunitas. Komunitas multikultural melalui ikatan keimanan yang melampaui batas agama mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna lambang negara dan pengaturan tentang tindak pidana penghinaan terhadap lambang negara di indonesia serta menganalisis legalitas tindakan membuat mural presiden sebagai tindak pidana penghinaan terhadap lambang negara. Motode dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) terkait isu hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan membuat mural dengan gambar presiden bukan merupakan tindak pidana penghinaan terhadap lambang negara. Karena lambang negara indonesia merupakan garuda pancasila dengan semboyan bhineka tunggal ika seperti yang termuat dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Namun tindakan membuat mural dengan gambar presiden dapat dipidana apabila substansi pada mural tersebut terdapat unsur penghinaan terhadap penguasa seperti rumusan Pasal 207 KUHP. Meski demikian syarat dapat dipidananya pembuat mural harus berdasarkan pengaduan langsung dari presiden. Apabila substansi mural tidak mengandung unsur penghinaan seperti pada rumusan Pasal 207 KUHP, maka yang menjadi masalah bukan merupakan substansi mural berupa kritik yang disampaikan terhadap pemerintah ataupun presiden, melainkan perbuatan melukis dinding atau tembok yang merupakan sarana umum, bahkan apapun gambar yang dilukis, termasuk gambar presiden sekalipun. Namun hal demikian tergantung dari ada atau tidaknya aturan pada masing-masing daerah yang mengatur larangan mencoret, melukis atau menggambar sarana umum. This research aims to analyze the meaning of the state symbol and the regulation of criminal acts of insulting the state symbol in Indonesia as well as to analyze the legality of the act of making a presidential mural as a criminal offense of insulting the state symbol. The method in this research is a normative research method with a conceptual approach and a statute approach related to legal issues. The results show that the act of making a mural with the image of the president is not a crime of insulting the state symbol. Because the Indonesian state symbol is the Garuda Pancasila with the motto "Bhinneka Tunggal Ika" as contained in Article 1 number (3) of Law Number 24 of 2019 concerning the Flag, Language, and State Emblem and National Anthem. However, the act of making a mural with the image of the president can be punished if the substance in the mural contains an element of insult to the authorities as formulated in Article 207 of the Criminal Code. However, the condition that a mural maker can be convicted must be based on a direct complaint from the president. If the substance of the mural does not contain an element of humiliation as in the formulation of Article 207 of the Criminal Code, then the problem is not the substance of the mural in the form of criticism submitted to the government or the president, but the act of painting walls or walls which are public facilities, even whatever pictures are painted, including pictures. president though. However, this depends on whether or not there are regulations in each region that regulate the prohibition of crossing out, painting or drawing on public facilities.
The controversial concept of the rule of law with the state of power (the state of absolute government), is basically the result of continuous debate about the rule of law by scholars and philosophers for centuries. The state ruled by law is called Recht Staat. And a State governed by law is a State which aims to maintain public order, namely order which is generally based on law. Through the democratic system, the process of its development can be seen clearly the relationship between the rule of law based on the sovereignty of the people and the constitution. With a different language, the state must have an ideology and philosophy based on a democratic system. This is because democracy is a way to maintain and control the rule of law. The state can be interpreted as a group of people who wish to unite in a region, with a sovereign government. With a form of state that can be distinguished into democracy, monarchy and oligarchy. The Indonesian constitutional system that has ever existed in Indonesia, among others: 1) the pre-amendment of the 1945 Constitution. 2) RIS Constitution. 3) 1950 Constitution. 4) Post-amendment 1945 Constitution. The government system is divided into 2 types, namely the presidential system and the parliamentary system. The meaning of the Archipelagic State is rooted in the notion of Nusantara. Nusantara comes from the word "nusa" which means a group of islands, and "between" which can be interpreted as a place flanked by other places. So the meaning of the word "archipelago" is a collection of islands located / flanked between 2 continents and 2 oceans. Konsep Negara hukum yang kontroversial dengan Negara kekuasaan (the state of absolute govemment), pada dasarnya merupakan hasil perdebatan terus menerus tentang Negara hukum oleh para sarjana dan filsuf selama berabad abad.Negara yang diperintah oleh hukum disebut Recht Staat. Dan Negara yang diatur oleh hukum adalah Negara yang bertujuan untuk memelihara ketertiban umum, yaitu ketertiban yang umunya berdasarkan hukum. Melalui sistem demokrasi, proses perkembangannya terlihat jelas keterkaitan antara negara hukum yang bertumpu terhadap kedaulatan rakyat dan konstitusi. Dengan bahasa yang berbeda, negara harus berideologi dan berasaskan falsafah sistem demokrasi. Hal ini karena demokrasi merupakan cara untuk mempertahankan serta kontrol atas supremasi hukum. Negara dapat diartikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang berkeinginan untuk bersatu di dalam suatu wilayah, dengan pemerintahannya yang berdaulat Dengan bentuk Negara yang dapat dibedakan menjadai demokrasi, monarki, dan oligarki. Sistem ketatanegaraan Indonesia yang pernah ada di Indonesia, antara lain: 1) UUD 1945 pra-amandemen. 2) Konstitusi RIS. 3) UUDS 1950. 4) UUD 1945 pasca amandemen. Sistem pemerintahan dibedakan menjadi 2 macam, yakni sistem presidensial dan sistem parlementer.Makna dari Negara Kepulauan berakar dari pengertian Nusantara. Nusantara berasal dari kata "nusa" yang artinya gugusan (kumpulan) pulau, dan "antara" yang dapat diartikan sebagai suatu tempat yang diapit oleh tempat yang lain. Jadi arti kata "nusantara" adalah kumpulan pulau yang terletak/diapit antara 2 benua dan 2 samudera.
"DOLL STEPS" AS A BRAINSTORMING GAME TO IMPROVE THE SPEAKING SKILL IN PROCEDURE TEXT OF THE NINTH GRADERS OF SMPN I MOJOKERTO JOURNAL BY ELIASANTI AGUSTINA NIM. 102084007 ADVISOR Dra. THERESIA KUMALARINI, M.Pd. NIP. 19521014 197903 2 001 SURABAYA STATE UNIVERSITY FACULTY OF LANGUAGE AND ARTS ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT ENGLISH STUDY PROGRAM 2014 "DOLL STEPS" AS A BRAINSTORMING GAME TO IMPROVE THE SPEAKING SKILL IN PROCEDURE TEXT OF THE NINTH GRADERS OF SMPN I MOJOKERTO Eliasanti Agustina English Study Program FBS Surabaya State University elia.englishedu2010@gmail.com Dra.Theresia Kumalarini, M.Pd. Lecturer of English Study Program FBS Surabaya State University kumala_rini52@yahoo.co.id ABSTRAK Pengajaran berbicara bahasa Inggris di banyak sekolah tidak memfasilitasi siswa untuk menjadi terampil. Akibatnya, keterampilan berbicara mereka masih kurang memuaskan. Dengan demikian, guru harus menggunakan cara yang tepat untuk mengajarkan keterampilan berbicara berdasarkan kebutuhan siswa. Di sini peneliti menyarankan guru untuk menerapkan permainan brainstorming bernama "DOLL STEPS" yang bertujuan untuk membantu siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi aktif dan kritis, membangun kebiasaan untuk berbicara menggunakann bahasa Inggris, berbagi dan mendapatkan pengetahuan, berbicara dengan fasih dan bebas , berkaitan dengan topik yang diberikan , siap dengan tugas inti dalam pelajaran berbicara, dan belajar untuk memperhatikan pembicara yang lain. Penelitian ini fokus pada berbicara teks prosedur. Penelitian kuantitatif eksperimental ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan berbicara siswa setelah penerapan "DOLL STEPS". Populasinya adalah siswa kelas Sembilan di SMPN 1 Mojokerto, sedangkan sampelnya adalah IX E sebagai kelompok eksperimen dan IX F sebagai kelompok kontrol. Untuk mendapatkan data, masing-masing kelompok diberi pre-test untuk menemukan kesetaraan kemampuan dan post-test untuk menemukan pencapaian yang berbeda. Peneliti menggunakan rumus t -test untuk menganalisa data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor post-test dari kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Kesimpulannya, direkomendasikan kepada guru bahasa Inggris bahwa permainan "Doll Steps" dapat digunakan untuk mengajar keterampilan berbicara sehingga dapat mencapai target belajar bahasa Inggris . Keyword : "Doll Steps", Keterampilan Berbicara , Teks Prosedur ABSTRACT The teachings of speaking in many schools do not facilitate students to be skillfull in speaking. Consequently, their oral skill is still unsatisfactory. Thus, the teacher has to use an appropriate way to teach speaking based on the students' need. Here the researcher suggested the teacher to implement brainstorming game namely DOLL STEPS which aims to help students have the same chance to be active and critical, build a habit to speak English, share and get knowledge, speak in fluent and free way, be enganged with the topic given, be ready in the main speaking task, and learn to pay attention to other's talk. This study focuses on speaking procedure text.This experimental quantitative research aims to know how the students' speaking skill after the implementation of "DOLL STEPS" is. The population was the ninth graders of SMPN 1 Mojokerto, whose sample was IX E as the experimental group and IX F as the control group. To get the data, each group was given a pre-test to find their equality and post-test to find the different achievement. The researcher used t-test formula to analyze the data. The result of the study showed that the post-test scores of the experimental group were higher than those of the control group. Finally, it is recomended that English teachers use Doll Steps game in teaching speaking skill to meet the target of learning English. Keyword: Doll Steps, Speaking Skill, Procedure Texts INTRODUCTION English proficiency is a must in the era of communication and globalization. English is seriously learned by many people to have a good prospect in the communication and also to get more information of international world. It can be seen in Indonesia that English is learned by children from elementary school to students of higher education. Therefore, our government seriously provides the appropriate curriculum about this subject. English lesson in junior high school function as a tool of self-development of students in science, technology and art. After completing their studies, they are expected to grow and develop into individuals who are intelligent, skilled and personable also ready to take a role in national development. In line with the explanation above is Indonesian law number 20 year 2003 about National Education System Article 37 paragraph 1, one of them states that language study materials include a foreign language with consideration of foreign languages, especially English is an international language which is a very important utility in global society (2006 : 282). Hence, English language become the principle subject which determines student graduation. This is proven by the fact that English is the subjects that is always included in the national examination in accordance with the Regulation of the Minister of National Education Number 78 Year 2008 on National Examination for Secondary level in Article 6 states that the subjects tested in the examination include Indonesian, English, Mathematics, and Science. In the process of learning English, a teacher must be able to master the language pretty well. Moreover she must be able to master how to teach English properly and how to transfer knowledge and experience of the teacher to the learners. Thus, there has to be many efforts to do in order to create an interesting English learning that can motivate students to enhance learners' capacity in learning English. That is why, it is recommended that the teaching of English, should bring English atmosphere in it. Being a good teacher, she should be able to bring it in teaching and learning process, because if the atmosphere can not be brought into the process, the students will not get a clear purpose, why they have to learn the lesson and what is the importance of learning it for their daily lives. According to Depdiknas (2006:307), the teaching of English consists of four language skills, namely listening, speaking, reading and writing and other three components, pronunciation, vocabulary and grammar. Each skill has different purposes to help students master English. The uppermost important language skill in learning English is a skill in oral communication or generally called speaking. As declared by Aliakbar & Jamalvadi, speaking is crucial since it is the vehicle of social solidarity, social rank, the business world and as a medium for learning language. Learning objectives of speaking have been clearly stated in the English curriculum. The goal is students are able to communicate efficiently. "Learning speaking should improve the communication skills of learners to be able to express and learn to follow the appropriate social and cultural development" (Kayi, 2006: 1). Unfortunately the current condition shows that English Foreign Language (EFL) learners, in this term is Indonesian learners, are reluctant to speak English in the classroom. The problem is commonly found in EFL class. It is caused by some factors such as they do not have the confidence to do conversation in English, they are afraid of making mistakes and then laughed by their peers, they have limited vocabulary so that they know what to say in bahasa but not in English and many more. Sometimes the topic given is too high for them so they prefer to be silent. In addition, some students did not get a chance to speak in class because of the domination by particular learners. Consequently, students have fewer opportunities to learn from speaking than the more oral students. For sure it will affect to their ability and their score in speaking skill as well. Students who do not take charge in their learning are unable to take full advantage of learning opportunities. This is a problem that faces many Asian students who are generally more reserved than western students (Tsui , 1996). As teachers, we can try to overcome students' problem by using suitable warm-up activities, in this case called brainstorming game. Basically the use of brainstorming game in teaching and learning activities is not a must considering the effectiveness and time required. However, occasionally it is necessary to use the game to support the implementation of learning English. Brainstorming game can facilitate and create a strong positive effect on the atmosphere and also relaxed for students in doing classroom learning activities, considering that English is still a scourge for most students. That warm-up activity also helps students to have an overview about the main speaking task. In addition, the nature of game is fun so it can increase students' motivation and able to overcome shyness. Consequently, they will be able to express their ideas freely because through playing the game they may not consider that they are learning. Implementation of learning strategy in SMPN 1 Mojokerto strongly support the achievement of the speaking purpose itself. Learning strategy requires students to be independent, critical, and active in expressing their opinion. However at the presentation time most of the students do not focus in listening to the speaker. Sometimes they are busy with their own tasks even do not appreciate the presenter. Moreover, frequently there are learners who like to cut the talks of presenter with things that are not discussed. This affects condition of other students and causes confussion in the classroom. Teachers will be exhausted to remind them repeatedly. Dealing with the issues above, a teacher needs appropriate strategy and media which can control the class order and boost students' score in speaking English. There are some alternatives of speaking games that can be used in order to improve the students' speaking ability. One of the games that can be used is the Doll Steps game. This game is actually taken from the Chain Story ideas that are commonly used in the teaching of narrative text and also Talking Stick, but the writer gives a little modification in the content of the media itself, so that produces a new media that is Doll Steps game. As a result students will pay attention to the presenter when she is speaking. This teaching strategy can be used in teaching any texts. Based on Competence Based Curriculum Issued (KTSP) 2006, there are five genres that are introduced to Junior High school students. Those are procedure, descriptive, recount, narrative and report text. Those kinds of texts are expected to be mastered by the students well. Among those genres, a procedure text is easily understood by the students as it is commonly found in their environment. The text can be found on the sachet of instant foods and beverages also on the box of electronic machine. Additionally, procedure text is a genre which has to be mastered by students, especially the ninth graders as it is already stated in Standar Isi and Standar Kompetensi. In procedure text, students are told the way how something is achieved by doing sequence steps. The text includes set of suggestion on how to do something, how to operate something and how to get to a certain place or direction. To apply Doll Steps for procedure text, the speaker gives direction or step. All students will be treated fairly. They will get same chance to speak, so it is expected by applying this game, students will be able to speak English effortlessly and without hesitant. Doll Steps will be very advantageous for teaching speaking procedure text of the ninth graders in SMPN 1 Mojokerto. This study will discus the activities during the learning process using Doll Steps. The implementation here will be different from the concept in general as it will be modified by the music so that students feel comfortable. Researcher found a previous study on the use of brainstorming carried out in Oral Communication classes at a Japanese senior high school which was observed by Culen (1998) entitled, "Brainstorming Before Speaking Task". Brainstorming used was Information Gap. The evaluation of the study showed that an increase in speaking time and a more positive atmosphere are two benefits that brainstorming can bring to speaking class. Based on the background and the problems above, the research conducted to investigate how the students' speaking skill after the implementation of Doll Steps is. METHOD Concerning with the research question in the previous chapter, the writer used experimental quantitative research design. According to Ary, (1985) in Denik lejar (2012) Experimental design refers to the conceptual framework where the experiment is conducted. There were two groups involved in this study, experimental group (class IX E ) and control group (class IX F), which were randomly assigned. The two groups were given a pre-test to examine whether they were in the equal level or not. Then the experimental group was given a treatment by using Doll Steps in their teaching and learning process for several times. On the contrary, the control group was taught conventionally. At the end, both of the groups were given a post-test to measure the effectiveness of Doll Steps for teaching speaking procedure texts to Junior High school. The population used in this research was the ninth graders of SMP Negeri I Mojokerto. The researcher chose two classes randomly as the samples. In this research, the researcher chooses probability sampling, especially cluster random sampling. After getting two classes, the researcher randomly assigned which one was the experimental group and which was the control group. The two chosen classes should be equal, to avoid any unexpected effect. In this study, the sample was class IX E as the experimental group, and class IX F as the control group. Each of them consists of 26 students. This study used test as the instrument. The tests consisted of pre-test and post-test. The items used in the tests were exactly the same. The pre-test and post-test were administered to know whether the model of learning is successful or not. From the two tests, the researcher got scores of speaking tests as the data. Before the tests were administered, a tryout was conducted to analyze the reliability of the test be used for pre-test and post-test also to know the appropriate test items for the students' level. The try-out test was given to the students who were given neither pre-test nor post-test. The number of the test items was just 2 instructions in the form of oral test. The results showed that the test items had a high validity because all of the components of the test items were according to the standard competency (see table 1) and has been approved by the experts (lecture of UNESA and the English teacher of SMPN I Mojokerto). While to know the reliability, the researcher used interrater reliability method. It means, one test will be administered once, but it is scored by two people. If the result from those two people are same or almost the same, means the test are valid and can be used in collecting data. Therefore, for the results showed that the test items were in high validity and reliability. Table 1 Scale of Validity Test Item Standard Competency Validity How to send a picture through e-mail How to make a glass of iced lemon tea 4.2.1 Mengungkapkan makna dalam monolog pendek sederhana dengan menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar, dan berterima untuk berinteraksi dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk procedure Valid Valid When the students came in front of the class and produced a monologue related to the lesson given, their performance was analyzed and scored based on some aspects. They are pronunciation, grammar, fluency, vocabulary, organization and comprehension. Each aspect has its own point and description. The measurement adopted from Oller (Language Tests at School, 1979, pp. 320-323). A quantitative data analysis was conducted in this study. The scores of students' speaking tests were analyzed by using t-test formula because the result of the study was determined by the comparison of the post-test scores of the two groups. Moreover it is used to analyze the significant difference between the pre-test and post-test scores of the two groups. RESULT AND DISCUSSION Result The Implementation of Doll Steps in Teaching Speaking The research was done on December 9th up to 12th 2014. Furthermore, six meetings were needed to accomplish the research; try-out, pre-test, treatment 1, treatment 2, treatment 3, and post-test. It is held to find out the influence of using brainstorming game called "DOLL STEPS" to improve students' speaking skill in Procedure text. It was investigated through comparing the mean scores of the pre-test and post-test between the experimental and control group. Below is the statistics table of scores of both groups in pretest and posttest. Table 2 Scores of Pre-test for Experimental and Control Group Based on the calculation of the scores, it was found that the mean of the pretest scores of the experimental group was 70.2 and the control group was 65.4. From the table above, it can be seen that the Tvalue of pretest of the Experimental and control group with the level of significance of .05 and 58 (60) degree of freedom was 1.3 and the Ttable was 2,009. If the T table was higher than the Tvalue . it means that there is no significant difference between Experimental and Control group. Oller's speaking measurement considers that both of the groups belong to level 3. From those results, the researcher assumed that the members of the two groups had equal level of speaking ability before the treatments were given. Table 3 Scores of Post-test for Experimental and Control Group From the calculation, the Mean of Experimental group was 81.9 which belongs to level 3+ and the Mean of Control group was 66.8 which belongs to level 3. It was clearly seen that the scores of experimental group the Mean of experimental group was much higher than the Mean of control group. Moreover the level of experimental is one level above the control group. The scores also have a better improvement. It can be seen at the pretest, the mean of experimental group was 70.2 and belongs to level 3. It significantly increased at the post-test the mean of which 81.9 and belongs to level 3+. It is because the experimental group was given a treatment by using Doll Steps game. The game was able to help students to produce oral speaking text fluently. The significant difference of the post-test scores of experimental The T value of post-test scores of experimental and control groups with level significance .05 and 58 (60) degree of freedom was 8.9 and the T table was 2.009. From the table above, it can be seen that the result of T table was lower than the T value. Therefore, it shows that there was a significant difference between two groups. In other words, there was a significant improvement between those who were taught by using Doll Steps game. Discussion As stated in chapter II, Kattlen (2005:31) defines that speaking as an interactive process of constructing meaning involves producing, receiving and processing information. However, some teachers and pupils mean every sound which comes out of the mouth is called speaking activity. It is totally wrong since speaking is human daily activity in which human expresses the ideas through the oral words about his need, feelings and thought that he wants other people hear. It must use his oral words not the words from the texts, recorders or other people's words. In the second chapter, it can be seen that speaking is a productive skill not a receptive skill, so here the speaker must produce meaningful words not copying or imitating. Therefore, it is necessary that students not only be able to pronounce words correctly but also produce oral words fluently in order to improve the speaking skill of the students, in this case is in a procedure text. Then, the researcher favored Doll Steps game as an alternative way to ease students creates a procedure text orally. The oral words should create spontaneously which means that the words must be original words from the learners. Moreover from the contrasting scores of the post-test between two groups, it can be stated that Doll Steps game can be an effective game for teaching speaking procedure texts. The test items consisted of two instructions. In this section, the researcher tried to analyze the findings of the research which was conducted in SMP Negeri I Mojokerto. The first analysis was about the pre-test scores of the experimental and control groups. The result of the pre-test showed that there was no significant difference of both groups. It means that the two groups have equal ability. The second analysis was the post-test scores of Experimental and control groups. Table 3 shows that the mean of post-test scores for Experimental group was higher than that of the control group. Furthermore, the calculation of the t-test showed that there was a significant difference of post-test scores of Experimental and Control group. It seems that the treatments given to experimental group was successful. Table 3 describes clearly that Doll Steps game is effective for teaching speaking procedure texts. It is supported by the result showed that the scores between experimental and control were significantly different. It caused by the treatments given to experimental groups affected the students' speaking ability. The treatments were given three times. During the treatments, the researcher applied steps of Doll Steps game. At the first treatment, the researcher explained and modeled the steps of Doll Steps first. After the researcher explained the strategy and the material, the students were taught a procedure text by applying Doll Steps game. From several treatments, the researcher was sure that "Doll Steps" is effective as an alternative strategy for teaching speaking procedure texts for the ninth graders in SMP Negeri I Mojokerto. Applying Doll Steps allows the following benefits some of which are stated in the second chapter: It takes students to be a critical learner as they develop independence in practicing speaking. It allows students to practice freely. Here they may speak fearless as no one will cut or correct their says as long as it relates with topic given. All the students will be active speakers for they will get their turn to speak up. It engages students in speaking around the topic. It makes students learn to focus on what his friends' saying because in this game they should listen to the step mentioned by their friends to continue the next step. It scaffolds speaking with a variety of texts in all curriculum areas. It helps students to have a habit in speaking English. It makes students easy to produce the procedure text orally in the main activity since this game gives them chance to take and share knowledge with each other. It creates good English athmosphere in class which brings fun and purpossive learning activity. 10. Learners learn to appreciate one another. In conclusion, the calculation of the post-test from experimental and control groups using t-test showed that there was significant difference between them. Moreover the scores of Experimental group increased rapidly. It is statistically proved that Doll Steps game is effective for ninth graders in SMP Negeri I Mojokerto to improve their ability to speak the Procedure texts. CONCLUSION AND SUGGESTION Conclusion According to the findings in this research, in the previous chapter, it can be concluded that the post-test scores of the experimental group, who were taught by using Doll Steps game are higher than those of the control group who was taught as usual. It was proven by comparing the mean of post-test between the experimental (81.9) which is considered as level 3+ and control group (66.8) with just in level 3 which is clearly stated by the statistical computation between those two groups. Moreover, it was found that the t value of the t-test (8.9) was higher than the t table (2.00). The result of speaking ability of the experimental group students showed that most of them are very good in spoken procedure with the 3+ level. Some of them got excellent scores with the level 4 even 4+. It means that most of them were able to speak the language with suffecient structural accuracy and vocabulary to participate effectively in most formal and informal conversation on practical, social, and professional topics. Whereas some of them who got 4 and 4+ level were able to use the language fluently and accurately at all levels normally pertinent to professional needs (Oller:1979). Therefore, the research question of this study has been answered well. From the findings above, it can be stated that the Null hypothesis, which stated that there is no significant difference in the speaking ability of procedure texts between the students who are taught by using Doll Steps game and those who are not is rejected. On the other hand, the alternative hypothesis which stated there is a significant difference in the speaking ability of procedure texts between the students who are taught by using Doll Steps game and those who are not is confirmed. It can be assumed that teaching speaking procedure texts to ninth graders by using Doll Steps game helps the students to create a procedure text orally in a fluent way and reach a higher achievement. If the teacher implements the Doll Steps game to teach speaking of procedure texts, the students will be able to produce oral procedure text not only easily but also well structured and fluently because from the Doll Steps game they will become confident and critical learners, use their previous knowledge for the speaking task, feel free and confident through the game. Through their friends' sentences they will gain new knowledge such as new vocabulary and how to arrange a good procedure text, so that they can produce the oral text well. In conclusion, it can be said that Doll Steps game is one of the effective teaching speaking games that can be used to teach speaking production of procedure text in the classroom. Suggestion Based on the result of the study, the researcher recommends some advices which are essential. The suggestion may be beneficial for the English teachers and other researchers who conduct a study on speaking skill. For the English teacher Nowadays, when the teaching and learning process is no longer teacher centered but student centered, so the teachers should have some criterion namely: Creative teacher Creative means teachers can do variation in teaching process such as adapting and creating new technique, media, strategy or even game. Good facilitator It means that as a facilitator, teachers should be able to explore students' ability, for instance courage them to solve their learning problem, produce much ideas, give same chance to each students, and give supportive feedback. Selective teacher Teacher should selective in choosing the media, technique, strategy and game used to teach. The things must be appropriate to the curriculum, need, proficiency, and age of the students so that the learning process can meet the target. From all the characteristics above, students will be excited in practicing English orally Linked to the 2006 curriculum, the objective is to make learners able to express the text orally to be used for communication purpose (BSNP, 2006:24). Accordingly, the teacher should use suitable way, one which is giving Doll Steps game. Doll Steps game can give benefits and be implemented as an appropriate game for the students to produce oral procedure texts. For the other researchers Relating to the successful usage of brainstorming game called "DOLL STEPS" to boost speaking score of the ninth graders of SMPN 1 Mojokerto, other researchers who are interested in investigating speaking skill are recommended that they look further on other related aspects of this study. Furthermore, it is suggested to develop this study by exploring the use of this game for other kinds of genre, skills, and level of the students REFERENCES Ary, D., Jacobs, L. C., Sorensen, C. K., & Razavieh, A. (2010).Introduction to Research in Education (8th Ed). USA: Wadsworth engage Learning. Bartz, A. E. (2001). Basic Statistical Concept i Education and the Behavioral Science. Moorhead, Minesota: Concordia College. Brown, H. D. (2004). Language Assessment Principle ad Classroom Practices. San Francisco: Pearson Education. Cullen, B. (1998). Brainstorming Before Speaking Tasks. The Internet TESL Journal , VOL IV No. 7. Harmer, J. The Practice of English LAnguage TEaching (3rd edition ed.). Cambridge, UK: Longman. Hayriye, K. (2006). Teaching Speaking: Activities to Promote Speaking in a Second Language. The Internet TESL Journal , VOLl XII No. 11. Houston, H. (2006). A Brainstorming Activity for ESL/EFL Students. The Internet TESL Journal , Vol. XII, No. 12. Liu, T.-Y., & Chu, Y.-L. (2010). Using Ubiquitous Games in an English Listening and Speaking Course : Impact on LEarning Outcomes and Motivation. ELSEVIER , 1. Manshouri, F. (2008). Second Language Acquisition Research : Theory - Construction ad testinng. Newcastle, UK: Cambridge Scholars Publishing. Nunn, F., & Nunn, R. (2005). Guiding ESL Students Towards Independent Speech Making. The Internet TESL Journal , Vol. XI, No. 2. Oller, John. W. (1979). Laguage Tests at School : A Pragmatic Approach. Boston, Massachusetts, USA: Longman.
The Implementation of Gap Information Activity to Teach Speaking Procedure Text to the Ninth Graders Luhur Bayu Nirwana 092084002 English Education, Faculty of Language and Art, State University of Surabaya luhurnirwana@gmail.com Dosen Pembimbing: Him'mawan Adi Nugroho, S.Pd., M.Pd. English Department, Faculty of Language and Art, State University of Surabaya Abstrak Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran wajib yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah SMP dan SMA. Ini berarti siswa telah belajar bahasa sejak tahun pertama di bangku SMP. Tapi kemudian ketika mereka lulus dari sekolah tinggi kemampuan mereka berbahasa Inggris tidak berkembang dengan baik. Strategi mengajar tampaknya menjadi salah satu faktor kegagalan. Kegiatan kesenjangan informasi tampaknya menjadi pilihan bagi guru dalam melakukan kegiatan mengajar kepada siswa. Berdasarkan pandangan CLT kegiatan ini sangat membantu untuk mengembangkan keterampilan berbicara siswa. Ini memberikan siswa banyak kesempatan untuk berlatih berbicara selama kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian tentang kegiatan ini untuk digunakan dalam mengajar berbicara teks prosedur untuk anak kelas sembilan. Ada dua pertanyaan penelitian dalam penelitian ini. Pertama adalah tentang pelaksanaan kegiatan informasi kesenjangan dalam mengajar berbicara teks prosedur untuk anak kelas sembilan. Yang kedua adalah tentang respon siswa terhadap implementasi dalam mengajar berbicara teks prosedur untuk anak kelas sembilan. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Bangkalan. Subyek adalah siswa IX-D nilai. Ini adalah penelitian deskriptif yang menggambarkan pelaksanaan kegiatan informasi gap untuk mengajar berbicara prosedur teks untuk siswa kelas sembilan. Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan kegiatan informasi gap yang baik untuk diterapkan di kelas untuk mengajar berbahasa Inggris. Selain itu, siswa juga memberikan respon yang positif terhadap penerapan Gap Information Activity di dalam kelas. Kata Kunci: Gap Information Activity, Pengajaran Berbicara, Prosedur Teks, Kelas IX Abstract English is one of compulsory lessons which is put in junior and senior high school curriculum. It means students have learned the language since the first year in junior high school. But then when they are graduated from high school their English speaking ability does not develop well. The strategy seems to be one factor of the failure. The gap information activity seems to be an option for teacher in conducting teaching activity to students. Based on the CLT view this activity is helpful to develop students' speaking skill. It gives students a lot of chances to practice speaking during the lesson activity. Thus, the researcher decides to conduct research about this activity to be used in teaching speaking procedure text to ninth graders. There are two research questions in this research. First is about the implementation of gap information activity in teaching speaking procedure text to ninth graders. The second is about students' response toward the implementation in teaching speaking procedure text to ninth graders. This research was conducted in SMP Negeri 1 Bangkalan. The subject was the students of IX-D grades. It is the descriptive research which describes the implementation of gap information activity to teach speaking procedure text to ninth graders. Based on the result of the research, the implementation of gap information activity is good to be applied in class to teach speaking English. Moreover the students gave positive response toward the implementation of the activity. Keywords: Gap Information, Teaching Speaking, Procedure Text, Ninth Graders. INTRODUCTION Background of Study There is no objection that language and human being cannot be separated. Language is a media for people to communicate each other. Without language we cannot make a good interaction with other people. It is like what Yule (2010) says that human language trully serves a communication system in any situation. Moreover language also tool for learning, Yule (2010) states in his book that we can use language as a tool to learn about language itself. English has taken its role to be an international language. As quoted by Crystal in Cahyono & Widiati (2004) it is abudantly clear that now English has achieved its global status and the global status of English cannot be separated from its popular role as the language, science and technology. As the result of this situation, English has started being popular to be the media of communication among people around the world including Indonesian. As a country that wants to take a role in the world trading and competition, Indonesian government puts English as compulsory lesson in junior and senior high school curriculums. It is stated in Depdiknas (2006) that the aim of English teaching is to enable students to communicate with target language. In the term of communication, speaking skill takes the bigest role. However the final target of learning a certain language is to use it as a media to communnicate with other. Here in Indonesia, students start to learn English from the first year of Junior High School and it is continued regularly until they graduate from senior high school. But then the problem appears here. Although they have started to learn English since first year in Junior High School, their English skill do not develop well. There are seceral factors cause this failure, one of those factors is the method that is applied in class. Most of English teachers in Indonesia still apply teacher-centered class setting in teaching English. This class setting does not optimally give students chance to communicate through target language. This class setting will also provide low students talking time, so that the researcher will conduct a research of The Implementation of Gap Information Activity to Teach Speaking Procedure Text to Ninth Graders. The researcher decides to carry out research in speaking field because the main purpose of learning a language is to communicate and the most obvious way of human being to communicate is by speaking. Speaking is an important part of learning to speak the language teaching purposes should improve the communication skills of students, because that way, students can express themselves and learn how to follow the rules of social and cultural right in communicative circumtance. Kayi (2006) It makes speaking takes very important role in either learning or teaching English. The purpose of the students who learn language is to communicate. Finally it only can be communicated as well as expressed through speaking. Moreover students need a motivation to stimulate their willingness to communicate. They need a reason and an environment that supports and encourages them to start speaking through target language, English. Here is where teachers take their roles. Teachers have to be able to motivate their students to speak through English by creating the atmosphere and environment that support their students to speak and communicate through the target language, English. How then teachers will provide all those thing to students? It is of course they should find the right method to be applied in the class. Communicative Language Teaching (CLT) method can be a solution in this case. Richards (1999) says that CLT sees the needs of language teaching is to communicate each other in the real life. That is why the teacher should focus on communicative profiency rather than mastery of structures. There are some class activities that include in CLT, such as Role-play, interviews, information gap, pair-work and learning by teaching. Based on the perspective view of CLT, researcher decides to conduct a research about the implementatioan of Gap Information activity. It is because the gap of the information will make students curious and it gives the students reason to ask. Whenever they have a question to ask, it means they have reason to communicate and it can be good beginning for teacher to start teaching their students to communicate through target language. Moreover there are some genres in our national curriculum. They are procedure, descriptive, recount, narrative, report, news item, analytical exposition, hortatory exposition, spoof, explanation, discussion and review. The researcher will only concern on the procedure text because he believes it motivates students more since through procedure text students will be abble to share their idea of making or doing something. Based on the background study above, the researcher formulates questions in carrying out this study.Those questions are: (1) How is the implementation of gap information activity to teach speaking procedure text to ninth graders? (2) How is the students' response of the implementation of gap information activity to teach speaking procedure text to ninth graders? This research will only focus on students' speaking skill. It will be conducted to the ninth graders students in SMP Negeri 1 Bangkalan. The result of this research may not be the same with other school, other material and other students in different level Review Literature The aim for someone who learns language is in order to communicate with others using the target language. According to Harmer (2003) in order to make the communication to be successful, the speaker must have to structure the discourse in such a way that can be understood by the listeners. It means that when the speakers try to speak, they do not need to use complicated structure of discourse. They only need to make what they want to deliver can be understood by the listeners, so that the goal of communication can be achieved. Still related to the former, Kayi (2006) explains that the ability to communicate in a second language clearly and efficiently contributes to the success of the learners in school and success later in every phase of life. Kayi mentions the words "success" and "ability to communicate" in his statements. It is clearly enough that by being able to communicate well, people have a big chance to be successful in various situations. People tend to express what they feel through spoken language. If those people can express it well and understandable, they have more opportunity to get the things they want. In the country which uses English as foreign language like in Indonesia, most of its learners study language at school. They learn English with many limitations, such as limitation of time, place and situation, especially when they want to start learning speaking. They do not have enough opportunity to do that. Klancar (2006) states young learners in the communicative classroom should get as many speaking opportunities as possible and their speaking time should slowly but steadily rise so as to prepare them for various communicative situations. The opportunity of speaking will affect to the speaking ability. After giving the learners opportunity to speak teachers should improve learners' speaking skill. At this point, the role of the English teacher is also important to the students' speaking skill development. The teacher should be able to conduct a good teaching speaking during the lesson activity in class. to attract students' attention during the lesson, the teacher should be smart in positioning himself in front of the students during the lesson activity, because the way of how teacher takes role during the class activity can also affect the students' attention. One of the best methods in teaching English is Communicative Language Teaching. This method aims to make students can communicate through target language. Belchamber (2007) says that the main focus of CLT is to teach student use the target language as their media of communication. That is why this method is appropriate to support foreign language learners to communicate through the target language. There are lots of features that provide students to speak much use target language. CLT can be understood as the principles of teaching goal, all features in this method both the setting of the class, the role of teacher and also the class activities facilitate the learners well. One of the activities that is included in this method is Gap Information Activity. Harmer (2007) states that Information Gap is where two speakers have different bits of information and they can only complete the whole picture by sharing that information-because they have different information, there is a gap between them. It means that gap information is the class activity that is used to train students speaking skill communicatively. In this activity each student will be given a paper that consist different information with his partner. Students have to get the complete information by asking his partner. Harmer (2007) also says that the idea of information gap as an organizing concept for a speaking activity is that one person has information that another lacks. They must use English to share that information in order to accomplish a task. Through this activity student will get the real reason and situation that will make them communicate trough the target language In implementing gap information activity to teach speaking procedure text teacher needs to follow some steps that have been stated by Murray (2006) Pre Activity: This stage is the beginning of the lesson. Firstly, the teacher needs to tell students everything about the procedue text. Its aim, grammar features and also the generic structure. After that, teacher needs to tell the students the rules of the gap information activity. He also needs to show the students the example how they will do the gap information activity. Whilst Activity: This stage is the main activity of gap information. In this stage, teacher let students do the activity while the teacher himself watches his students and helps them with their difficulties. In this stage teacher should pay much attention to his students' activity to make sure that the activity is going well. Post activity; This is the last stage of the lesson activity. In this stage teacher discuss the students' work together. After that he tells the students the conclusion of the activity that they just did. Then he ends the lesson. It can be adapted from Ansarey (2012), her study by title "Communicative Language Teaching in EFL Contexts: Teachers Attitude and Perception in Bangladesh". One of its aims is to find out the contribution of communicative language teaching in Bangladesh and the result of this study is it obviously shows that CLT can contribute much in helping develop more proficient speakers of English. METHODOLOGY Research Design The researcher used descriptive qualitative research design to obtain the information concerning with the implementation of gap information activity to teach speaking procedure to ninth graders. According to McMillan (1996) descriptive study investigates and describes the existing phenomena. It shows the real condition happens when the research is being conducted. The researcher is not allowed to manipulate anything, the condition of the research must be naturally happens. The researcher used descriptive research since the objective of this research was to demonstrate a class activity in teaching speaking procedure text. The researcher did not get involved in teaching and learning process. He only observed the teaching learning process in the class. The researcher did not make any interaction or participation during teaching and learning activity in class. The researcher only observed all activity that occurred during the lesson concerning how the teacher delivered gap information activity in teaching speaking procedure text. He kept on detail recorded of what happened and monitored the observation as the result. The researcher would only write what he saw and listened during the lesson activity. At the end of the observation, he would analyze the data involved observation checklist, field note and questionnaire. The Subject of the Study The subjects of the study were the ninth grade students. This research was conducted in class IX D of SMP Negeri 1 Bangkalan which consists of 36 students. Setting of the Study This study took place in the IX D class in SMP Negeri 1 Bangkalan. The researcher chose SMP Negeri 1 Bangkalan as a place to conduct this study. The school was comfortable for learning activities since the school was surrounded by trees and the situation in the school was not too crowded, so that students could study pleasantly. Besides the students were also provided with facilities that supported teaching and learning activities, such as library and various laboratories, The important part of the school that encouraged the research to be successful was the clean, wide and comfortable classroom which the students were in to study. It was one of the essential facilities which give an effect for the teaching learning process. Those factors create conducive atmosphere in class the support the researcher to conduct this study. Moreover the teacher applies gap information activity that suitable with this study. Data and the Source of Data The data of the study were the activities in the teaching and learning process that were according to gap information activity. The researcher would describe the data in the form of words, phrases, and sentences, rather than numbers because the researcher would conduct the descriptive qualitative study. The data were in the form of description of the students' English oral performance during the gap information activity and the responses of the students. Those data were needed to answer research questions of the study. The data to answer the first research question "how is the implementation of gap information activity to teach speaking procedure to ninth graders?" were the class activity during the teaching and learning process. To get the data, the researcher use observation checklist to observe the presence of the behavior and field note to take a note of the thing that happened during the teaching and learning process. The data to answer the second research question "How is the students' response of the implementation of gap information activity to teach speaking procedure text to ninth graders" were the students' opinion. To get the data the researcher used questionnaire. Research Instrument Research instrument was an equipment to collect the data. In this study, the researcher would use observation checklist, field notes and questionnaire as instruments. Those would be explained below: Observation Checklist The researcher used observation checklist to understand individual behavior or process of occurring a noticeable activity in actual or situation. "The simplest device used is a checklist, which presents a list of the behaviors that are to be observed. The observer then checked whether each behavior were present or absent" Ary, Jacobs, Sorensen, & Razavieh (2010). Through checklist the researcher would know which part of behavior was missed by teacher during lesson activity. Field Notes Field notes was a kind of brief notes made by the researcher to observe the teaching-learning process. The researcher used field notes to observe the activity in the class by watching, listening, paying attention and writing everything that could be used as the data during the research. Bodgan and Biklen (2003) say that field notes are the written account of what the researcher hears, sees, experiences and thinks in the course of collecting and reflecting on the data in the descriptive qualitative study. The researcher would write all the important things she would see, hear and some additional information that was not mentioned in the observation checklist. It is also supported by Wallace (1998) that making field notes can prevent the researcher from trouble and confusion in presenting data caused by continuing to the next things. It will help her to organize the data before the data is being analized. Questionnaire Questionnaire was an instrument to get the survey information from the research participants. It is in line with McLean in Cohen, Manion, & Morrison's book ( 2007) state that questionnaire can be used to collect survey information that provide structure, often numerical data being able to administrated without the presence of the researcher and often being comparatively straight forward to analyzed. Data Collection Technique The researcher got the data from observation checklist, field note and questionnaire. The observation checklist was used to get the information during the teaching and learning process. The observation checklist was also to know whether the teacher applies the indicators or not. The field note would be used to records how teacher would implement gap information activity to teach speaking procedures text and what situation would occur during the lesson activity. It would be used by researcher to answer the first research question. To answer the second research question the researcher would use questionnaire. Questionnaire would gain the information about students' responses toward the implementation of gap information activity to teach speaking procedure text. Data Analysis Cohen, Manion, & Morrison (2007) state that data analysis of qualitative research is a process of categorization, description, and synthesis data in a form of participations' definition. In analyzing the data, the researcher would present the result of the observation checklist, field note and questionnaire during three meetings. The results of observation checklist were analyzed based on the class condition and responses of the data students. The researcher would observe the teaching and learning process during three meetings. The results of the field notes are used to support and explore the data from the observation checklist and questionnaire. The results of the questionnaire are analyzed by dividing number of comments of each item with the total number of students then are multiplied with a hundred percent. RESULTS AND DISCUSSION Result The Result of the Observation Checklist and Field Note: Observation Day I The first observation was conducted on Wednesday, July 24th, 2013. It was Ramadan Month. Most of students who were Muslims were fasting that is why the learning activity in class was shorter than in regular days. It was 2 X 30 minutes for each meeting. The class was begun at 6.30 AM. Right at that time the observer together with all students entered the class. The observer took a seat at the back row in order to be able to take a note of the class situation during the class activity. The students were so crowded. They were so busy talking each other. At 6.35 AM the teacher came and asked all students to take their seat before the lesson began. In the very first time teacher asked one of the students to lead their praying before starting the lesson. This was the conversation that occurred in the beginning of the class: Dialogue I T : Halo guys, good morning S : Good morning sir, T : Ayo semuanya kembali ke tempat duduk masing2 yaa Ayo, rafa pimpin doa S : Before we start let's pray together Than all students pray S : Finish! After praying, teacher checked the students' attendance list by calling their names. At the beginning of the lesson, teacher reminded his students about the previous meeting. Their previous meeting was about reading procedural text. Teacher gave them short review about the previous meeting. Teacher asked students some questions about their previous meeting to stimulate students' memory about previous material and to give them chance to speak when they answered the question. Dialogue II T : Ok students, know I want to check do you still remember about procedure text? S : Yes sir ( they answer in a choir) T : All right students, raise your hand please. (Some students raise their hands) Yes, andika please S : Procedure text is text tell we about doing and making pak T : Oh good, any other answer? Yana, please yana S : Same sir, text telling us to make or doing thing T : Yes, good. Procedure text is a text that tells us about doing or making something. Very good. What about the generic structure? Anybody knows? (Students answer in choir and the class become crowded) Teacher chose one students to answer his question S : Title, ingredients, steps T : All right good, the other? Teacher point other student S : Same with sir, the title, the tool and ingredients and the steps T : Ok, very good, it seems you understand about procedural text, jadi sekarang kita akan mulai ke speaking, apa speaking itu? S : Ngomong paaak ( together) In this point teacher had succeed to remind his students about the previous meeting's material which was still related to today material. It also gives them chance to start speaking in answering some questions from the teacher which was as the warming up before they start to the main activity, speaking procedure. The next thing which was done by the teacher was telling his students about what they were going to do that day. Moreover teacher gave them example about their activity today. Teacher also asked his students to help him in doing the example of their main activity which was gap information activity. Dialogue III T : Oke anak anak, sekarang kita akan belajar speaking procedure text sambil main game, S : Horeee ( the class become crowded) T Nama gamenya adalah Gap Information. Dan dimainkan berdua dengan teman sebangku kalian yaa. Here I have the steps make instant noodle but it is not complete information it is only picture. Ayo latihan dulu sebelum main, mari kita lengkapi sama sama informasi how to make instant noodle Then the teacher sticks the incomplete text of how to make instant noodle to the whiteboard and ask the students to complete it together. T : OK, bangku sebelah sini, apa step number one? S : Masak airnya sir, T : Yes, come on in English please S : Boil the water T : Ok, good. Come on next row S : Keluarkan the noodle from its kemasan sir and then put in to the boiling water T : Ayo open your dictionary S : Take it of the package T : Ok, good, what's next? S : Mix the flavor T : All right, and then? S : Mix the flavor with the noodle, and it's ready to serve T : All right, you all are very good. Nah nanti kalian kerjakan sepert tadi ya, saling melengkapi dengan temen sebangku kalian masing-masing. Remember, always speak English because I will watch all of you. Ok students? S : yes sir After giving the students example about the activity, teacher gave his students the worksheet. The worksheet was a procedure text about how to serve a simple diner. Each student received a text with the same title but had different information. One student had the information which his bench friend did not have. The teacher asked them to complete their worksheet by asking to their bench friend. After that he walked around the class to watch and help his students. In the other side students were being so busy completing their worksheet. They did the gap information activity like what their teacher did. They asked their bench friend about the information they need to complete their worksheet. The conversation occured among the students during the main activity. They tried to speak English bravely and confidently to their friend. The atmosphere in the class was good enough and conducive that support students to speak English. Here are the examples of the students' conversation. The examples of the conversation bellow were taken from several pairs of students in class: Dialogue IV S1 : What is the first ingredient? S2 : The first ingredient is water. S1 : OK, what is next? S2 : Akuuu. . . S1 : Oh,OK yes please. Dialogue V S3 : What is the second ingredient? S4 : The second ingredient is meatball S3 : Oke I get it. S4 : Next, what is the third? S3 : The ingredient number three is noodle S4 : Ok, its hamper lengkap S3 : What is next? S4 : Next ingredient is chili flavor. Now, what is the last ingredient? S3 : The last ingredient is salt. S4 : Ok, now it is complete. . Dialogue IV and dialogue V were the script of conversation that occurred from two different groups in the class during the activity of gap information. They participate very well and actively speak with their partners to complete the information of what ingredients they needed to serve a simple dinner. The similar conversation also occurred in the other pairs during the activity. They kept speaking actively during the gap information activity. The examples below were the conversation that occurred when some students were completing the steps of how to serve a simple diner. Dialogue VI S1 : The first step, Boil the water for ten minutes. S2 : Thank you S1 : Come on, next! S2 : Next is put in the meatball to the boiling water. Dialogue VII S1 : What is the step number three? S2 : Take the meatball, then put in the noodle to the water S1 : Ok, after that when the noodle masak, what is masak? S2 : Sir, masak bahasa inggrisnya apa sir? T : Just say being cooked, pake tobe ya. Is being cooked S1 : Thank you, Sir. Ok. When the noodle is being cooked put in the salt and mix it S2 : Ok, next step. Put in the chili flavor and mix it. S1 : Yes, after that put in the meatball and wait for three minutes. S2 : Then the food is ready. All students conducted the similar conversation with the examples above during the gap information activity. In the other side the teacher kept watching and guiding his students during the activity. The student centre activity like what happened in this class really gave much time to students to speak and express their English during the lesson. They did not need to be afraid of making mistake or asking because they had supporting environments to learn and practice to speak English. Besides, the teacher was always ready to help them if they had some difficulties or questions. After doing the gap information activity teacher asked all students to check their worksheet. At last teacher asked the students randomly to deliver the step how to serve a simple diner to the class. Teacher chose two students to speak in front of the class. Those lucky students are Suci and Ramdan. They did it well although grammatically they still made some mistake. In the end of class activity teacher asked his students to review what they had done that day. After that, the teacher asked students to make group of 6 that would be used in the next meeting. Teacher also gave students some assignment to find a procedural text for each group. And finaly teacher asked the captain of the class to lead his friends prayed before they went home. The Result of the Observation Checklist and Field Note: Observation Day II The observation day II was conducted on Friday, July 26th,2013. This observation was also conducted in 2 X 30 minutes. It was the same with the day I, the class also began at 6.30 AM. All students and the researcher entered the class right at 6.30 AM. Same with day I, the observer took seat in the back row in order to be able to watch the whole class. For about ten minutes after all students entered the class, teacher entered the class and greeted his students. After greeting and having little conversation with the students, he checked the attendance by calling the students' name on by one. Next, he asked the students to sit with their group that they had made. After all students sit with their group, he asked the captain of the class to lead their friend prayed before starting the lesson. After that, teacher reviewed their previous meeting. The following was the dialogue between teacher and students in the beginning of the lesson. Dialogue VIII : T : Ok students, how are you all? S : Fine, Sir. T : Good, before we continue the lesson, I want all of you to sit with your group. S : (Students move to sit with their group) T : All right, good. Now before we start the lesson. Raffa, ayo pimpin doa S : Before we start, let's pray together. (Everybody starts praying) Finish! T : Well students. now, I want to check. Who still remember about our class meeting (students answer in a choir, it makes the class crowded) T : Silent please, ayo dibiasakan raise your hand. Jangan keroyokan Yes, Lita please S : Learn about procedure text sir, play gap information how to serve simple dinner. T : Very good. Gitu dong, ngacung dulu kalo mau jawab. OK, now who still remember the generic structure of procedure text? Yes, anang, please S : The title, ingredients and steps sir. T : That's good. I think You all still remember everything. Now it is time to submit your task. Ayo ketua kelompoknya maju kumpulkan tugas yang bapak kasih kemarin. This review was very useful as the warm up for the students before they continued to the main activity. Moreover, by remembering what they did in the previous meeting, it would make students be ready to receive material of the lesson that day. In this point, teacher also asked students some questions to make them speak, this was done to create English atmosphere in the class. However, when students had supporting environment they would participate well to the whole activity during the lesson. The next activity which was carried out by the teacher was another gap information activity. Different with the previous meeting, it was conducted in group not in pair. Students would do the activity with their group. It applied the basic concept of gap information activity where one of the group members had the information while the others did not have. Those who had the information should tell his friends what information he had to complete the worksheet was given by the teacher. Since the activity that day was different with the previous meeting. Teacher gave them example how to do the activity. He asked some students who were the representative from each group to come forward and help him gave an example to their friends. Before teacher started the example he stuck a passage of how to make meatball to the white board. After that all students who came forward was asked to gather as a group. Then he asked one of the members to read the text in the white board and remember it. Later when that students came back to the group he would tell the group what he had read and all members of the group will take a note of what their friend told them. Every single member of the group would have their own turn to read the passage and tell his group about the information that he read. In the end the group should collect all the information and complete the work sheet as the perfect procedure text. The dialogues bellow were some conversations that occurred when the teacher was giving the example. Dialogue IX : T : Well students, now we will do another gap information activity. S : Horeee ( students yelling together) T : We will do this activity in group. Does everybody have the group? S : Yes, Sir! T : Ok very good. I will give you example, but I need some students to help me. Ayo masing masing kelompok kirim satu orang untuk maju. How many groups is in here? S : Six groups, Sir T : OK. Sekarang bapak dan teman teman kalian akan memberi contoh bagaimana kita nanti akan melakukan gap informationnya. Well, here I have a passage of how to make meatballs. I will stick this passage to the whiteboard. Nah, sekarang. One of you read one sentence of this passage and tell your group. Come on do it. S : One student walks toward the whiteboard to read the text and then tell his friends what he just red. T : Nah sudah, gantian. Diikuti yang lain. Begitu seterusnya, urutan sampai teksnya selesai. Is it clear students? S : yes sir. After the example was given, the main activity, gap information, was started. On the white board there were three passages of procedure text. Text number one was how to make egg and lemon soup, text number two was how to make milkshake and text number three was how to make tomato soup. Group one and five were asked to do text number one, group two and four were asked to do text number two while group three and six got text number three. After listening to all instructions and getting their job, each group started doing the task. Every student was so busy completing the worksheet which had been given by the teacher. When completing the task some conversation occurred among students. The following dialogue was the example of conversation that occurred among students. Dialogue X S1 : The title is how to make egg and lemon soup. To make egg and lemon soup you need all these ingredients. (While one of the group member was saying the sentences, the other group members were taking note in their paper. Then after the first member finish, the next member immediately went to the whiteboard to get next information) S2 : Number one. Three pints chicken stock. Number two juices of two lemons. S3 : Number three salt and pepper. Number four, four eggs well beaten. The conversation above was the example of the dialogue when students in group one completing the ingredients of the procedure text. The similar conversation and situation also happened is the other group. The following was the dialogue of group six. Dialogue XI S1 : Number four, a half teaspoon of salt. Number five eight cups of water. S2 : Number six, one per four teaspoon of pepper. Number seven small clove of garlic S3 : The last ingredient is one pr four teaspoon of butter. In completing the next part of procedure text, the steps, students took longer time because the sentences were longer than in ingredients. However they still actively took part in the activity to complete their worksheet. The dialogue below was the example of conversation in group four when they were doing the steps of how to make milkshake. Dialogue XII S1 : Now follow these steps to make a milkshake S2 : Number one, place milkshake glasses into the freezer. S3 : Number two take the ice cream from the freezer before you. . . I forget, wait. (She went back to the whiteboard to read the text.) From the freezer before your shake. S4 : Number three, mix the ice cream, milk and added flavors into blender for one minute. S5 : Number four, pour shakes into the frosty glasses. Take the milkshake glasses out of the freezer, then pour the shake mixture in. S6 : Drop a straw into the shake, then enjoy The last thing that students needed to do after they had completed the ingredients and steps was collecting all those information and write it to the worksheet. Directly after it was completed, they submitted their worksheet to the teacher. In thirty minutes all groups had finished their work. Then, teacher asked one student of each groups to read their worksheet in front of the class. in the end of activity teacher asked the students to review what they had done that day. After that the captain of the class led their friend to pray. Before the class dismissed teacher greeted his students and the class was over. The Result of the Questionnaire The result of the questionnaire was used to find out the students' responses during the implementation of gap information activity in teaching speaking procedure text. The questionnaire consisted of fourteen statements in the form of multiple choices. After classifying the result of the questionnaire, each opinion was calculated by dividing number of comments of each item with the total number of students then was multiplied with a hundred percent. The Students' Opinion About the Teacher's Role The result of the questionnaire showed that teacher really had good skill in teaching. More than seventy percent students said that they can easily follow his teaching way. Moreover most of students said that they understood what their teacher taught them. It was proved by more than seventy five percent students choose "understand" for the statement "do you understand what your teacher has taught you?". Teacher also gave much time for students to take their role during the learning activity. More than eighty percent students said that teacher did not dominate the class activity. Most of students in that class also said that their teacher often gave them explanation for something they did not understand well. As well as more than eighty percent students agreed that their teacher also often asked them to deliver their idea or opinion during the class activity The Students' Opinion About the Material Based on the sixth statement of the questionnaire, the text that was given by the teacher was quite easy to catch by students. More then half students in the class also agreed that the topic of the text was interesting enough for them. Moreover most of the students said that the material from the teacher increased their motivation to practice speaking English. However, students still found some difficult words in the text that was given by teacher as the material in during lesson activity. The Students' Opinion About the Technique Students also gave their opinion relating with the activity conducted by the teacher. More than seventy percents of the students agreed that the activity was interesting for them. Teacher also gave quite clear explanation to the students about the procedure to do the activity. Most of the students also said that the activity increased their knowledge about the procedure text. They strongly agreed that gap information activity had motivated them well to speak English with their friend during the lesson. Moreover most of the students said that the activity was easy to do. Discussion The Implementation of Gap Information Activity to Teach Speaking Procedure Text to Ninth Graders In this chapter, the researcher would answer the first question of the research question. It was how the implementation of gap information activity to teach speaking procedure text to ninth graders is. The implementation of the gap information activity could be seen in the result of observation checklist and field note. In the first meeting the teacher began the meeting with reviewing their previous meeting. It was about the procedural text. The teacher explained about its generic structure and its aim. He also gave the example of the procedure text to the students. Afterward he explained to the students about the activity, gap information. Then, he continued giving them example how to do it. He asked the students to do the example together to stimulate them to speak as the warm up. After that he guided his students to conduct the main activity, gap information activity. In the first day, the activity of gap information was conducted in pair work. It was because the pair work was simple to do since the students had never done the gap information before. In the second day it was conducted in group work. The teacher let the students make the group of six by them self. During the main activity both in day I and day II the teacher walked around the class and kept his eyes on the students while the students were working with their partners. Sometimes he helped the students translating the difficult words. In the end of the lesson teacher asked some students to deliver their work in front of the class and discussed it together. The way of teacher conducted the lesson above showed that he gave much time to the students to practice their English. Klancar (2006) the opportunity of speaking will affect to the speaking ability. The more of speaking the learners get, the better they will become. The point was done during the teacher conduct the lesson. Before doing the main activity he gave students chance to speak while they were doing the example of gap information activity. Before, he also gave students chance to speak while reviewing the previous meeting. The gap information activity which was applied by teacher in class was suitable with Murray (2006). However, he modified the system according to the situation in the class. In the preparation the teacher preferred to make the worksheet by himself than collect the information from the students. The rest of the procedure was similar with what Murray suggested. He divided the students into small group (pair group in day I and bigger group in day II). Then he gave them the worksheet and asked them to complete the worksheet by trading the information they had with their friends. During the main activity, students actively spoke with their friends to complete the task. It was truly like what Harmer (2007) states that the idea of gap information activity as organizing concept for speaking is that one person has the information that another lacks. They have to speak English to share the information in order to accomplish the task. As the time ran out, he asked his students to deliver their work in front of the class. While a group was delivering their work, teacher was doing correction to it. Moreover the implementation of gap information activity really had helped teacher to attract students' attention. It
Health is recognized internationally as one of the human rights that needs to be upheld, as well as in the laws of the State of Indonesia. Health services are provided to all Indonesian citizens as a mandate from the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The doctor as one of the parties providing health services to the patient has responsibilities and obligations that he must fulfill to the patient, where the patient's expectation of the health services provided by the doctor is that the patient gets healing as there is a therapeutic agreement agreed between the patient and the doctor. But sometimes there are some conditions that result in the results of health services provided by doctors to patients not in accordance or far from what has been expected by both parties, where it can be called a medical risk, and those that occur due to medical negligence, but both - both have 2 (two) different consequences, so in this study will discuss the comparison between medical negligence with medical risks. This research has 2 (two) formulations of the problem, namely: (1) How is the determination of the doctor's medical action as a medical negligence or medical risk ?; and (2) How is the comparative analysis between medical negligence and medical risk ?. The research method used is juridical-normative legal research, with the support of secondary data consisting of: (1) primary legal material: the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Criminal Code (KUHP), Universal Declaration of Human Rights, Law No. 36 of 2009 concerning Health, Law No. 29 of 2004 concerning Medical Practice, and Government Regulation No. 290 / MENKES / PER / III / 2008 concerning Approval of Medical Measures; (2) secondary legal materials: health law textbooks, and health law journals; and (3) tertiary legal material: Language dictionaries and terms. Kesehatan diakui di dunia internasional sebagai salah satu dari Hak Asasi Manusia yang perlu dijunjung tinggi, begitupula dalam hukum Negara Indonesia. Pelayanan kesehatan diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dokter sebagai salah satu Pihak yang memberikan pelayanan kesehatan kepada Pasien memiliki tanggungjawab serta kewajiban yang harus ia penuhi terhadap Pasien, dimana harapan Pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Dokter adalah Pasien memperoleh kesembuhan sebagaimana adanya perjanjian terapeutik yang disepakati diantara Pasien dengan Dokter. Namun adakalanya terdapat adanya beberapa kondisi yang mengakibatkan hasil pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Dokter kepada Pasien tidak sesuai atau jauh dari apa yang telah diharapkan oleh kedua belah Pihak, dimana hal tersebut dapat disebut sebagai risiko medis, dan adapula yang terjadi akibat kelalaian medis, namun kedua-duanya memiliki 2 (dua) konsekuensi yang berbeda, sehingga dalam penelitian ini akan membahas mengenai perbandingan antara kelalaian medis dengan resiko medis. Penelitian ini memiliki 2 (dua) rumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana penentuan tindakan medis dokter sebagai suatu kelalaian medis atau resiko medis?; dan (2) Bagaimana analisis perbandingan antara kelalaian medis dengan resiko medis?. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis-normatif, dengan dukungan data sekunder yang terdiri dari: (1) bahan hukum primer: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Universal Declaration of Human Rights, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Pemerintah No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran; (2) bahan hukum sekunder: buku teks hukum kesehatan, dan jurnal hukum kesehatan; dan (3) bahan hukum tersier: kamus Bahasa dan istilah.
Reading is one of the most fundamental skills a child needs to learn to succeed in life. Developing good reading habits is vital to your child's future not just academically, but in everyday life as well. It is responsible of all parties, parents, school and government or child care observer in improving the ability children's reading. In the other hand, there are large number of children's story books which are labeled according to the age and level of the child's own development, but in fact incompatible with their age. The children's story books in the form of short stories, novels or comics are dominated by foreign markets such as Walt Disney series, Japan comics series , and many more. This is one of the reasons why the theme of this study is selected. Children need to be given reading materials that are appropriate with their age and closed to their tradition so young learners have a responsibility towards the surrounding environment and they also grow their love for the region they live in. One of the best resources for reading material is story book based on oral story of local tradition. The purpose of this research is to develop the oral story of local tradition from Samiran village, Selo sub-district, Central Java to supporting the literacy program especially in reading. The research applied was Research and Development and located in Samiran village Central Java. The subjects of this study was 20 children in Pertiwi Kindergarten Samiran, level Kindergarten B at the aged of 5 – 6 year. Keywords: children's story book; oral story of local tradition; literacy programReferencesA, T. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Dunia Pustaka Jaya.Amirrachman, A. (2007). Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commision. 2007.Danandjaja. (2005). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng dan lain-lainnya [Indonesian Folklore: The study on gossip, fairy tale, and others]. Jakarta, Graffiti. Graffiti, Jakarta, 2005.Finnegan, R. (1992). Oral Tradition and the Verbal Art: A Guide to Research Practice. London: Routledge. Routledge,London, 1992.Imroatun, I. (2018). Alternatif Media Pengembangan Literasi Baca Tulis Berbahasa Nasional Bagi Siswa Raudlatul Athfal. Al Hikmah Proceedings on Islamic Early Childhood Education, 103–112.Imroatun, I. (2017). Media Belajar Bigbook Bagi Pengembangan Baca Nyaring Anak Usia Dini. Prosiding Seminar Nasional Pembelajaran Baca, Tulis, Dan Hitung Tingkat Permulaan Bagi Anak Usia Dini, 119–127.Kurniawan, H. (2018). Pengembangan Lingkungan Belajar Literasi Untuk Anak Usia Dini. Aṣ-Ṣibyān: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(1), 45–56. http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/assibyan/article/view/1352Ma'isyah, N. (2018). Pengembangan Modul Membaca Lancar Pokok Bahasan Lingkungan Yang Bernuansa Kontekstual. Aṣ-Ṣibyān: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(2), 137–146. Mawadah, A. H. (2018). Pemanfaatan Big Book Sebagai Media Literasi Anak Usia Dini. Aṣ-Ṣibyān: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), 57–72. Mufid, A. S. (2010). Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat. Harmoni - Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. IX No. 34. IX(34), 2010.Prihantoro, A., & Hidayat, F. (2019). Melakukan Penelitian Tindakan Kelas. Ulumuddin : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 9(1), 49–60. Rahmawati, E. (2016). How Children Learn A Foreign Language, A Literature Study on Teaching English to Young Learners. Aṣ-Ṣibyān: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(2), 119–125. Rosenberg, B. A. T. (1987). The complexity of oral tradition. Oral Tradition. Tetrahedron Letters, 28(44), 5241–5244.