Suchergebnisse

Reformasi memberikan ruang demokrasi yang ditandai dengan kebebasan pers hal ini mendorong lahirnya film-film documenter di Indonesia. Wacthdoc sengaja dirilis Sexy Killer pada masa tenang pemilihan umum dengan tujuan menginterupsi perdebatan para pendukung kedua calon yang sudah keluar dari inti permasalahan politik saat itu. Diangkat dari realitas kebutuhan pasokan listrik yang menjadi tuntutan bagi pembangunan dan masyarakat manapun. Sesuai dengan karakternya sebagai documenter, korban dihadirkan sebagai narasumber yang berperan langsung dalam fokus peristiwa. Lebih dari 22 korban yang memberikan pernyataan dalam film tersebut sehingga muncul asumsi korban menjadi sumber komoditas dari media untuk mendapatkan keuntungan politis atas nama human interest. Analisis naratif Chatman dengan membagi naratif kedua bagian yaitu story dan discourse yang bertujuan menganalisis konstruksi naratif dan visual korban dalam Sexy Killers. Muncul makna Sexy Killers yang mengandung arti pembunuhan secara perlahan tanpa sadari. Komodifikasi ideal victim antara korban laki-laki sebagai sosok yang tabah dan tetap berjuang sebagai kepala keluarga yang memberikan nafkah, korban perempuan lebih emosional sekaligus menjadi pendukung dari penderitaan oleh kaum laki-laki sedangkan anak-anak dikonstruksikan sebagai korban yang tidak tau apa-apa dengan realitas yang ada. Hyperealitas dimunculkan dari repetisi angle kamera dan naratif membahayakan korban selaku kaum yang tidak berdaya dengan ketidakpastian nasib. Ancaman akan kerugian, kerusakan lingkungan, kesehatan hingga keselamatan disimulasi berdasarkan fakta visual dan naratif yang disampaikan, korban kehilangan hak mereka tanpa adanya kepedulian dari pemerintah dan pihak perusahaan.

Diese Arbeit konzentriert sich auf die indonesischen Fernsehwerbungen, die während der Neuen Ordnung (1993-1998) und der Nach-Neuen Ordnung (1999-2005) produziert und ausgestrahlt wurden. Ziel der Arbeit ist es, die Tatsache zu untersuchen, dass es ein Wechselspiel gibt zwischen dem Werbetext und dem sozio-politischen Kontext, in dem der Text steht. Die genaue Untersuchung dieser Fernsehwerbungen hat dargelegt, dass die sozio-politische Transition in Indonesien einen Spalt geöffnet hat, in dem dominante und hegemoniale Diskurse in Bezug auf Geschlecht, Ethik/Rasse, Klasse und Nationalität wiederholt, verhandelt und herausgefordert werden.

This article examines a flourishing Islamic youth movement in Indonesia, #IndonesiaTanpaPacaran or Indonesia without Dating. This movement calls for hijrah (literally means an action of moving to another place) from Western dating habits to ta'aruf or an Islamic practice of getting married without dating among the Muslim millennial. This article aims to explain the emergence of this movement. Drawing approach from social movement theory, the writer argues that this movement is culturally embedded since piety, religious commodification and political resistance against existing political nuance are overshadowed the emergence of this anti-dating movement. It is found out that this movement is an offshoot of banned Islamic organization Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) that continuously struggles to revive the past transnational rule of khalifah (caliphate) in Indonesia. Consequently, the concept of hijrah in social media campaign does not only to promote Islamic lifestyle like ta'aruf but also to promote caliphate as an alternative to secular democracy. This study is presented given the fact that the research on Islamic youth movement in social media is still lack of attention, despite the so-called hijrah movement is legion and may strategically important to make social change through the use of social media.

This article examines a flourishing Islamic youth movement in Indonesia, #IndonesiaTanpaPacaran or Indonesia without Dating. This movement calls for hijrah (literally means an action of moving to another place) from Western dating habits to ta'aruf or an Islamic practice of getting married without dating among the Muslim millennial. This article aims to explain the emergence of this movement. Drawing approach from social movement theory, the writer argues that this movement is culturally embedded since piety, religious commodification and political resistance against existing political nuance are overshadowed the emergence of this anti-dating movement. It is found out that this movement is an offshoot of banned Islamic organization Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) that continuously struggles to revive the past transnational rule of khalifah (caliphate) in Indonesia. Consequently, the concept of hijrah in social media campaign does not only to promote Islamic lifestyle like ta'aruf but also to promote caliphate as an alternative to secular democracy. This study is presented given the fact that the research on Islamic youth movement in social media is still lack of attention, despite the so-called hijrah movement is legion and may strategically important to make social change through the use of social media.