This study discusses two faces of Islam regarding its relationship with the state, namely cultural Islam and political Islam. Cultual Islam believes that to spread Islamic values does not have to take power, but can also pay attention to the grassroots, by preaching to the community, establishing educational, health and economic institutions. Whereas cultural Islam is more power-oriented, they believe that with that power it can be easy to apply Islamic teachings, and some even want to change the shape of the country into an Islamic state. Some political Islamists participate in parties, and some are non-parties. Usually, those who are non-party are more likely to be radical. Both have advantages and disadvantages, what is clear is that cultural Islam is more humane and has an impression on society.
Tulisan ini mendiskusikan akan pentingnya upaya mereformasi pendidikan Islam dengan menampilkan wajah Islam toleran dapat dijelaskan dari sudut pandang filsafat perenialisme, esensialisme dan progresifisme. Dalam pandangan perenialisme kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Sementara dalam prespektif filsafat progresivisme, posisi kurikulum adalah untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan. Dari sinilah sangat memungkinkan untuk mengajarkan prinsip –prinsip ajaran Islam yang humanis, demokratis dan berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya dan agama
Politic has been defined simply by Harold Laswell as who gets what, when, how?Many people say that politic is synonymous with power. The "power" is the ability of agroup to influence other groups according to the subject wishes. Furthermore, thepolitical experts see the power as a political core and also assume that politic is all amatter of fight and maintain activities power. It has a purpose related to the interests of the entire community. On the other hand mentioned that politic is the process offormation and distribution of a power in society such as decision-making process,particularly in countries. This understanding is the incorporation effort between manydifferent definitions of the political nature which is known in political science. Politic is the art and science to gain power constitutionally and unconstitutionally. Principally political Islam is to actualize Islamic law as the supreme source of lawin the national legal order. All laws and regulations applicable in a country should refer to the highest legal source Shari'a. If there is any conflict with the shari"a, then it is automatically canceled regulations. Politics that do not have a mission like this can not be classified as political Islam.
AbstractGender is one of a number of contemporary discourse that can be called that is enough to get the attention of many people, from the teenagers, among movement activists, academics and students, the legislature and government, to the clergy. The purpose of this discourse is a close social injustice based on gender differences, the next attempt to bring about equality between men and women on the social aspects. Gender discourse can be categorized into at least four appearances, namely as a movement, a philosophical discourse, the development of social issues to religious issues, and as an approach in the study of religion. This paper will discuss the perspectives of gender equality as conceived by Muslim feminists. Generally it can be stated that the goal of feminism is the struggle to achieve equality, dignity, and freedom of women in selecting and managing the life and body, both inside and outside the household.Kata Kunci: kesetaraan, gender, gerakan, feminisme Islam
Fokus utama Ekonomi Islam adalah keperluan untuk membangun dan membantu perumusan analisis dan problem solving urnat muslim guna merealisasi tujuan pemenuhan kesejahteraan atau kepuasan, disamping ekspektasi lainnya. Melalui dasar-dasar teoritik serta prinsip dan system Ekonomi Islam bahwa umat muslim akan memiliki dunia pandang mengenai issu-isu dan problematika. Disamping perilaku ekonomi atau kebijakan keuangan, yang selama ini dilandasi oleh paham dan analisis ekonomi kapitalis Barat sekuler atau liberalisasi ekonomi konvensional, dengan norma-norma Syari'ah. Prograrn dan prospek ini bukan sebagai idialis ekstrim, melainkan situasi obyektif memperlihatkan kepada arah sedemikian. Pencemaran ini seperti layaknya kecermatan para ekonom dan para kapitalis terhadap perkembangan lingkungan ekunomi, baik konvensional geografis atau struktural dalam membangun teori-teori dan paham ekonomi konvensional yang mereka anut. Ekonomi Islam bagaimanapun akan menjadi satu model alat analisis untuk umat muslim. dan akan mengurangi ketergantungan secara absolut, meski tidak secara radikal, pada alat analisis ekonomi dan keuangan konvensional, apakah kapitalis atau sosialis. Prinsip, sistem, serta karakteristik Ekonomi dan Keuangan Islam. antara teoritik dan ernpirik dapat ditumbuhkan disamping secara akurat dan sistematik melalui alat-alat analisis yang dieebut dalam Ekonomi Islam. Perencanaan dan pengembangan program studi Ekonomi Islam memiliki makna yang besar dan strategis dalam tatanan pembangunan kelslaman juga dalam kehidupan serta peradaban komunitas muslim. Begitu juga pengembangannya menjadi disiplin ilmu sosial pada level akademik sangat diperlukan, kendati secara geopolitik khususnya di dataran Indonesia ada kendala formal studi yang relatif baru bagi umat muslim adalah berada dalam konteks yang benar, seiring dengan bimbingan ubudiyah dari perjalanan zaman dan tuntutan ajaran spiritual agarna yang dilandasi keimanan, dalam proses kesem-purnaan pengalaman dan kebaikan sernua anak manusia. Program pembangunan studi ...
Momentum kebebasan demokrasi memberi angin segar bagi kelompok fundamentalis-radikal merangsek ke tengah publik untuk menyuarakan aspirasi politis-ideologisnya. Sialnya, cara, gaya, karakter atau pendekatan yang digunakan kerap berseberangan dengan identitas dan bangunan budaya bangsa ini. Kekerasan kerap menjadi menu tidak asing lagi yang melekat dalam tubuh kelompok fundamentalis-radikal. Dengan berjubahkan agama dan atas nama agama, Islam sebagai agama rahmah dan toleran menjadi kabur dibumi Indonesia ini, tertutupi oleh merebaknya fenomena radikalitas dan ekstrimitas kelompok-kelompok fundamentalis-radikal. Bukan hanya itu, logika radikalitas kelompok fundamentalis-radikal pun berjalan diatas logika demokrasi dan kebebasan menyuarakan pendapat, walau harus mengorbankan keadaban dan keluhuran agama dan bangsa ini
This article discusses the integration of Islamic values into Indonesians culture. Seen from the point of view of religion, Indonesia is the largest Muslim nation in the world ( the biggest Muslim country in the world). But in the religion - political and ideological, Indonesia is not an Islamic State .However, it does not mean Islam is Indonesia not original . Difficult to deny that the teachings and values of Islam has contributed much to the formation of Indonesian national culture. On the other hand, the institutionalization of Islamic values is also very powerful form of knowledge and intellectual system of the people, customs and belief systems, national culture, economic systems, up to the formation of Mus- lim behavior in Indonesia. In short, Islamic values has been fused with the culture of Indonesia. Islamic values have been institutionalized and becomes tradition in Indonesia then experience the dynamics and endless adjustments to this day.
Abstrak:Tulisan ini berusaha menyajikan lanskap dialektika Islam dengan dimensi lokalitas budaya. Secara dikhotomik, kemudian dimunculkan konsep Islam Pribumi dan Islam otentik dengan segala karakteristik dan implikasinya. Islam pribumi dengan karakteristik ramah lingkungan dan memainkan "politik garam" yang tidak tampak namun menyatu-bersenyawa dengan budaya yang dihinggapinya dan Islam otentik dengan karakteristik "khas Arab" dan memainkan "politik bendera" yang sangat menonjolkan superioritas-hegemonikalnya terhadap budaya lokal.Kata kunci:Islam pribumi, Islam Otentik, budaya lokal
Abstrak:Tulisan ini berusaha menyajikan lanskap dialektika Islam dengan dimensi lokalitas budaya. Secara dikhotomik, kemudian dimunculkan konsep Islam Pribumi dan Islam otentik dengan segala karakteristik dan implikasinya. Islam pribumi dengan karakteristik ramah lingkungan dan memainkan "politik garam" yang tidak tampak namun menyatu-bersenyawa dengan budaya yang dihinggapinya dan Islam otentik dengan karakteristik "khas Arab" dan memainkan "politik bendera" yang sangat menonjolkan superioritas-hegemonikalnya terhadap budaya lokal.Kata kunci:Islam pribumi, Islam Otentik, budaya lokal
This paper analyzes the distinction of Islamic law in Indonesia as a role model of Indonesian Islam (Islam Nusantara). The underlying question is that what are the disticntions of Indonesian Islamic law which can be a role model for Indonesian Islam. The purpose of this paper is to identify the characteristics of Islamic law in Indonesia as well as to elaborate the distinctiveness of Indonesian Islam as a role model. It is showed that Islamic law in Indonesia has been well integrated into Indonesian culture and Indonesian legislations. Indonesian Islam (Islam Nusantara) initiated by Nahdatul Ulama shows its capacities to accommodate local wisdom (culture) and Islamic law, so that there is no conflict among them. It is peaceful, pluralistic and egalitarian approach, and there will be 'role model' for Islamic civilization. ; Artikel ini menjelaskan tentang hukum Islam di Indonesia sebagai role model Islam Indonesia (Islam Nusantara). Pertanyaan penting dalam tulisan ini adalah bagaimana distingsi hukum Islam di Indonesia yang bisa dijadikan role model pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk megidentifikasi karakteristik hukum Islam di Indonesia dan mengelaborasi Islam Indonesia sebagai role model. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa hukum Islam di Indonesia telah terintegrasi ke dalam budaya Indonesia dan hukum nasional. Islam Indonesia (Islam Nusantara) yang diinisiasi oleh organisasi Nahdatul Ulama menunjukkan kapasitasnya dalam mengakomodir budaya lokal dan hukum Islam. Jadi, tidak ada konflik antara keduanya. Karena pendekatannya yang damai, plural, dan egaliter sehingga dapat dijadikan sebagai role model peradaban Islam.
This study aimed at finding the existence of moderate Islam in the dynamics of Islamic politics in Indonesia after "Aksi Bela Islam". The focus of this paper comes from two questions. First, How is the Historicity of the "Aksi Bela Islam 212"? Second, how is the relationship between moderate Islam and "Aksi Bela Islam"? This paper was a literature study which was supported by relevant references. The writer used a historical approach in this study. The results of this study showed that; First, the historicity of the "Aksi Bela Islam" does not stand alone, but it was supported by other preceded histories. One of them comes from the jealousy of some Islamic groups towards Jakarta which was controlled by non-Muslims. However, the most important thing was that "Aksi Bela Islam" tended to have strategic efforts in organizing political power as a "movement from below" to bind the public to conservatism as well as building political power through government opposition. Second, NU and Muhammadiyah as a group of "moderate Islam" have contributed to the amount of community participation and interest in the "Aksi Bela Islam", as a result of the lack of firmness of the two CSOs in responding to blasphemy or "Aksi Bela Islam".
This article discusses two faces of Islam, political and cultural, which have developed throughout the Muslim world, including in Indonesia. It argues that political Islam has two faces and both of which, although represented by two different groups, have the same agendas, i.e., the application by the state of shari'a, and also the establishment of Islamic state. Arguing that political Islam has brought about radicalism, the article proposes that the other face of Islam, that is cultural Islam, should be maintained and empowered.
Abstract. The birth of a politically oriented Sarekat Islam with the forerunner of business oriented Islamic Trade Sarekat was inseparable from the strong motivation to implement Islamic teachings in various aspects. Not only limited to worship rituals, but also need to be translated into the midst of other aspects, especially at that time the condition of the Indonesian people was under Dutch colonialism, so Islamic political movements were a mystery and focus. Using Islamic labels in organizations that allow positive responses everywhere to participate in this organization. In this paper the author wants to know what the Sarekat Islam has been doing in carrying out political relations and anything that contributes to the movement of Indonesian nationalism with Islam as a basic effort and whatever efforts are needed in upholding these noble ideals. Keywords: Politics, Islam, Islamic Trade Law, Nationalism. Abstrak. Lahirnya Sarekat Islam yang berorientasi politik dengan cikal bakal dari Sarekat Dagang Islam yang berorientasi bisnis tampaknya tidak lepas dari motivasi kuat untuk mengimplemantasikan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Bukan saja terbatas pada ibadah ritual, tapi juga perlu dijabarkan ke tengah- tengah masyarakat aspek-aspek lain, lebih-lebih pada waktu itu kondisi bangsa Indonesia sedang berada di bawah tekanan kolonial Belanda, maka kehadiran gerakan politik Islam merupakan tuntutan dan keharusan. Menggunakan label Islam dalam organisasi politik ini mungkin dimaksudkan untuk menarik respons masyarakat muslim di mana saja untuk ikut serta berpartisipasi dalam organisasi ini. Dalam makalah ini penulis ingin membahas sejauh mana kiprah Sarekat Islam dalam melakukan pembaruan politik dan apa sumbangsinya terhadap gerakan nasionalisme Indonesia dengan Islam sebagai ajaran dasar serta kendala-kendala apa yang dihadapi dalam menegakkan cita-cita luhur ini. Keywords: Politik, Islam, Sarekat Dagang Islam, Nasionalisme
Artikel ini memperlihatkan bahwa Islam Hadhari berfungsi tidak hanya sebagai respons religio-politik terhadap krisis internal yang dirasakan masyarakat Melayu, polarisasi budaya, dan politik global yang tidak seimbang, tetapi juga menunjukkan multi-interpretasi dari teks-teks Islam, sejarah, budaya dan konteks multikultural. Kasus Islam Hadhari menjadi contoh dari "tradisionalisme" dan "modernisme" Islam yang bukan dalam bentuk ideal, tetapi dalam ekspresi diskursif campuran. Islam Hadhari harus dipahami dalam kerangka persaingan ide-ide lokal dan global, yang muncul di negara-negara mayoritas Muslim di era negara-bangsa modern dan globalisasi. Artikel ini menunjukkan pentingnya mengamati reformasi Islam sebagai dialektika gerakan dan kontra-gerakan, wacana dan kontra-wacana, tetapi juga dalam hal waktu (masa lalu, sekarang, dan masa depan). Menggunakan teori modernisasi dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan modernitas, artikel ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memperoleh jawaban mengenai kondisi sosial-politik yang membuat gagasan Islam progresif atau Islam peradaban harus terjadi. Artikel ini memperlihatkan cara bagaimana multikulturalisme dan eklektisisme mengkarakterisasi proyek Muslim terhadap modernitas di tengah-tengah keterhubungan yang kuat dengan masa lalu dan kitab suci.DOI:10.15408/sdi.v18i1.439
This article discusses how the history of politics in Indonesia. The Islamic movement in Indonesia is so dynamic. This dynamic can be seen from the emerging Islamic movements, which can be grouped into two, namely the political Islam movement and cultural Islam. One of the dynamics that is still strongly discussed today is related to state ideology. Political Islam considers it necessary, while cultural Islam considers it unnecessary. Islam is most importantly embodied in the culture of society, not formalist. In conclusion, Islam does need to be embodied in cultural and political ways, but it does not need to be formalist. The two of them must complement each other. And The bigger the Islamic political movement at the ideological level causes the power of Muslims to weaken and experience stagnation. Therefore, in the Muslim struggle movement, another concept that moves culturally as an alternative is presented so that Muslims no longer experience delays in development.