ABSTRACT Evidence of taking sides with gender mainstreaming gives women the right to have equality and no longer be in situations of injustice, one of which is the role and participation in empowerment programs as an effort to achieve equality, equality and justice in domestic life. The purpose of this study was to determine the influence and characteristics of women, the role of women in the family and in women's empowerment programs to contribute to meeting household needs. Using quantitative data supported by qualitative data by conducting a survey by distributing questionnaires to female heads of household from three sub-districts in Palopo city involving 50 respondents. Quantitative data were processed using SPSS for windows. The regression test is intended to see the impact of the role of women who are involved in community empowerment programs in contributing to the economic contribution of the family. The results of this study indicate that there is no significant effect seen from the characteristics of the respondents involved in the empowerment program for female heads of household. Qualitative data confirms, although not directly, the empowerment program for women heads of household has succeeded in providing opportunities for women to earn additional income for their families. Keywords: Empowerment of women, women heads of families, gender mainstreaming, empowerment programs.ABSTRAKBukti keberpihakan pada pengarusutamaan gender memberikan hak pada perempuan untuk memiliki kesetaraan dan tidak lagi dalam situasi ketidakadilan, salah satunya peran dan partisispasi dalam program pemberdayaan sebagai upaya mencapai kesetaraan, kesederajatan dan keadilan dalam kehidupan rumah tangga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh dan karakteristik perempuan, peran perempuan dalam keluarga dan dalam program pemberdayaan perempuan terhadap kontribusi pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menggunakan data kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif dengan melakukan survey dengan membagikan kuesioner terhadap perempuan kepala keluarga dari tiga kecamatan di kota Palopo yang melibatkan 50 responden. Data kuantitatif diolah dengan SPSS for windows. Uji regresi ditujukan untuk melihat dampak dari peran perempuan yang terlibat pada program pemberdayaan masyarakat dalam berkontribusi pada sumbangan ekonomi keluarga. Hasil penelitian ini, menunjukan tidak terdapat pengaruh nyata dilihat dari karakteristik responden yang terlibat pada program pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Data kualitatif mengkonfirmasi meskipun tidak secara langsung, program pemberdayaan perempuan kepala keluarga berhasil memberikan kesempatan pada perempuan untuk memperoleh penghasilan tambahan bagi keluarga. Kata Kunci: Pemberdayaan perempuan, perempuan kepala keluarga, pengarusutamaan gender, Program pemberdayaan . DAFTAR PUSTAKA [1] Arifin, H. 2003. Perempuan, Kemiskinan Dan Pengambilan Keputusan. Jurnal Analisis sosial, 8(2). [2] Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan: Perubahan sosial Melalui Pembelajaran Vocational Skills pada Keluarga Nelayan. Bandung: Penerbit Alfabeta. [3] Baroroh K. 2009. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Pemberdayaan Perempuan Melalui Pelatihan Life Skill(Studi Kasus di Lembaga Advokasi Pendidikan Indonesia Yogyakarta). Jurnal Dimensia. 3 (1), 19-51. [4] [BPS] 2014. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dapat diakses melalui www.bps.go.id [5] Elizabeth R. 2007. Pemberdayaan Wanita Mendukung Strategi Gender Mainstreaming dalam Kebijakan Pembangunan Pertanian di Perdesaan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. 25(2), 126-135. [6] Handayani, Artini. 2009. Kontribusi Pendapatan Ibu Rumah Tangga Pembuat Makanan Olahan terhadap Pendapatan Keluarga. Jurnal Piramida. V(1). [7] Handayani, Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. [8] Haryanto. 2008. Peran Aktif Wanita dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Miskin : Studi Kasus pada Wanita Pemecah Batu di Pucanganak Kecamatan Tugu Trenggalek. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 9(2), 216-227. [9] Hubeis AVS . 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press.[10] Ihromi TO. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.[11] Irfarinda M. 2015. Kontribusi Perempuan dalam Ekonomi Rumahtangga Pedesaaan. [Skripsi]. IPB: Institut Pertanian Bogor.[12] Isna A, Firdaus S. 2004. Prospek Pemberdayaan Perempuan di Desa Tumiyang Kabupaten Banyuman (Studi Evaluasi Implementasi Program P2MD). Jurnal Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Politik FISP Unsoed.[13] Mosse J. 2002. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar[14] Muslikhati S. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta[ID]: Gema Insani Press.[15] Mustika, W. 2016. Peran Perempuan dalam Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pengaruhnya Terhadap Sumbangan Ekonomi Keluarga. Makalah Kolokium, 2(3).[16] Pratama. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemberdayaan Perempuan Desa Joho di Lereng gunung Wilis. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik 1 (1)[17] Prastiwi, Sumarti. 2012. Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan CSR di Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal PT. Holcim Indonesia, Tbk. Sodality, jurnal sosiologi pedesaan.[18] Ratnawati S. 2011. Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Perdesaan Melalui Pengembangan Kewirausahaan. Jurnal Kewirausahaan 5 (2), 1-10.[19] Sajogyo P. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta : CV Rajawali [20] Sihite R. 2007. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada[21] Suharto. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.[22] Suman A. 2007. Pemberdayaan Perempuan, Kredit Mikro, dan Kemiskinan : Sebuah Studi Empiris. Jurnal Ekonomi Manajemen Universitas Kristen Petra. (9)1, 62-72.[23] Tjondronegoro. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. Editor : Soeryo Adiwibowo, Melanie A. Sunito, Lala M. Kolopaking. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB.[24] http://www.palopokota.go.id/blog/page/satuan-kerja-perangkat-daerah
This article aims to explain how the contestation of social spaces in the lives of the plural society at Lasem it processes dynamically. It is a pattern of space contestation that leads to the affirmation and strengthening of identity or a pattern that leads to the fusion of identities. As a consequence, the first pattern creates social friction or conflict. On the contrary, the second pattern is directed towards acculturation and assimilation of culture which can strengthen social harmony. The important finding of this research is that it can be known the real issue, so that problems related to all parties can be found a solution as well as a resolution. This research also proves that social mechanism preparedness is considered urgent to prevent negative excesses (negative things) from the space contestation. So the space contestation that occurs dynamically proves that the plural society in Lasem has found a valuable experience, namely social resilience in facing all possible emergence of social disintegration.Keywords: contestation, space, social mechanisms and an plural society REFERENCE: Abercrombie, Nicholas, at.all., 2010. Kamus Sosiologi, Terj. Dwi Agus M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Adhyanggono, GM. ad.all., 2009. Budaya Tionghoa Lasem Dalam Peta Tata Pemukiman, Tradisi, Peran Dan Relasi Gender, dalam Angelina Ika Rahutami (Peny.), "Kekuatan Lokal Sebagai Roh Pembangunan Jawa Tengah", Semarang: UNIKA Soegijapranata. Amirudin, 2017. Multikulturalisme dalam Produksi Budaya Seni Batik di Lasem, dalam; "60 Tahun Antropologi Indonesia; Refleksi Kontribusi Antropologi untuk Indonesia", Jakarta; Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi FISIP UI, 2017. Atabik, Ahmad, 2016. Percampuran Budaya Jawa dan Cina: Harmoni dan Toleransi Beragama Masyarakat Lasem, Jurnal: Sabda, Volume 11, Tahun 2016, pp. 1–11. Azra, Azyumardi, 2011. Nasionalisme, Etnisitas, Dan Agama di Indonesia: Perspektif Islam Dan Ketahanan Budaya, dalam Thung Ju Lan dan M. Azzam Manan (Ed.), "Nasionalisme Dan Ketahanan Budaya di Indonesia", Jakarta: LIPI & Yayasan Obor Indonesia. BPS. 2012. Data Monografi Kecamatan Lasem Semester II Tahun 2012, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS. 2017. Data UPT Pendidikan Kabupaten Rembang Tahun 2017, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS Rembang, 2017. Lasem Dalam Angka Tahun 2017, Rembang: Pemkab. Rembang. BPS Rembang, 2018. Lasem Dalam Angka Tahun 2018, Rembang: Pemkab. Rembang. Daradjati, 2013. Geger Pacinan 1740–1743: Persekutuan Tionghoa – Jawa Melawan VOC, Jakarta: Kompas. Hardiman, F. Budi, 2002 "Belajar dari Politik Multikulturalisme", pengantar Will Kymlicka, "Kewargaan Kultural", Jakarta: LP3ES, 2002. Hartono, Samuel & Handinoto, Lasem: Kota Kuno Di Pantai Utara Jawa Yang Bernuasa Cina, artikel dalam: http://fportfolio. petra.ac.id/user_files/81-005/LASEM.pdf, diunduh pada tanggal 02 Agustus 2018, pukul: 14.23 wib. Hefner, Robert, W., 2001, The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, Honolulu: University of Hawai Press. Jary, David & Jary, Yulia, 1991. Collins Dictionary of Sociology, London: Harper Collins Publishers. Khamzah, R.P. 1858. Cerita (Sejarah) Lasem, Katurun/Kajiplak Dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, Rumpakanipun Mpu Santribadra Nurhajarini, Dwi Ratna, ad.all. 2015. Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga – Sekarang), Yogyakarta: BPNB-Yogyakarta. Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008. Parekh, Bhikhu, 2012. Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, diterjemahkan dari "Rethingking Multiculturalism, Cuktural Diversity dan Political Theory", Yogyakarta: Kanisius. Pemkab. Rembang, 2012. Monografi Kecamatan Lasem Tahun 2012. Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Konterporer, Jakarta: Rajawali Press. Purdey, Jemma, 2013. Kekerasan Anti Tionghoa Di Indonesia 1996–1999, Denpasar: Pustaka Larasan. Putra. Ade Yustirandy dan Sartini, 2016. Batik Lasem Sebagai Simbul Akulturasi Nilai-nilai Budaya Jawa-Cina, dalam; Jurnal Jantra Vol. 11, No. 2, Desember 2016. Ritzer, George & Goodman, Douglas J., 2011. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media. Saifullah, Ahmad 2008. Makna Spiritual Arsitektur Masjid, paparan makalah SITI Angkatan Ke-4, dipresentasikan pada Kamis, 17 Juli 2008, Tidak Diterbitkan. Slattery, Martin, 2003. Key Ideas in Sociology, Delta Place Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Soekanto, Soejono. 1985. Karifan Masyarakat Dalam Penegolaan Kseserasian Sosial Ditinjau Dari Segi Hukum, dalam Majalah Bulanan Tahun VII, edisi No. 11/Agustus 1985, pp. 824-830. Suaedy, Ahmad, 2018. Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999–2001, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suryadinata, Leo, 2003. Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme", Jurnal Antropologi Indonesia, Nomor: 71, Tahun 2003. Suryadinata, Leo, 2010. Akhirya Diakui Agama Konghucu dan Agama Budha di Pasca-Suharto, dalam, "Setelah Air Mata Kering" (Ed. I. Wibowo & Thung Ju Lan), Jakarta: Gramedia. Slattery, Martin, 2003. Key Ideas in Sociology, Delta Place Cheltenham: Nelson Thomas Ltd. Tan, Charlene, 2014. Educative Tradition and Islamic Schools in Indonesia, Nanyang Technological University, Singapore. Journal of Arabic and Islamic Studies-14 (2014). Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. Tim Peneliti, "Laporan Survei Nasional": Kerjasama Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia dan UN Women, Januari 2018. Turner, Jonathan H. dan Alexandra Maryanski, 2010. Fungsionalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Unjiya, M. Akrom, 2008. "Lasem Negeri Dampo Awang: Sejarah Yang Terlupakan", Yogyakarta: Fokmas, Veeger, K.J., 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia. Wallace, Ruth A. dan Wolf, Alison, 2006. Contemporary Sociological Theory: Expanding The Classical Tradition, -6th ed., Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Wiroutomo, Paulus, 2012. Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep, dalam Paulus Wiroutomo, ad.all., "Sistem Sosial Indonesia", Jakarta: UI Press & Lab-Sosio. Sumber Internet Surat Kabar Harian "Kompas", edisi; 15 Pebruari 2014. Surat Kabar Harian "Suara Merdeka", edisi: 23 Oktober 2019. "Said Aqil Singgung Sentimen Agama dan 212 di Depan Anies", sumber; https://www.cnnindo nesia.com/nasional/20191022212949-20-441966/said-aqil-sing gung-sentimen-agama-dan-212-di-depan-anies, diunduh pada tanggal 23 Oktober 2019. Pukul:07.43 wib.
This paper considers the frequent discrepancies between theory and practice in Third World urban development programmes. Drawing upon three Southeast Asian case studies (the Philippines, Thailand and Indonesia), it highlights the importance of understanding the challenges posed for sustainable urban development by current processes of urbanization, democratization, decentralization and economic liberalization. Urbanization in Southeast Asian countries is extremely complex and fluid, raising difficult social, as well infrastructural and financial, questions. Very different groups of people must be drawn into a common planning process. Furthermore, complex relations between cities and their hinterlands must be taken into account. Decentralization and democratization serve to complicate the picture. In most cases, local and regional institutions are ill-prepared to meet the new responsibilities implicit in decentralization, and central governments are reluctant to give up their power over lower level authorities. Effective democratization of decision making is also hampered by local political structures hostile to participation. In some cases, however, democracy is growing, and potentially serves as a focus for sustainable development planning and management. The paper questions the poverty alleviation powers of economic liberalization. It points out that neo-liberal policies undermine development efforts by weakening government responsibility in key areas of public concern. In addition, free-market reforms lack environmental sensitivity and encourage deep splits within communities, as income gaps grow larger. The experience of the Philippines provides insight into these issues. Rapid urbanization and a high incidence of poverty, combined with sub-optimal urban management, have lead to problems with water provision and pollution. For the poor, deeply embedded legal problems of land tenure constitute a key concern. The administrative structure of the Philippines, where legislation has encouraged decentralization of powers and resources to the municipal and community levels, has the potential to facilitate the implementation of sustainable development initiatives. However, the continuing strength of powerful local bosses blocks many efforts to address the needs of the poor and to consider paths to sustainable urban development. The development of physical infrastructure tends to be granted priority over smaller participatory community projects. Thailand is the least urbanized of the three case countries, and urban poverty is less prominent than in the Philippines or Indonesia. Urban water supply is generally good, but industrial waste, pollution, land tenure and access to services are serious problems. Although the aim of sustainable development features in Thai economic and social policies, and some headway has been made in the environmental sector, there is virtually no progress towards this goal at the local level. The new Thai constitution provides for strengthening of local government; but, with the exception of strong private sector involvement, participatory forms of local planning required by the constitution are slow in materializing. In part, this is because of the overarching powers of the Ministry of Interior, which is determined to maintain its control over local affairs. It is also because structures of political patronage slow the devolution of power from central to lower levels. NGO and community representation in local development processes is relatively weak and a long-term vision for local level development is absent. Although some highly structured urban development programmes have been implemented over the past few years in Indonesia, urbanization is still uncontrolled, predominantly informal and characterized by high poverty incidence-especially following the collapse of the economy after July 1997. As in the Philippines, environmental pollution and land tenure problems are serious. But continued economic crisis dominates the policy agenda, and sustainable development planning remains weak at the local level. Post-Suharto-era legislation could allow Indonesia to do better than Thailand in terms of decentralization, but the current fluidity of the legal situation can work against, as well as for, sustainable development initiatives. Immediately following the collapse of authoritarian government, the co-operation of local level groups in consultative processes was limited by their fear of government co-optation. More recently, however, there are some signs that NGOs and community groups are engaging more effectively with recently elected councils and the municipal machinery. The concluding section of the paper draws attention to the role that may be played in sustainable development initiatives by the new urban middle class of Southeast Asia. The collapse of authoritarianism has brought to the fore aspirations for a greater say in political processes. However, the dominant economic model is also breeding more divided societies. Two distinct kinds of local development initiatives are emerging. On one hand, poor communities are being assisted by international development agencies, local governments and NGOs to improve their quality of life. On the other, middle class groups are organizing to improve the way that local governments are run. Yet these initiatives are not enough in themselves to overcome the deep divisions in these societies and to promote sustainable human development. Furthermore, this situation supports the survival of local patronage politics, which in turn militates against the success of any broader movement towards significant improvement in the processes of urban development. Democratization has opened up spaces for progressive forces for change. In such a context, international development agencies can increase their support for community organizations-not only to promote self-help initiatives, but also to strengthen their voice in local political processes. It is also necessary to provide simultaneous support at the level of the municipality. Too often, however, external support has been given on a short-term basis and targeted to local level interventions. So far there has been relatively little support for integrated urban programmes. Furthermore in the current climate of economic and social crisis, considerations of sustainable development can too easily be pushed into the background. External agencies need to focus attention on how to organize and operate such programmes and to commit themselves to longer term and more flexible interventions that are effective in rapidly changing conditions. More thought should also be given to the national level context that would ensure that local level activities make genuine progress. Such support includes reinforcement of the decentralization process-and also devising defences against the social and environmental effects of neo-liberal policies.
In: Der Überblick: Zeitschrift für ökumenische Begegnung und internationale Zusammenarbeit ; Quartalsschrift des Kirchlichen Entwicklungsdienstes, Volume 31, Issue 4, p. 72-78
The relationship between Australia and Indonesia has fluctuated sharply over the decades, since Indonesia first declared independence in 1945. After Suharto took power in 1966, aid began to flow to the country, after the new Indonesian leader transformed Indonesia's outlook to be proWest and anti-Communist. Events such as the annexation of East Timor in 1975 soured relations for a time, however the two nations had essentially converging interests up until the Asian financial crisis of 1997. Indonesia was heavily hit by the crisis, and the secession of East Timar in 1999, with heavy Australian involvement meant relations were at a new low. However, the tsunami disaster of 2004 marked a turning point, with a strong Australian aid response helping significantly in putting relations back on track. Despite this, people-to-people links in Australia are still weak, and there are high levels of mistrust and misunderstanding between the public in both nations. Culturally, the two nations could not be more different, although geographically they are close. Indonesian language programs are also falling away in Australia, as well as public diplomacy funding. From an economic standpoint, business links are weak also. However, the one positive in this regard are the strong elite and government-to-government relations that the two countries share. The relationship with Indonesia can be seen as one of Australia's most important relationships. Primarily, the gee-strategic location of Indonesia is perhaps the most important factor in this regard. The relationship is also translating into strong Indonesian support for Australia within vitally important regional forums, and Indonesia's current growth highlights its new found assertiveness on the diplomatic stage. Australia's policy priorities in regards to Indonesia include upholding Indonesia's territorial integrity, and upholding Australia's wider interests in matters of security and regional international politics. The rise of China and the advent of the 'Asia-Pacific century,' mean that it is a vital national interest for Australia to assist Indonesia in its economic recovery and development, in order for Australia to have strong partners in the region to face the challenges ahead. Foreign aid is one way of achieving this goal. Australia, as one of the 24 Development Assistance Committee (DAC) country members, will provide an estimated $4.8 billion in total Overseas Development Assistance (ODA) in 2011- 2012, reaching an estimated 0.35 per cent of Gross National Income (GNI). By 2015-2016, the Australian government has committed to increase Australia's ODA/GNI to 0.5 per cent. The Australian aid program has a strong focus on the Asia-Pacific region, but has recently expanded to encompass Central and South America. In terms of ODA expenditure by country, Indonesia is the top bilateral aid recipient, with Papua New Guinea (PNG), the Solomon Islands, Afghanistan and Vietnam making up the remainder of the top 5. 2015 is also the date that has been set for the achievement of the Millennium Development Goals (MDGs), targets set by all United Nations (UN) members, and International Organisations (IOs) that outline eight goals that aim to reduce poverty throughout the world. AusAID sees the MDGs as a vital part of the aid program and its objectives. As well as this, AusAID have taken measures to improve the effectiveness of aid, establishing an Office of Development Effectiveness (OD E), and in the last few months, the Gillard government have established an independent review of the aid program, completed in late April 2011, which will assess future directions for the aid program, considering that the increase to 0.5 per cent of ODA/GNI by 2015-2016 will effectively double the aid budget to around $8-9 billion. Australia has a long history in providing aid to Indonesia, and the Australia Indonesia Partnership (AIP) is the current bilateral development partnership body responsible for the oversight of the distribution of aid to Indonesia. The AIP Country Strategy consists of 4 pillars, dealing with different area of aid distribution, which have been formulated in line with the Indonesian government Medium Term Development Plan (RPJMN). The Australian aid program clearly outlines that its aid activities within Indonesia are undertaken with the national interest in mind, and the geographical spread of the overall program also reflects this. Indonesia, although recording impressive growth, in 2006 still had more than half of its population of approximately 246 million people living on under $2 a day. The UN Human Development Index (HDI) highlights this, ranking Indonesia 108th out of 169 countries. Despite the aforementioned impressive growth, Indonesia's HDI figures show a far slower rate of improvement in terms of poverty alleviation. The AIP strategy heralds a shift from 'traditional, stand-alone programs' of aid delivery to more governance and decentralisation activities, however this strong focus seems to taking the focus away from direct poverty alleviation activities. One reason for this occurrence can be seen in the aid policy debate that exists in Australia between the neo-liberal and social justice agenda. The government's national interests in security, economics and regional diplomacy are the drivers of aid policy, but neo-liberalism provides the framework for this. The strong promotion of activities such as 'good governance' within countries such as Indonesia can be seen to have an adverse effect on the alleviation of poverty, as those that promote the social justice agenda point out. However, the neo-liberal agenda is firmly fixed within Australian aid policy-making, and within both major political parties. This is due to pressures from businesses with interests in expanding into overseas markets, as well as the institutionalised executive level environment in which foreign aid policy is formulated. Although the social justice agenda has a strong public voice, it has little to no real influence on the final formulation of policy. This report finds that when it comes to Australian aid assistance within Indonesia and the balance between the national interest and the delivery of real outcomes for Indonesians, the balance is significantly weighted in the favour of the national interest. Although there have been recent improvements in direct alleviation activities in the health, education and environment sectors, it is clear that national interests are the driving force behind aid implementation within Indonesia. Considering Australia's gee-strategic location, and the challenges that it faces, it is vital and not surprising that a middle power such as Australia looks to use foreign aid to serve its own interests as well as others. However it must be recognised that too heavy a focus on governance activities can result in the poor being left behind as development continues apace. The report recommends that the projected doubling of the aid program by 2015-2016 offers an excellent opportunity to reconfigure this balance somewhat, by continuing the current activities in the same vein, yet using any new significant increases in funding exclusively to target and implement new poverty alleviation activities within the poorest provinces and districts of Indonesia.
As the world is preparing to scale up its efforts to combat global climate change, groups are increasingly recognizing the vital role forests play in maintaining ecological, social, economic and cultural well-being. They are beginning to affirm more that forest tenure plays a fundamental role in determining the fate of the world's forests. In many countries, questions are raised on whether tropical forests should be publicly, commonly or privately owned. For many countries the forest management policies will likely involve a combination of: i) protected areas of sufficient size to provide habitat protection, and in a contiguous pattern; ii) forest concessions with enforceable performance-based management criteria; iii) community forests and community forest concessions managed by communities and indigenous groups. The challenge is to undertake the land use planning commitment and implementation to achieve this in the face of pressure from internal and external interests. Forest concessions of various types are the dominant form of forest tenure in almost all the forest countries of West and Central Africa. They are also the dominant types of forest tenure in Asia (Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea, and Cambodia). In South America, Peru and Bolivia introduced forest concession as a possible tenure model in the early 90's with the strong support of international NGOs. In Brazil, after two failed attempts, the government has passed its new forest management law in 2006. Bolivia and Brazil have much in common regarding forest tenure conflicts and challenges to enforce new rules in the forestry sector. Forest concession implementation in these countries has generated many expectations and investments in law changes.This research work focuses on the main barriers faced by Bolivian and Brazilian forest authorities in implementing forest concession on the scale initially planned. The studies required a mapping of the property rights regimes over forest and forest resources as well as a theoretical approach of economic sociology. This approach, which provides elements to evaluate the process of social market construction, is dependent upon four essential factors: property rights, governance structures, rules of exchange and conceptions of control. The political-cultural approach emphasizes the historic perspective of the markets to understand the role of dominant groups and challengers in action arenas. It also considers the participation of social actors like governments, firms and consumers, among others, and their incentives for cooperative actions based on the cognitive ties that bind them. This empiric study focused on each country's geographically-delimited regions of Amazon: in the Bolivian lowlands region and in the Brazilian Cuiabá-Santarém Highway (namely BR-163). That's because they are the main targets for forest concession implementation. We show in this study that under a tenure uncertainty scenario, in which there are battles for territorial pieces and political alliances are forged that prefer other land use (and forests uses also) patterns the forest concessions implementation on a large scale will be jeopardized in these territories. ; Les forêts (tempérées et tropicales) couvrent près de quatre milliards d'hectares de la planète (FAO, 2005, 2009). On estime que la plupart de ces forêts (75%) sont dans le domaine publique et sont administrées par les gouvernements nationaux, locaux ou régionaux (RRI et OIBT, 2009). Dans plusieurs pays, développés et en voie de développement, la concession forestière est un moyen d'accorder et de règler les droits de propriété sur ces forêts publiques (Gray, 2000, 2002, White et Martin, 2002). La concession est un acte juridique pris par une autorité publique qui attribue à une personne privée, un droit d'utilisation ou un privilège (FAO, 1999, p.8). Dans la législation brésilienne, ainsi que dans le droit français, cette définition comprend également l'idée que l'acte de concession porte sur la délégation des droits et des devoirs du gouvernement à un agent privé. Cette relation est médiatisée par un contrat et implique la nécessité d'un paiement pour le concessionnaire (Karsenty, 2007, Brésil, 2006). Au niveau international, les plus anciennes expériences de concessions forestières sont dans les pays de l'Afrique (de l'ouest et centrale). Dans ces régions, les études montrent l'adoption du modèle depuis la fin du XIXe siècle (Coquery-Vidrovitch, 2001). On estime qu'il y a environ 55 millions d'hectares de forêts publiques affectés dans six pays de la région d'Afrique centrale (Cameroun, Gabon, Congo, République Démocratique du Congo, la République Centrafricaine et Guinée Equatoriale) (Karsenty, 2007). En Asie, les concessions forestières couvrent 69 millions d'hectares. Sur ce total, 38 millions d'hectares sont situés en Indonésie (Gray, 2002, RRI, 2008, l'OIBT, 2005). Dans ce pays, les concessions sont devenues la principale méthode de répartition des droits sur les forêts pendant le régime de Suharto (Singer, 2009). Dans les forêts tropicales d'Amérique, les études rapportent l'existence de concessions sur une surface de 34 millions d'hectares de forêts (OIBT, 2005). Ces zones sont au Suriname, au Guyana, au Venezuela et au Guatemala (avec une prédominance des concessions aux communautés et seulement deux concessions industrielles), la Colombie, la Bolivie et le Pérou. Récemment, le Brésil, a adopté ce modèle pour gérer une partie de ses forêts publiques. L'évaluation globale de la mise en oeuvre du système est d'environ 158 millions d'hectares dans le cas des forêts tropicales. Par rapport aux forêts tempérées, les zones avec les plus grandes surfaces sur concession sont au Canada. Bien qu'étant l'un des principaux moyens d'attribuer les droits de propriété sur les forêts, un vif débat politique et académique persiste sur les avantages et les inconvénients de cette option (Hardner et Rice, 2000, Gray, 2002, Boscolo et Vincent, 2000, Karsenty et al., 2008). En dépit de l'investissement et de soutiens internes et externes, la Bolivie et le Brésil ont rencontré des difficultés à poursuivre la mise en oeuvre des concessions. La Bolivie a mené ses réformes juridiques et mis en oeuvre quelques concessions à la fin des années 90. Le Brésil, après deux tentatives avortées (dans les années 70 et au début de 2000) a reussi à faire des réformes et adopter une nouvelle loi sur la gestion forestière, y compris l'établissement de concessions, en 2006 (gouvernement de Luis Inacio Lula da Silva). Le plan initial du gouvernement bolivien était d'en affecter 22 millions ha principalement pour la production de bois. Cependant, sur cette même zone, les peuples indigènes ont déjà revendiqué une surface d'environ 20 millions ha pour la démarcation de leurs Terres Communautaires D'Origine (TCO). Selon les données officielles, en 2007 les concessions forestières attribuées aux industries de la Bolivie totalisaient un peu plus de 5 millions ha (attribués en une seule fois, en 1997, sans appel d'offre concurrentiel). Les concessions communautaires totalisaient un peu plus de 600.000 ha. En outre, les permis de déboiser dans les forêts privées se sont accrus et la délimitation des Terres Communautaires D'Origine a progressé. Au Brésil, les objectifs initiaux de l'attribution des concessions étaient ambitieux. Depuis 2002, le Programme Forestier National (PNF) a voulu étendre la surface sur l'amenagement forestier en Amazonie brésilienne comme stratégie pour combattre l'accroissement du déboisement. Au début des années 2000, l'objectif était d'atteindre une superficie de 15 millions ha sous gestion durable des forêts en Amazonie jusqu'à 2010. Une partie de cette zone était située dans les forêts nationales déjà classées. D'autres parties étaient dans les terres publiques couvertes par des forêts, mais souvent déjà occupées (terras devolutas da União e dos Estados). À la fin de 2009, le total des concessions forestières au Brésil s'élève à 96.000 ha de forêt attribués à trois entreprises dans une Forêt Nationale dans l'Etat de Rondonia. Au début de 2010 un deuxième et un troisième appel d'offre ont été lancés. Ces appel d'offre comprenait une surface d'environ 480.000 ha dans deux Forêts Nationales dans l'État du Pará. Face à cette situation de difficile application de la politique de concessions forestières dans les deux pays, ce travail demande: pourquoi la politique de concessions forestières en Bolivie et au Brésil, malgré les attentes et des investissements significatifs, est-elle si peu avancée par rapport aux objectifs de la mise en oeuvre prévue dans les deux pays? Le travail a impliqué la mobilisation de deux approches théoriques et méthodologiques. La première d'entre elles était l'application de la matrice d'analyse des modes d'appropriation et gestion du foncier et des ressources forestières. Cet outil , résulte de la réunion de deux cadres analytiques principalement de la contribution de Schlager et Ostrom (1992), et du travail d'un anthropologue du droit, Etienne Le Roy (1996). L'utilisation de la matrice a permis de réaliser une cartographie des modes d'appropriation et de gestion des forêts et un aperçu de la gamme des acteurs qui possèdent ou revendiquent des droits d'occupation et d'utilisation dans les deux études de cas. En complément, l'approche politique-culturelle, développée par le sociologue américain Neil Fligstein (1990, 1996, 2001) a fourni un cadre permettant de discerner l'organisation sociale de production de bois dans les deux cas étudiés et de trouver les acteurs et les dynamiques des groupes en compétition pour le territoire de l'Amazonie. Ce cadre théorique a permis également d'envisager comment ces acteurs mettent en forme les droits de propriété, les structures de gouvernance, les règles d'échange et les conceptions de contrôle qui régissent les relations sociales dans ces territoires. La conclusion principale de ce travail est que les gouvernements n'ont pas assez pris en compte la diversité des acteurs qui occupent, historiquement, le territoire forestier de la Bolivie et du Brésil. La modestie des réalisations en matière de développement des concessions est due aux meilleures compétences sociales et à la plus grande force politique des acteurs qui se positionnent contre le nouveau régime de concessions. Ainsi, ces acteurs cherchent à défendre leurs intérêts et à assurer leur position tandis que les acteurs favorables (les "challengers") ne sont pas assez fort politiquement pour changer le statu quo en ce qui concerne la manière d'occupation, d'utilisation et de gestion des terres forestières.
1PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SUKU DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA SUKU DANI DAN SUKU DAMAL DI KABUPATEN(Suatu Studi di Mimika Provinsi Papua)OLEH : UNDINUS KOGOYANIM : 090814015ABSTRAK Konflik yang terjadi di antara suku Dani dan suku Damal yang ada di Kabupaten Mimika di mulai sejak pertengahan tahun 2013, yaitu di daerah tambang emas dimana kedua suku ini menjadi tambang Mimika sebagai sumber mata pencaharian, berawal dari salah satu perempuan suku dani di perkosa oleh salah satu anggota suku damal, hal ini tidak dapat diterima oleh suku dani, secara spontan anggota suku dani menyerang suku damal, sehingga terjadilah perang antara suku dani dan suku damal. Kapasitas Pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara kedua suku ini hanyalah sampai pada pendekatan persuasif, yaitu mengajak untuk dapat mendiskusikan secara baik, agar tercapai suatu kesepakatan damai, namun upaya pemerintah tersebut sampai dengan saat ini tampaknya belum berhasil, karena kedua suku yang bertikai masih semangat mudah sekali untuk terpancing sehingga perdamaianpun tidak terwujud. Penelitian ini dilakukan di wilayah Mimika yang merupakan salah satu propinsi yang ada di Papua. Karena di wilayah ini sering terjadi konflik antara kedua suku tersebut. Metode penelitan yang dipakai adalah metode deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan berbagai faktor yang menjadi pemicu konflik dan cara serta peran yang dimainkan oleh pemerintah dalam mengatasi konflik tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara suku dani dan suku dalam. dan untuk mengetahui penyebab ketidakmampuan kepala suku meredam amarah anggotanya. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa kepala suku tidak mampu meredam konflik, serta memberikan ketenangan bagi anggota sukunya, sehingga perdamaian sulit untuk di wujudkan. Key word: Kepemimpinan, Kepala Suku, Konflik2Pendahuluan Salah satu harapan dikeluarkannya undang – undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yaitu meletakkan dasar-dasar administrasi Pemerintahan Desa sehingga baik para pemimpin formal (Kepala Desa dan Pamong Desa), maupun para pemimpin informal (Kepala Suku, Pdt / Pastor dan para Tokoh) semakin tahu dan mampu menjadi pelopor dalam masyarakat, terutama dalam fungsi mereka sebagai jembatan yang menghubungkan antara kemauan pemerintah dan kepentingan masyarakat, maupun kepentingan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Dalam fungsi demikian mereka menjandang beban mencerna dan menerangkan kebijaksanaan – kebijaksanaan umum dan prioritas pembangunan yang dirancang oleh pemerintah kemudian menjelaskannya ke segenap anggota masyarakat. Berhasil tidaknya proses pembuatan keputusan brgantung pada peranan elit formal dan informal dalam keikutsertaan mereka dalam proses pembuatan keputusan tersebut. menurut penulis, kedua elit tersebut sebaiknya berperan dalam proses pembuatan keputusan agar di peroleh hasil keputusan yang tepat. Oleh karena itu pembuatan keputusan itu di lakukan secara cermat dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :1. Dimusyawarahkan lebih dahulu antara elit formal dan informal dengan anggota masyarakat agar keputusan yang diambil mempunyai bobot yang berkualitas serta dapat membentuk kelompok kerja yang sesuai dengan kepentingan desa.2. Keputusan yang diambil harus jelas, tidak bersimbang siur atau bertentangan satu sama lain, dan sedapat mungkin disertai dengan cara-cara pelaksanaannya diformulasikan dalam bentuk kata-kata yang sedarahana, mudah dipahami dan berlaku untuk semua golongan masyarakat desa.3. Keputusan harus diambil dalam waktu secapat mungkin. Terlalu lama mengambil keputusan akan menimbulkan ketegangan – ketegangan masyrakat sehingga menyulitkan penjelesaiannya dikemudian hari dan akan menimbulkan masalah baru.Dalam kehidupan masyarakat, setiap individu memiliki peran sesuai dengan profesionalisme ditempat mana saja ia berada. Bahkan setiap orang diharapkan dapat berperan dalam suatu komunikasi dan setiap orang harus belajar untuk mengisi perannya. Kenyataan yang ada Suku Dani dan Suku Damal, peranan elit informal (Kepala Suku) dalam proses pengambilan keputusan cukup besar, karena pengalaman dari para kepala suku dapat mengerakkan mempengaruhi partisipasi masyarakat yang ada di desa. Partisipasi masyarakat3merupakan modal yang besar dan sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Disamping sikap dan motivasi dari para elit informal juga turut mempengaruhi pelaksanaan pembangunan didesa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila dugaan ini benar maka kondisi – kondisi tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam proses pengambilan keputusan. Konflik yang terjadi diantara Suku Dani dan Suku Damal yang ada di Kabupaten Timika, di mulai sejak Tahun 1997, yaitu didaerah tambang emas dimana kedua suku ini menjadikan Timika sebagai sumber mata pencaharian, berawal dari salah satu perempuan suku Dani di perkosa oleh salah satu anggota suku Damal , hal ini tidak dapat terima oleh suku Dani, secara spontan anggota suku Dani menyerang suku Damal, sehingga terjadinya perang antara suku Dani dan suku Damal. Kapasitas pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara kedua suku hanyalah sampai pada pendekatan persuasif, yaitu mengajak untuk dapat mendiskusikan secara baik, agar tercapai suatu kesepakatan damai, namum upaya pemerintah tersebut sampai dengan saat ini tampaknya belum berhasil, karena kedua suku yang bertikai masih sangat mudah sekali untuk terpancing sehingga perdamaianpun tidak terwujud. Kepala suku dalam hal ini sebagai tokoh yang di kagumi, dan di hormati kerana kharisma dan kewibawaannya di mata masyarakat, mempunyai peranan penting untuk menyelesaikan konflik di antara kedua suku ini, karena kepala suku mempunyai kekuasaan untuk memberikan perintah kepada anggotanya agar tidak terjadi peperangan. Namum pada kenyataannya kepala suku yang ada Suku Dani dan Suku Damal, tidak mampu untuk meredam amarah dari masing – masing anggota sukunya, sehingga perang antara kedua sukupun tidak dapat terelakan. Hal ini di picu juga oleh latar belakang dari pada suku – suku yang ada di Kabupaten Timika, yaitu saling bersaing untuk mendapat pengakuan, suku mana terhebat, dan juga mempunyai kebiasaan berperang. Berdasarkan kenyataan yang di uraikan di atas, masalah dalam penelitian ini adalah peranan Kepala Suku dalam mengatai konflik, yaitu antara Suku Dani dan Suku Damal, sehingga tidak terjadi perang. PembahasanTanah Papua merupakan salah satu wilayah di indonesia yang masih menyimpang berbahagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua ini kehidupan, melai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosialyang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakang ini4juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut utamanya adalah konflik sosial yang di picu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalammerupakan salah satu penyebab perang suku di daerah pedalaman Papua. Di samping itu konflik internal antara suku yang terjadi waktu lampau juga menjadi salah satu factor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman Papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik social yang ada di daerah ini sering di sebut sebagai perang suku atau bahasa dani di sebut wim sedangkan bahasa damal /amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Delem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani, Serta Suku Ekari/ Me, dan Suku-Suku lainnya. Suku- Suku tersebut merupakan Suku – Suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat. Perdamaian perang suku yang di lakukan oleh pemda, Lembaga kemasyarakatan dan gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku di lihat dari suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan hukum-hukum positif maupun hokum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melari dan menghentikan pertikaian.Anehnya, sekalipun ketiga Lembaga itu melihat perang sebagai suatu yang negative, tetapi dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian secara adat membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi disertai upacara bakar batu. Pengakuan tergadap nilai-nilai kulturan serta digunakan nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika perang pembayaran ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacan ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan semacan ini bersifat persial. Artinya, penanganan semacan ini hanya efektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-5pihak yang terlihat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara bakar batu ganti rugi dan upacara bakar batu ganti rugi bukan suatu bentuk penyelesaiak konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative di perlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang. Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) social. Padahal kategorisasi social justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik social. Ketika keutamaan dari kategorisasi social ini terus merus dikukuhkan, itu berarti konflik social akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai cultural setiap suku yang ada di pedalaman terus menerus di pertahankan dan mendapatkan legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi. Bagi peneliti kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social terus-menerus dilakukan? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu: 1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai "masyarakat termiskin" di Indonesia terus dipertahankan.2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat.a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung6pada pihak lain? b). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya? 4. Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu? 5. Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua .pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.Menurut peneliti, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen.Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi sosial.Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi. Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan.Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika7terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu. Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan.Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu.Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri.Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku. Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa "peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan."Dan ayat 2 dikatakan "pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan." Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun. Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang.Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan8persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas. Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah.Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan.Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut. Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru. Khusus "perang suku" di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme.Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme.Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka."Perang suku" antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan. Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk "perang suku" ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi "perang suku" dan bahkan9menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi "perang suku" di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20. Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan.Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja. Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan "perang suku".Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993.Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita "perang suku". Bagi peneliti kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social terus-menerus dilakukan? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu: 1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai "masyarakat termiskin" di Indonesia terus dipertahankan.2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat.a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk10merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung pada pihak lain? b). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya? 4. Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu? 5. Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua .pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.Menurut peneliti, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen.Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi sosial.Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi. Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan.Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya,11tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu. Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan.Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu.Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri.Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku. Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa "peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan."Dan ayat 2 dikatakan "pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan." Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun. Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang.Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus12jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas. Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah.Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan.Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut. Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru. Khusus "perang suku" di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme.Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme.Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka."Perang suku" antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan. Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk "perang suku" ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi "perang suku" dan bahkan13menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi "perang suku" di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20. Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan.Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja. Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan "perang suku".Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993.Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita "perang suku". KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada bagian terdahulu, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:1. Kepala suku sebagai pemimpin informal melakukan perannya sesuai dengan tradisi, adat, budaya yang lahir tumbuh dan berkembang di tanah Papua dari nenek moyang mereka, dimana sudah menjadi suatu kewajiban untuk tetap mempertahankan kehormatan suku yang dipimpinnya, sehingga berperang merupakan suatu kehormatan untuk mencapai kemenangan demi mempertahankan martabat suku yang dipimpinnya. Kekalahan yang menimpa salah satu suku menjadi suatu hinaan bagi kepala sukunya, sehingga kepala suku akan terus mencari cara keluar dari hinaan tersebut, dan terus menyemangati para anggota sukunya untuk tetap semangat meraih kembali kehormatan yang hilang karena kekalahan dalam berperang.2. Kepemimpinan kepala suku dalam mengatasi konflik bukanlah menjadi solusi yang tepat, karena kepala suku tidak akan dapat meredam konflik masing-masing anggota sukunya.3. Konflik yang terjadi di Timika antara suku Dani dan Damal, tidak bisa hanya diselesaikan dengan menggunakan hukum positif yang berlaku, begitu pula dengan pendekatan secara keagamaan, karena sebelum agama masuk ke tanah papua, tradisi berperang antar suku ini sudah menjadi budaya.14SARAN1. Pemerintah harus mampu lebih kritis lagi mencari tahu penyebab konflik ini, bukan hanya sekedar mencari pemicunya, apabila hal ini merupakan suatu tradisi budaya, hal-hal yang lebih konkrit dan kompleks harus lebih dikedepankan, seperti mengundang antar suku yang bertikai, tokoh adat, dan tokoh agama.2. Dalam menyelesaikan konflik ini, pemerintah harus mencari orang tengah, bukan hanya sekedar mencari pemimpin sukunya, yang biasanya berperan memimpin perang suku, jumlahnya bisa lebih dari satu.3. Carilah dahulu "orang belakang" karena orang inilah yang memiliki otoritas ritual perang dan perdamaian. "Tuan perang" dan "orang belakang" biasanya tersembunyi dan dilindungi15DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta, Graha Ilmu Bintarto R, Buku Penuntun Geografi Sosial, Yogyakarta, UP.Spring, 1969, hal. 95. Bartle, Phill, 2002. Participatory Method of Measuring Empowerment.Modul Pelatihan Pemberdayaan. Daldjoeni, N dan A. Suyitno. 2004. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: PT. Alumni Dahl, Robert,1983.Democracy and Its Critics.New Haven Conn: Yale University Press. Friedmann, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Chambridge: Blackwell Publishers. Hulme, David & M. Turner, 1990.Sociology of Development: Theories, Policies and Practices. Hertfordshire: Harvester Whearsheaf. Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Momon Soetisna Sendjaja, Sjachran Basan,1983,Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa, Bandung, Alumni. Paul, Samuel, 1987. Community Participation in Development Projects-The World Bank Experience.Washington DC: The World Bank. Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Sri Sudaryatmi, Sukirno,TH. Sri Kartini, Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan Penerbit Undip, Semarang. Sugiyono, 2007, Memahami Penelitian Kualitatif.Alfabeta; Bandung. Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung : Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSPSTKS). Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung : PT. Refika Aditama. Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004. Kemitraan dan Modul-modul Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media. Tampubolon, Mangatas. 2006. Pendidikan Pola Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Sesuai Tuntutan Otonomi Daerah. Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan Sebagai Perdamaian : Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.