Islam is a religion that put the principles of truth and justice for all its adherents. Factors that encourage Muslims to achieve independence are factors Ideology, political, economic, social and cultural. In Indonesia, Islam has an important role in education. Islamic education in Indonesia is given in three sectors, namely formal, informal and non-formal. After Indonesian independence, the issue of religious education received serious attention from the government, both in public and private schools, and has established educational institutions, especially schools and a mosque which has become a bastion of Islam that is so strong effect. Therefore, it is important to reassess how the development of Islam in Indonesia as well as the development of Islamic education institutions in Indonesia after independence.
Baitul Mal management in the Sultanate of Sambas started from the establishment of Ulama's official institution, so the state could supervise the religious issues. Through the Maharaja Imam, Muslim affairs were handled. The permanent management improvement of Baitul Mal in the Sultanate of Sambas was started in 1944, through Ulama's discussion in the Sambas Kingdom consisting of Imam, Khatib, and Penghulu. They formulated 37 articles concerning the cost of marriage, divorce, reconciliation, alms (zakat māl, and zakat fitrah), procedures for withdrawal, distribution, and the eligible recipients of funds. The Baitul Mal founding was interfered by a fundamental problem, caused by political issues within Sambas society. Those issues included Japan's defeat in 1945, the NICA arrival followed by the Dutch expulsion in 1949, and the PGRS-PARAKU incidents until 1965. Since the early days, Baitul Mal management in Sambas has found its form and can move social life through the funds distribution, one of which is to support the schools in Sambas. Baitul Mal in Sambas is currently in crisis due to the existence of new zakat institutions both semi-government and private such as Badan Amil Zakat (BAZ). Therefore, they really need to have the people-oriented management.Pengelolaan Baitul Mal di wilayah Kesultanan Sambas dimulai dari pembentukan lembaga resmi ulama, sehingga pengurusan masalah keagamaan ditangani oleh negara. Melalui Maharaja Imam, urusan Muslim ditangani. Perbaikan pengelolaan Baitul Mal secara permanen di Kesultanan Sambas dimulai pada tahun 1944, melalui musyawarah yang dihadiri oleh para ulama di Kerajaan Sambas yang terdiri dari Imam, Khatib dan Penghulu. Dalam rapat tersebut dirumuskan 37 pasal tentang masalah biaya perkawinan, perceraian, rukun, sedekah (zakat mal dan zakat fitrah), tata cara penarikan, penyaluran /distribusi dana dan orang-orang yang berhak menerimanya. Pembentukan Baitul Mal mengalami masalah yang mendasar, yang diakibatkan oleh masalah politik yang dihadapi oleh masyarakat Sambas, ...
Sambas adalah salah satu Kesultanan Melayu yang cukup lama eksis di tanah Borneo. Kerajaan Islam Sambas atau yang disebut Kesultanan Sambas berdiri pada paruh kedua pertengahan abad ke-17 M. Kesultanan Sambas terkenal besar sejak sultan Sambas yang pertama Sultan Muhammad Syafiuddin I (1631-1668 M). Kejayaan Kesultanan Sambas telah membesarkan nama negeri Sambas, sampai pada Sultan Sambas ke-15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943 M). Raden Muhammad Mulia Ibrahim adalah putra Pangeran Adipati Ahmad bin Sultan Muhammad Syafiuddin II. Pendidikan awal Raden Muhammad Mulia Ibrahim diperolehnya dari lingkungan keluarga terutama pendidikan yang diterapkan oleh kakeknya sendiri Sultan Muhammad Syafiuddin II dan ayahnya Raden Ahmad. Sebelum dinobatkan, pada tanggal 2 Mei 1931 M, Belanda mengikat kontrak politik dengan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, bahwa penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan Sambas harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang termaktub dalam Staatsblad Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan Korte Verklaring atau Akte Van Vereband. Kepada sultan sebagai Het Zelfbestuur dikuasakan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain untuk melaksanakan hukum agama Islam dan hukum adat. Adapun peran Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin dalam pengembangan Islam meliputi pembaruan di bidang pendidikan Islam, revitalisasi lembaga peradilan agama dan pranata sosial keagamaan. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui dan mengkaji kembali bagaimana peran Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, khususnya dalam revitalisasi lembaga peradilan agama di Kesultanan Sambas 1931-1943.