Plant variety protection is a relatively new concept for many Indonesians. It was developed because of the patent regime's failure to provide appropriate protection for new plant varieties. This new sui generis legislation for the protection of plant varieties was enacted in response to Article 27.3(b) of the TRIPS Agreement, which requires WTO Members to provide an effective sui generis law for the protection of new plant varieties. This paper analyses the current state of plant variety protection in Indonesia. It covers the threshold of protection, the subject, scope, right and obligation of breeders, exceptions to infringement, farmers' rights and local varieties. It also analyses the current policy to revise the Plant Variety Protection Act and the underlying reasons for this, including Indonesia's national interest and its international and bilateral commitments. The main focus of the paper explores why such policy is not broadly compatible with the Indonesian agricultural tradition of seed sharing. Accordingly, this paper explores the tradition of seed sharing in Indonesian culture known as adat. In addition, it explores the likely implication of such protection for national agricultural innovation.
The issues of Papua (Both Papua and West Papua Provinces) have been reached by international communities even though the government regulation; Law of the Republic of Indonesia Number 21, Year 2001, concerning Special Autonomy for Papua Province becoming a central issue as a problem solving to make a special treat for people in Papua internally. Whereas, the regulation is expected to make people in Papua develop political, economic, and cultural also resolving the insurgency problems among them. The arrangements of social and political, economy and budget are as a special treatment, only develop economy and infrastructure but it does not solve the conflicts until today. In this case, the Counterinsurgency (COIN) strategic model needs to be implemented following the appropriateness of national policy and the condition in Papua. This research used a content analysis method to reveal the causes of an un-optimal policy in solving the insurgency. Based on the four elements of COIN, only two elements exist; community and state elements. While the international community element and private sectors do not appear on the special autonomy legislation for Papua. As a reason, the COIN model appropriates with the condition of the people that include some elements; government, local community, the non-state, international community, and private sectors. Comparing to the United States of America (USA) model where the community is not included in the COIN element since the community as an object. On the other hand, it is different from China where military and political parties as important elements since the government decisions are supported by military force to solve the insurgency problem. This research found that civil and military cooperation in the model of COIN Papua after special autonomy is reflected by the existence of Local Government Leaders Communication Forum of Papua to face all situations that happened in Papua, both in security and emergency. Active coordination among governors, local legislators, Adat communities (customary), police, and army for COIN strategy needs special coordination to global communities openly that affect opinions on the people and private sector interests in Papua. ; Persoalan Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) telah mengundang komunitas internasional, namun kebijakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi isu sentral dalam penyelesaian Papua hanya memberi perlakuan khusus terhadap internal masyarakat Papua. Padahal, melalui Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua agar lebih cepat berkembang, baik politik, ekonomi, maupun budaya, disamping itu masalah gerakan insurgency (pemberontakan) juga dapat dituntaskan. Kenyataannya, penataan sosial politik, ekonomi dan anggaran yang bersifat khusus telah diberikan namun hanya mengembangkan perekonomian dan infrastruktur tetapi gerakan untuk memisahkan diri belum berakhir sampai saat ini. Untuk itu perlu suatu model strategi counterinsurgency (COIN) yang tetap sesuai dengan kebijakan nasional dan kondisi masyarakar Papua. Penelitian ini menggunakan metode content analysis untuk mengungkap penyebab kebijakan yang tidak optimal dalam menyelesaikan counterinsurgency. Berdasarkan empat elemen dasar dalam COIN hanya ada dua elemen yang ada, yaitu elemen masyarakat dan negara, sementara elemen komunitas internasional dan sektor privat tidak ditemukan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Sehingga, model COIN yang sesuai dengan kondisi masyarakat Papua harus memiliki unsur pemerintah, masyarakat lokal, non-state, komunitas internasional, dan sektor privat. Kalau dibandingkan dengan model United States of America (USA) yang memposisikan masyarakat tidak masuk dalam unsur COIN karena masyarakat diletakkan sebagai objek yang menentukan. Beda lagi kalau dibandingkan dengan strategi Cina yang menempatakan militer dan partai politik sebagai elemen penting karena keputusan pemerintah didukung oleh kekuatan militer untuk mengatasi masalah insurgency. Penelitian ini menemukan bahwa kombinasi sipil dan militer dalam model kebijakan COIN Papua Pasca-Otonomi Daerah tercermin dengan adanya Forum Komunikasi Pemimpin Daerah (Forkompimda) Papua dalam menghadapi situasi, baik kondisi aman maupun kondisi darurat. Koordinasikan aktif antara gubernur, legislatif daerah, masyarakat adat, kepolisian, dan militer. Strategi COIN di masa mendatang perlu jalur koordinasi khusus dengan komunitas global secara terbuka yang mempengaruhi opini tentang masyarakat Papua dan kepentingan sektor privat yang cukup kuat di Papua.
The state is obliged to strive for the realization of justice for traditional fishing communities. Traditional communities are fishing communities whose traditional rights are still recognized in carrying out fishing activities or other legal activities in certain areas located in archipelagic waters following the international law of the sea. Coastal space areas and small islands that indigenous/traditional communities have managed from the obligation to have location permits and management take national interests and laws and regulations into account. Article 26 A of the Republic of Indonesia Number 1 of 2014 makes it easy for outsiders to control small islands that regulate the use of small islands and surrounding coasts through investment forms based on a ministerial permit that must prioritize the national interest. Positive law must protect traditional fishing communities and indigenous peoples. This research aims to analyze the regulation of fishermen's protection from deprivation of their rights in earning a living and livelihood. The research method used is normative research, meaning the implementation of legal provisions in the form of legislation in activities for certain legal events in the community, especially the fishing community. Normative research refers to and examines laws and regulations related to the research being conducted. The research locations cover coastal areas throughout Indonesia, especially Banda Aceh, Padang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Manado, Kupang, Ternate, and Mataram. The state can provide knowledge, guidance, and protection for fishermen from various actions of deprivation of their rights to earn a living and protection such as piracy, the practice of fishing theft, abuse of trawling, transshipment activities, threats, and violence by foreign parties to Indonesian fishers. The central government and local governments are obliged to provide facilities for guaranteeing fishing areas or fishing coverage areas that are safe and do not overlap with other fields. ; Negara berkewajiban mengupayakan terwujudnya keadilan bagi masyarakat nelayan tradisional. Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di wilayah tertentu yang berada di perairan kepulauan mengikuti hukum laut internasional. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dikelola masyarakat adat/tradisional dari kewajiban izin lokasi dan pengelolaannya memperhatikan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 memberikan kemudahan bagi pihak luar untuk menguasai pulau-pulau kecil yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pesisir sekitarnya melalui bentuk penanaman modal berdasarkan izin menteri yang harus mengutamakan kepentingan nasional. Hukum positif harus melindungi masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perlindungan nelayan dari perampasan haknya dalam mencari nafkah dan penghidupan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, artinya penerapan ketentuan hukum berupa peraturan perundang-undangan dalam kegiatan untuk peristiwa hukum tertentu dalam masyarakat, khususnya masyarakat nelayan. Penelitian normatif mengacu pada dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Lokasi penelitian meliputi wilayah pesisir di seluruh Indonesia, khususnya Banda Aceh, Padang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Manado, Kupang, Ternate, dan Mataram. Negara dapat memberikan pengetahuan, pembinaan, dan perlindungan bagi nelayan dari berbagai tindakan perampasan hak untuk mencari nafkah dan perlindungan seperti perompakan, praktik pencurian ikan, penyalahgunaan trawl, kegiatan transshipment, pengancaman, dan kekerasan oleh pihak asing kepada nelayan Indonesia. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas untuk menjamin wilayah penangkapan ikan atau wilayah jangkauan penangkapan ikan yang aman dan tidak tumpang tindih dengan bidang lain.
Global Governance encompasses the world's political activities and the management of issues and phenomena that occurred on a nation-state, involving contributions from regional to the international environment. In the global security sector, there are numerous efforts carried out by a country to counter such external threats that can cause destabilization. Non-proliferation and nuclear developments for peace are such issues of the global defense-security concern. The attempts to control and ensure the use of nuclear has been carried out by enacting international law, resolutions, and multilateral agreements. The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) is one kind. Influencing the world's security, politics, and economy, JCPOA began to be disrupted since the U.S. withdrawal as one of the parties that initially signed the agreement. This research aims to analyze The Collapse of Global Governance: When the U.S. Leaves the Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). This research used a qualitative method with analysis based on secondary data, validated by the triangulation technique in this qualitative study. The analytical procedure uses secondary data from journals, media, and literature related to the Iran nuclear agreement and previous analyses discussing the U.S. exit from the JCPOA agreement. The analysis technique performs by arranging the data sequence, organizing the data into a pattern, category, and basic description. This research has found that Global Governance has fundamental weaknesses in its application. Through an analysis of the U.S. exit from the Iran nuclear agreement, it can be said that the reins of control are in the hands of the U.S. The Trump administration's policy on behalf of the U.S. to leave JCPOA to thwart the achievement of Global Governance and significantly affects the multi-national economic, political, and security order. The implementation of Global Governance and the issues also raised based on the interests of the superpowers. ; Global governance meliputi kegiatan politik dunia dan pengelolaan isu dan fenomena yang terjadi pada suatu negara kebangsaan, yang melibatkan kontribusi dari lingkungan regional hingga internasional. Di bidang keamanan global, banyak upaya yang dilakukan oleh suatu negara untuk melawan ancaman eksternal yang dapat menyebabkan destabilisasi. Non-proliferasi dan perkembangan nuklir untuk perdamaian adalah isu-isu yang menjadi perhatian pertahanan-keamanan global. Upaya pengendalian dan penjaminan penggunaan nuklir dilakukan melalui penetapan hukum internasional, resolusi, dan kesepakatan multilateral. The Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) adalah salah satunya. Mempengaruhi keamanan, politik, dan ekonomi dunia, keberadaan JCPOA mulai terganggu sejak mundurnya Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu pihak yang awalnya menandatangani perjanjian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Runtuhnya Global Governance: Saat Keluarnya AS dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis berdasarkan data sekunder, divalidasi dengan teknik triangulasi dalam penelitian kualitatif ini. Prosedur analitis menggunakan data sekunder yang diambil dari jurnal, media, dan literatur terkait perjanjian nuklir Iran dan analisis sebelumnya yang membahas keluarnya AS dari perjanjian JCPOA. Teknik analisis dilakukan dengan menyusun urutan data, mengorganisasikan data ke dalam suatu pola, kategori, dan deskripsi dasar. Penelitian ini menemukan bahwa global governance memiliki kelemahan mendasar dalam penerapannya. Melalui analisis keluarnya AS dari perjanjian nuklir Iran, dapat dikatakan bahwa kendali kendali berada di tangan AS. Kebijakan pemerintahan Trump mengatasnamakan AS keluar dari JCPOA untuk menggagalkan pencapaian global governance dan secara signifikan mempengaruhi tatanan ekonomi, politik, dan keamanan multi-nasional. Implementasi global governance dan permasalahannya juga diangkat berdasarkan kepentingan negara adidaya.