The early decades of Indonesian independence have often been described as a time of economic hardship. Food crises appeared to illustrate the absence of a strong state creating prosperity for the Indonesian people. By examining food-related policies on both the production and the consumption side, this article seeks to offer a more balanced view of the actual role of the state in achieving food self-suffciency and food security. I argue that there was a strong belief during the Old Order period that the state should play an important role in the food sector rather than letting the market mechanism determine. Various policies were executed by the government in order to increase food production and improve distribution. They were brought in practice in the feld and clearly indicate the active role that the state assumed in managing foodstuffs and food suffciency issues. The fact that food crises persisted, even later contributing to the regime change in the mid-1960s, was apparently not due to the absence of the state in the food sector, but rather to the failure of the state to overcome the hurdles of rapid population growth increasing the need for food as well as the failure to establish the political stability required for an effective and sustainable implementation of food policies.
Traditional medicine (jamu) in Indonesia is continuously transforming due to a number of factors including the growing presence of the biomedical system promoted by the government and drug manufacturers, the requirement of more standardized and scientifically-proven medicinal products, and the declining popularity of herbal medicine among the young generation. Traditional medicines producers need to adjust continuously to the changing environment. This article seeks to examine these transformations by taking Java as its focus of attention. There are two major reasons for this choice. First, the island of Java is home for many traditional medicines producers, both small-scale, home-based industries and large-scale, company-based industries. Second, the largest proportion of the users of traditional medicines and distribution networks are also found in the island. The major questions the article seeks to address are: (1) what regulations have been set in place by the state authorities with regard to the production and distribution of traditional medicines in Java? How do the producers and the related partied respond the regulations?; (2) what efforts have been made by the producers of traditional medicines to accept modernization challenges and to improve the performance of their products; (3) how traditional medicines circulate and what are their distribution networks? Obat tradisional (jamu) di Indonesia terus berubah karena sejumlah faktor termasuk semakin tumbuhnya kehadirani sistem biomedis dipromosikan oleh pemerintah dan produsen obat, kebutuhan akan produk obat yang lebih standar dan terbukti secara ilmiah, dan menurunnya popularitas jamu di kalangan generasi muda. Produsen obat tradisional produsen perlu menyesuaikan terus menerus terhadap lingkungan yang berubah. Artikel ini ditujukan untuk mengkaji transformasi ini dengan mengambil Jawa sebagai fokus perhatian. Ada dua alasan utama untuk pilihan ini. Pertama, pulau Jawa adalah tempat bagi banyak produsen obat-obatan tradisional, baik skala kecil, industri rumahan dan skala besar, industri berbasis perusahaan. Kedua, proporsi terbesar dari para pengguna obat-obatan tradisional dan jaringan distribusi juga ditemukan di pulau ini. Pertanyaan-pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam artikel ini adalah: (1) peraturan apakah yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang berkaitan dengan produksi dan distribusi obat-obatan tradisional di Jawa? Bagaimana respons produsen dan pihak terkait terhadap peraturan-peraturan yang berlaku?; (2) upaya apakah yang telah dilakukan oleh produsen obat tradisional untuk menjawab tantangan modernisasi dan untuk meningkatkan kinerja produk mereka; (3) bagaimana obat tradisional beredar dan apa jaringan distribusinya?
This article discusses the environmental movement in Java during the independence era, with a special focus on the Old Order and New Order periods. Historical method was employed here in conducting the collection of source materials and synthesizing the facts into a historiographical construction. The sense of environmental crisis became the reason for continuing struggle for saving the environment. The result of discussion reveals that not only did it perform colonial legacy, the movement also resulted in modifications, in terms of conservation management and movement forms. There was also a process of strengthening and broadening of the supporting groups of the movement. Especially since the 1970s, the role of non-governmental organizations and media groups intensified. This feature marked a new era that ended the dominant role of the government. In line with this process, new environmental issues were also raised and pollution was a case in point here. Keywords: Environmental movement, environmental issues, government, non-governmental organizations, independence era, JavaArtikel ini membahas gerakan lingkungan di Jawa pada masa kemerdekaan dengan fokus khusus periode Orde Lama dan Orde Baru. Metode sejarah digunakan dalam penggarapan dari pengumpulan sumber hingga penuangan dalam sintesis konstruksi historiografis. Keyakinan akan krisis lingkungan menjadi alasan berlanjutnya perjuangan menyelamatkan lingkungan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa tidak hanya warisan kolonial tetap hidup, gerakan lingkungan memperlihatkan pula adanya modifikasi dalam hal pengelolaan kawasan konservasi dan bentuk gerakan. Terdapat pula proses penguatan dan perluasan kelompok-kelompok pendukung gerakan. Khususnya sejak tahun 1970-an, peranan organisasi non-pemerintah, media massa, dan kelompok-kelompok akar rumput semakin menguat. Hal ini menandai sebuah era baru yang mengakhiri peranan dominan pemerintah. Seiring dengan proses ini, isu-isu baru juga dibangun dan pencemaran merupakan ilustrasi pokok di sini. Kata kunci: gerakan lingkungan, isu lingkungan, pemerintah, organisasi non-pemerintah, masa kemerdekaan, Jawa
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan, menganalisis dan mengungkap bencana banjir bandang di Kodya Semarang pada tahun 1990. Dalam penggarapannya metode ini menggunakan sejarah lingkungan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang di dapat baik tertulis maupun lisan, yang berkaitan dengan topik bahasan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bencana banjir bandang mencerminkan rusaknya keseimbangan lingkungan khususnya di Kodya Semarang yang dimana kejadian akibat rusaknya lingkungan dari arah gunung pati, dan juga rusaknya hutan lindung yang berubah menjadi hutan produksi sehingga sistem vegetasi tidak mampu menyerap air ketika hujan. Perubahan lingkungan tersebut bisa dilihat dari kondisi ekologis, demografis, ekonomi, dan sosial budaya yang ada di Kodya Semarang. Proses terjadinya banjir bandang tidak serta merta datang begitu saja curah hujan tinggi yang berkepanjangan, sistem topografi, kapasitas volume air yang tidak cukup menampung air bah. Sehingga banjir meluluh-lantakkan pemukiman warga pada Jum'at dinihari 26 Januari 1990. Dampak banjir bandang tidak hanya terletak pada dampak ekonomi saja, melainkan berdampak pada kondisi sosial masyarakat Semarang. Beberapa daerah yang terkena dampak banjir bandang di Semarang meliputi, komplek Sampangan dan Bongsari yang paling parah. Bencana banjir bandang mengundang respons dan tanggapan dari pemerintah dan masyarakat untuk segera mengatasi bencana tersebut dan dapat meringankan beberapa para korban banjir. Kata Kunci : Lingkungan, Banjir Bandang, Semarang ABSTRACT This study is aimed to describe, analyze and uncover the flood disaster in the Municipality of Semarang in 1990. In executing the research, the study uses the historical method by utilizing resources that can be either written or oral, relating to the topic. The results of this study indicate that the flood disaster reflected the damage of environmental balance, especially in the Municipality of Semarang where the incident took place due to the damage of environment from Pati Mountain. It was also clue to the destruction of protection forest which turned into production forest, thus the vegetation system cannot absorb water when it rains. The changes in environment, be seen from ecologic condition, demographic, economic, and social culture in the Municipality of Semarang. The process of flood did not suddenly come. Because of high rainfall, topography system, and the capacity of water volume which is not enough to accommodate the flood, the flood destroyed the residential area on Friday morning January 26th, 1990. The impacts of the flood were not only in the economic but also on the social conditions of Semarang people. Some of the areas affected by floods in Semarang include, Sampangan residence and Bongsari was the most severe. Flood disaster provoked responses from the government and society to immediately overcome the disaster and can ease the burden of the flood victims. Keywords: environment, floods, Semarang
Artikel ini membahas konflik pertambangan pasir besi yang terjadi di Kabupaten Lumajang denganmenggunakan perspektif politik lingkungan. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah sebab-sebab danproses terjadinya konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan argumentasi masing-masing, serta dampakyang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan pasir besi. Bahan-bahan yang menjadi dasar untuk melakukanpembahasan dalam artikel ini berupa berita-berita surat kabar, hasil wawancara dengan pelaku dan saksi sejarah,dan observasi lapangan. Konflik yang muncul dalam kaitan dengan kegiatan pertambangan di Desa Wotgalihmelibatkan dua kelompok utama, yakni pihak pro dan pihak kontra tambang. Konflik mempunyai asal-muasaldari rencana kembalinya kegiatan penambangan pasir besi oleh PT ANTAM yang mendapatkan ijin daripemerintah. Pihak kontra tambang mendasarkan penolakannya pada keyakinan akan terbatasnya manfaatekonomis dan besarnya resiko kerusakan lingkungan dan bencana. Kelompok ini memandang kebijakanpemerintah mengeluarkan izin penambangan pasir besi sebagai tidak bijak dan mengabaikan kepentingan rakyat.Pihak pro tambang meyakini kegiatan tambang akan besar manfaat ekonominya bagi masyarakat dan pemerintahdaerah. Artikel ini menunjukkan bahwa pertambangan mengandung kekuatan disintegratif bagi masyarakat dandestruktif bagi lingkungan.Kata Kunci: Pertambangan, Lingkungan, Konflik, Lumajang
This article examines the dynamics of power relations in the Brantas River sand mining and its influences on the fate of the most important river of East Java. By relying on archival sources, contemporary newspapers, and oral history interviews, it is argued that the Brantas river crisis occurred due to the acceleration of sand extractions facilitated by improved extraction technology in the form of mechanical sand extracting machines and the growing demand for sand for infrastructure development. Automated sand mining caused damage to infrastructure and settlements in various places along the river from downstream areas that continue to creep upstream, as well as the loss of biodiversity richness. The search for a solution has been going on for some time but failed to stop mining and bring the Brantas River out of the crisis. The failure occurred not because of the absence of a legal protection, but the difficulty of implementing regulations in the field due to the involvement of unscrupulous officials and politicians in the Brantas sand business, as well as the temptation of large and comfortable profits from mining that lured sand miners amid the limited available alternative sources of livelihood. Artikel ini membahas dinamika relasi kuasa dalam penambangan pasir Sungai Brantas dan pengaruhnya terhadap nasib sungai terpenting di Jawa Timur in. Dengan mengandalkan sumber arsip, surat kabar kontemporer, dan wawancara sejarah lisan, diargumentasikan bahwa krisis sungai Brantas terjadi karena percepatan ekstraksi pasir yang difasilitasi oleh perubahan teknologi ekstraksi dalam bentuk mesin diesel penyedot pasir mekanis dan meningkatnya permintaan akan pasir untuk pengembangan infrastruktur. Penambangan pasir mekanis menyebabkan kerusakan infrastruktur dan permukiman di berbagai tempat di sepanjang sungai dari daerah hilir yang terus merambat ke hulu, serta hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati. Pencarian solusi telah berlangsung selama beberapa waktu, tetapi gagal menghentikan penambangan dan membawa Sungai Brantas keluar dari krisis. Kegagalan itu terjadi bukan karena tidak adanya payung hukum, tetapi kesulitan menerapkan peraturan di lapangan karena keterlibatan pejabat dan politisi yang tidak bermoral dalam bisnis pasir Brantas, serta godaan keuntungan besar dan mudah dari penambangan. memancing para penambang pasir di tengah sumber mata pencaharian alternatif yang tersedia terbatas.Â