Lahirnya Orde Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan politik hukum. Politik hukum, di antaranya adalah pemberian privilage bagi daerah-daerah tertentu dengan sebutan sebagai Daerah Istimewa, yang di antaranya diberikan kepada Aceh. Melalui keistimewaan ini, Aceh dapat menerapkan hukum pidana (hukum jinâyah). Hal tersebut menunjukkan terjadinya perubahan politik hukum, dari paradigma unifikasi hukum menjadi pluralisme hukum. Provinsi Aceh diberikan kewenangan menerapkan hukum pidana Islam (jinâyah), yang peradilannya dijalankan oleh Mahkamah Syariah. Perubahan ini melahirkan teori pelimpahan wewenang otonomi hukum, yakni adanya pelimpahan wewenang pelaksanaan syariat Islam, kewenangan Mahkamah Syariah menangani perkara pidana, dan kewenangan membuat hukum materiil dan hukum formal yang pengaturannya diserahkan kepada Qanun serta kewenangan Qanun tentang jinâyah untuk mengatur jenis dan besarnya hukuman tanpa terikat batasan yang berlaku bagi Qanun selain jinâyah. Copyright (c) 2016 by KARSA. All right reserved DOI:10.19105/karsa.v24i1.1006
Lahirnya Orde Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan politik hukum. Politik hukum, di antaranya adalah pemberian privilage bagi daerah-daerah tertentu dengan sebutan sebagai Daerah Istimewa, yang di antaranya diberikan kepada Aceh. Melalui keistimewaan ini, Aceh dapat menerapkan hukum pidana (hukum jinâyah). Hal tersebut menunjukkan terjadinya perubahan politik hukum, dari paradigma unifikasi hukum menjadi pluralisme hukum. Provinsi Aceh diberikan kewenangan menerapkan hukum pidana Islam (jinâyah), yang peradilannya dijalankan oleh Mahkamah Syariah. Perubahan ini melahirkan teori pelimpahan wewenang otonomi hukum, yakni adanya pelimpahan wewenang pelaksanaan syariat Islam, kewenangan Mahkamah Syariah menangani perkara pidana, dan kewenangan membuat hukum materiil dan hukum formal yang pengaturannya diserahkan kepada Qanun serta kewenangan Qanun tentang jinâyah untuk mengatur jenis dan besarnya hukuman tanpa terikat batasan yang berlaku bagi Qanun selain jinâyah. Copyright (c) 2016 by KARSA. All right reserved DOI:10.19105/karsa.v24i1.1006
Di sebagian besar Negara Islam, masyarakatnya selalu didominasi kaum laki-lakinya. Hal ini disebabkan sistem patrilinial yang dianut masyarakatnya. Di dalam kehidupan masyarakat seperti ini, hak-hak perempuan, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam politik sangat sedikit sekali memberikan hak ini kepada perempuan sebagai pemilik sejatinya. Padahal kalau perempuan diberikan hak berpolitik ini mereka akan mampu ikut menentukan kehidupan masyarakat bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tulisan ini mendiskusikan hak politik perempuan dalam pandangan Hukum Islam. Hasil kajian menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Sebagaimana patnernya kaum laki-laki, perempuan pun memiliki hak untuk memainkan peran public, termasuk dalam ranah politik.
Islamic economic development everywhere will not have a significant impact without strong political support, including the development of Islamic economy in Indonesia. Jamaluddin Al-Afghani as an 18th-century Muslim reformist figure had the idea of a political movement of unity of Muslims known as Pan-Islamism in response to the deterioration of Muslim nations due to colonialism and imperialism of western nations. The purpose of this study was to explore the political ideas and ideas of Jamaluddin Al-Afghani to strengthen the position of Muslims, especially in the economic field. This research method uses literature review, which is research with a focus on the study and analysis of the primary materials of the literature with the approach of character studies, which examines systematically the thoughts and ideas of a figure as a whole or in part. The results of this study show that in order to strengthen the economic position of Muslims and the development of Islamic economy, strong economic politics is needed to support economic policies related to Islamic economy. Jamaluddin Al-Afghani pan-Islamism as a political movement against the materialism of western nations and the concept of arkan al-sittah as the spirit of his struggle can be implemented in the form of Islamic economic politics to strengthen Islamic economic development.
This paper is examined the development history of the yellow book (kitab kuning) as Islamic textbooks in Indonesia from the perspective of philology. First, from the codicology perspective, the yellow book scattered in Indonesia since the 16th to 21st century had a consistent increase in terms of variations of scientific disciplines, the title of the book and media. The purpose of the yellow book originated from da'wah (Islamic call) material. It then became a lesson material in pesantren (Islamic boarding school) before being a reference in Bahtsul Masa'il (solving religious issues), lectures, legislation and the MUI (The Indonesian Council of Ulama) fatwa. Before being written by the Indonesian, the yellow book were originally written by foreigners, especially from the Middle East (Arabs, Persian). Second, from the textology perspective, the number of yellow book scripts has implications for the significance of the plural text criticism. The yellow book which has long been used by academic society, especially pesantren, shows the pragmatic side, reception aesthetics and reception dynamics in the text edition context. Third, transliteration and translation of the yellow book started from the hanging translation (terjemah gandul) method to interpret its original Arabic language by using the archipelago languages (Malay, Javanese, Sundanese, Madura) in the form of Arabic script (Pegon). Furthermore, transliteration and translation of yellow book are growing rapidly, especially from Arabic scripts to Latin script and from Arabic to Indonesian
Female circumcision is one of the continuing practices in some countries of Africa, Europe, Latin America, and Asia, including Indonesia. In Arab, tradition of female circumcision has been widely known before the Islamic period. While in Indonesia, some areas practicing female circumcision include Java, Madura, Sumatra, and Kalimantan. This research used qualitative-ethnographic method. Data were collected through in-depth interviews to the traditional birth attendants who performed circumcision and to the baby's parents who sent their children for circumcision. In addition, Focus Group Discussion (FGD) involving medical personnel (doctors and midwives), traditional birth attendants, the parents, community leaders, religious leaders, academics, and government, was also conducted to explore the data. Then, the obtained data were analyzed by using descriptive analytical technique. The result shows that the practice of female circumcision in Demak Regency was done in 2 ways, namely symbolically and truly. Symbolically means that the practice of female circumcision was done by not cutting a female genital part, ie clitoris, but using substitute media, namely turmeric. On the other hand, the real meaning means that female circumcision was actually done by cutting little tip of the clitoris of a daughter. The time for practicing female circumcision in Demak regency was generally coincided with Javanese traditional ceremonies for infants / young children. The purpose for the daughters was in order to become sholihah and be able to control their lusts (not become "ngintil kakung" or hypersexual). Indeed, the motivation to practice this tradition is to preserve the ancestral tradition and to implement the religious command._________________________________________________________Sunat perempuan merupakan salah satu praktik yang saat ini masih dilakukan di beberapa negara di Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan juga di Asia, termasuk Indonesia. Pada masyarakat Arab, tradisi sunat perempuan sudah dikenal luas sebelum periode Islam. Sementara Indonesia, beberapa wilayah yang mempraktikan sunat perempuan meliputi Jawa, Madura, Sumatera, dan Kalimantan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-etnografis. Teknik pengumpulan data: Wawancara mendalam dengan dukun bayi yang melakukan sunat dan juga orang tua bayi yang mensunatkan anaknya. Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan tenaga medis (dokter dan bidan), dukun bayi yang melakukan sunat perempuan, orang tua anak yang disunat, tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, dan pemerintah.Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif-analitis Pada masyarakat di Kabupaten Demak. Praktik sunat perempuan pada Kabupaten Demak dilakukan dengan 2 cara, yakni secara simbolik dan secara sesungguhnya. Yang dimaksud secara simbolik adalah praktik sunat perempuan dilakukan tidak dengan memotong sebagain anggota kelamin perempuan, yakni klitoris, melainkan menggunakan media pengganti, yakni kunyit. Sedangkan yang dimaksud secara sesungguhnya adalah bahwa sunat perempuan benar-benar dilakukan dengan cara memotong sebagian kecil ujung klitoris anak perempuan. Waktu pelaksanaan sunat perempuan di masyarakat Kabupaten Demak pada umumnya bersamaan dengan upacara-upacara adat Jawa untuk bayi/anak kecil. Tujuan dilakukan sunat perempuan bagi masyarakat di Kabupaten Demak adalah agar anak perempuan tersebut menjadi anak shalihah dan dapat mengendalikan nafsu syahwatnya agar tidak "ngintil kakung" (hyperseks). Motivasi menjalankan tradisi sunat perempuan bagi masyarakat di Kabupaten Demak menjalankan tradisi leluhur dan menjalankan perintah agama.