Suchergebnisse
Filter
170 Ergebnisse
Sortierung:
The Indonesian Supreme Court: a study of institutional collapse
In: Studies on Southeast Asia 39
In: Southeast Asia program publications
World Affairs Online
The Winning of Empty Box in the 2018 Makassar Regional Head Election ; Kemenangan Kotak Kosong pada Pilkada Kota Makassar Tahun 2018
This research discusses how the empty box won in the 2018 Makassar Regional Head Election. This phenomenon became the elections' history where a single candidate failed to win the election. Ten political parties consisting of Functional Groups Party (Golkar), National Democratic Party (NasDem), Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), United Development Party (PPP), Crescent Star Party (PBB), Great Indonesia Movement Party (Gerindra), Prosperous Justice Party (PKS), People's Conscience Party (Hanura), National Mandate Party (PAN), and Indonesian Justice and Unity Party (PKPI), promoted a single candidate pair. This study aims to describe how the movement of empty box volunteers in the Makassar Regional Head Election. This research uses a qualitative method. Selection of informants using a snowball sampling technique, and using social movement theory. There are three parts to this theory: 1) Complaint theory. Public disappointment over a candidate pair's disqualification and consider the election organizer unfair; 2) Mobilizing structures theory. Analyze the voluntary movement of empty boxes to gather mass support and sympathizers during the election; and 3) Framing theory. Analyze the use of issues and methods of spreading the issue. This research found that the empty box phenomenon in Makassar Regional Head Election, unlike in the elections in other areas where the single candidate did not have an opponent, in Makassar, one of the candidate pairs was disqualified due to violation. It made the community, supporters, and the success team feels disappointed with the General Elections Commission's decision. This disappointment also resulted in the emergence of the empty box volunteer movement. Movements of empty box volunteers to gather mass support and sympathizers through door-to-door socializing, leaflets, flyers, and banners call to action to win empty box and use social media and online media as campaign tools. ; Penelitian ini membahas bagaimana kotak kosong menang pada Pilkada Makassar 2018. Fenomena ini menjadi sejarah pemilu dimana satu kandidat gagal memenangkan pemilu. Sepuluh partai politik yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), mempromosikan pasangan calon tunggal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pergerakan relawan kotak kosong dalam Pilkada Makassar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan informan menggunakan teknik snowball sampling, dan menggunakan teori pergerakan sosial. Ada tiga bagian teori ini: 1) Teori keluhan. Kekecewaan publik atas diskualifikasi pasangan calon dan menganggap penyelenggara pemilu tidak adil; 2) Teori struktur mobilisasi. Menganalisis pergerakan relawan kotak kosong untuk menghimpun dukungan massa dan simpatisan selama pemilihan; dan 3) Teori framing. Analisis isu yang digunakan dan metode untuk menyebarkan isu. Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena kotak kosong pada Pilkada Makassar, berbeda dengan pilkada di daerah lain yang pasangan calon tunggal tidak memiliki lawan, di Makassar salah satu pasangan calon didiskualifikasi karena melakukan pelanggaran. Hal itu membuat masyarakat, pendukung, dan tim sukses kecewa dengan keputusan KPU. Kekecewaan ini juga mengakibatkan munculnya gerakan relawan kotak kosong. Gerakan relawan kotak kosong menghimpun dukungan massa dan simpatisan melalui sosialisasi dari pintu ke pintu, leaflet, flyer, dan spanduk ajakan bertindak untuk memenangkan kotak kosong dan menggunakan media sosial dan media online sebagai alat kampanye.
BASE
The Roles of Ulama in the process of Post-Conflict Reconciliation in Aceh ; Peran Ulama dalam proses Rekonsiliasi Pasca Konflik di Aceh
In the context of Aceh, the word "Ulama" refers to an Islamic scholar who own boarding school (In Aceh language known as Dayah) or a leader of an Islamic boarding school (known as Teungku Dayah). Ulama become "the backbone" of any social problem and play strategic and influential roles in Acehnese society. However, The Ulama roles have changed in the post-conflict era in Aceh. The assumption that Ulama are unable running their authorities in Acehnese society especially in the post-conflict era. Ideally, their roles are needed in the reconciliation regarding the agents of reconciliation who have authority like the Ulama and are trustworthy by Acehnese society. Therefore, this article aims to discuss the position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh. To investigate the problem, a descriptive qualitative method was used, where the method is to describe the nature of a temporary situation that occurs when the research is carried out in detail, and then the causes of the symptoms were examined. The data were literature studies, participatory observation, and in-depth interviews. The results of this research showed that during an important period of Aceh's history, the Ulama constantly become guardians that provide a religious ethical foundation for each socio-political change in Aceh, and subsequently they also act as the successor to the religious style that developed in the society. Even the formation and development of the socio-political and cultural system occurred partly on the contribution of the Ulama. The position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh can be found in four ways. Firstly, knowledge transmission. Secondly, as a legal decision-maker which refers to Sharia law, especially related to the reconciliation process. Thirdly, as a mediator. Fourthly, cultural roles in the form of ritual or ceremonial guides that are carried out when the parties of the conflict have met an agreement to reconcile. ; Dalam konteks Aceh, "Ulama" merujuk pada sosok individu yang memiliki Dayah (pesantren) atau pimpinan Dayah yang terkenal dengan sebutan Teungku Dayah. Pada ranah sosial, Ulama Aceh merupakan "tulang punggung" keputusan dalam berbagai hal. Ulama hadir sebagai kelompok strategis dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Namun, pasca konflik Aceh, telah terjadi dinamika pergeseran peran ulama di Aceh. Ada anggapan bahwa ulama tidak lagi mampu menjalankan otoritasnya dalam masyarakat, terutama pada masa pasca konflik. Padahal idealnya, ulama turut berperan dalam proses rekonsiliasi, mengingat saat ini belum ada agen rekosiliasi yang memiliki otoritas seperti ulama dan benar-benar dapat dipercaya oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mendiskusikan tentang posisi Ulama Aceh dalam proses rekonsiliasi pasca konflik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara terjadi pada saat penelitian dilakukan secara detail, dan kemudian berusaha memeriksa sebab-sebab dari gejala tersebut. Data dalam penelitian ini bersumber dari studi pustaka, obeservasi partisipatoris dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam setiap periode penting seajarah Aceh, ulama selalu hadir sebagai satu kekuatan yang memberi ladasan etis keagamaan bagi setiap perubahan sosial-politik di Aceh, dan selanjutnya ulama bertindak sebagai penerus corak keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Bahkan pembentukan dan perkembangan sistem sosial-politik dan budaya masyarakat Aceh terjadi sebagian atas kontribusi para ulama. Adapun Posisi ulama dalam proses rekonsiliasi di Aceh pasca konflik dapat dilihat dalam empat hal. Pertama, transmisi pengetahuan. Kedua, sebagai pengambil keputusan hukum yang bersumber dari ajaran Islam, terutama terkait dengan proses rekonsiliasi. Ketiga, sebagai mediator. Keempat, peran kultural yang berupa pemandu ritual atau seremonial yang dilakukan ketika pihak yang bertikai sudah menemukan kata sepakat untuk berdamai.
BASE
Social Practice of Sahabat Kapas in Vulnerable Children and Children with Special Condition Assistance in Surakarta ; Praktik Sosial Sahabat Kapas dalam Pendampingan Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan di Surakarta
Vulnerable Children and Children with Special Condition (Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan or AKKR) are children who must receive assistance and motivation to achieve their rights. In practice in real life, they are temporarily forced to be in correctional institutions/detention centers/Institute for Special Development Children (LPKA) as a result of violating the law. It should not make them shunned, but instead, they must be assisted. Vulnerable Children and Children with Special Condition need enforcement of the fulfillment of their rights. The existence of Sahabat Kapas as a nonprofit non-governmental organization (NGO) located in Karanganyar, Central Java, Indonesia, provides concerns and solicitudes for Vulnerable Children and Children with Special Condition. This research aims to analyze and describe the forms of social practice based on habitus in Sahabat Kapas organization. This research used a qualitative research method with Bourdieu's genetic structuralism approach. Informants were determined using purposive sampling techniques. Data collection was performed using participant observation techniques in the field, in-depth interviews, and documentation studies. Data were analyzed in three stages, including data reduction, data presentation, and ended with concluding. Data were verified by source triangulation. The results showed that Sahabat Kapas became an alternative to assist Vulnerable Children and Children with Special Condition conducted in correctional institutions/detention centers/Institute for Special Development Children (LPKA). The social practices conducted by Sahabat Kapas in assisting Vulnerable Children and Children with Special Condition are following the capital they have and the history of the habitus they conduct. Relational social capital is at stake by assistants with prison officers and how to build relationships with children. Economic capital refers to the efforts made by Sahabat Kapas to get funds to support assistance through entrepreneurship and opening donations. Cultural capital includes the whole intellectual/knowledge gained by assistance through training that is useful to assist children in correctional institutions/detention centers/Institute for Special Development Children (LPKA). Symbolic capital is manifested in the form of awards from the government for Sahabat Kapas and assistance awards for children in the form of gifts. ; Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan (AKKR) adalah anak yang harus mendapat bantuan dan motivasi untuk mendapatkan haknya. Pada praktiknya dalam kehidupan nyata, mereka untuk sementara waktu terpaksa berada di Lapas/Rutan/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) akibat melanggar hukum. Seharusnya hal itu tidak membuat mereka dijauhi, tapi malah harus dibantu. Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan membutuhkan penegakan hukum dalam pemenuhan haknya. Keberadaan Sahabat Kapas sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) nirlaba yang berlokasi di Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia, memberikan perhatian dan kepedulian bagi Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan bentuk-bentuk praktik sosial berbasis habitus di organisasi Sahabat Kapas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan strukturalisme genetik Bourdieu. Informan ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi informan di lapangan, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dalam tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan. Data diverifikasi dengan triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sahabat Kapas menjadi alternatif pendampingan Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan yang dilaksanakan di Lapas/Rutan/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Praktik sosial yang dilakukan Sahabat Kapas dalam mendampingi Anak-Anak dalam Kondisi Khusus dan Rentan mengikuti modal yang mereka miliki dan riwayat habitus yang mereka lakukan. Modal sosial relasional dipertaruhkan oleh pendamping dengan petugas lapas dan bagaimana membangun hubungan dengan anak. Modal ekonomi mengacu pada upaya Sahabat Kapas untuk mendapatkan dana bantuan melalui wirausaha dan membuka donasi. Modal budaya mencakup seluruh intelektual/pengetahuan yang diperoleh dengan bantuan melalui pelatihan yang berguna untuk mendampingi anak di Lapas/Rutan/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Modal simbolik diwujudkan dalam bentuk penghargaan dari pemerintah kepada Sahabat Kapas dan penghargaan pendampingan kepada anak-anak berupa hadiah.
BASE