This paper discusses democratisation practiced in Surakarta, Indonesia, which has been claimed by many experts as a municipality with "best practices" of democratic local governance in Indonesia. Their analyses focus on the actors and claim that participation is a possible way of crafting stable democracy. This participation in turn, they suggest, is a result of decentralisation which thus strengthen local democracy. Presenting the civil society participation and the decentralisation in the city of Surakarta, this paper shows that what actually happens is otherwise. It argues that the rise of popular participation was rooted in contentious local politics. Besides, the constitution of the new forms of popular representation are not supported by, and produced within, a clear ideological framework from the people in Surakarta.
This paper attempts to map out the existing literature on the post-1999 political landscape at the local level. This literature review is made up by five key questions: (1) How is localising of power in Indonesia understood?; (2) How does power operate at local levels?; (3) What are the forces that shape Indonesian local politics?; (4) What are the prominent manifestations in Indonesian local politics?; (5) What are alternative political forces that possibly represent the setting up of the street demonstrations?; (6) What is the type of democratic governance format explored in the existing literature?
Democratisation in post-Suharto Indonesia has significantly improved political participation, lifting expectation of bringing better political representation. However, various studies prove that such representation is unable to be immediately achieved since the existing democratic institutions remain dominated by oligarchic groups. The societal struggle to gain representation, therefore, is increasingly becoming a critical issue in contemporary Indonesian politics. This article discusses the dynamics of such struggle through the strategy that we have developed and called 'mixed politics'. This refers to the blurring of borders between civil and political society, as well as formal and informal institutions.
Hidup seseorang dalam komunitasnya semakin sempurna ketika arsitektur memberi kepuasan, pemenuhan akan kemanfaatan dan pencitra-diri si subjek. Arsitektur sebagai hasil karya penciptaan memberikan pernaungan jasadi senyampang memenuhi tuntutan jiwa. Maka estetika, tentang keindahan dan sublimasi menjadi bahasan penting dalam pembentukan menemukan identitas subyektifnya. Pada perjalanan waktu identitas membeku menjadi sebuah alat bagi politik identitas dan identitas kedaerahan yang justru mengerdilkan nilai substansinya. Telaah ini didasarkan pada studi lapangan melalui kunjungan yang berinteraksi dengan obyek arsitektur Umah Bolon Simalungun. Analisis temuan di lapangan ditunjang oleh studi kepustakaan khususnya dibaca berdasarkan pandangan Slavoj Zizek tentang konstruksi pembentukan identitas subyektif melalui bahasa. Analisis dilakukan berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan diperkuat oleh rekaman foto untuk menemukan dimensi estetik berdasarkan reaksi visual dan pada pemahaman pengamat terhadap obyek tersebut. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa estetika arsitektur melampaui tuntutan kerja visual tetapi meluas menjadi bagian dari citra diri yang berasosiasi dengan sistem pertukaran komoditas material. Sistem yang secara ideologis menunjukkan adanya relasi yang tidak sewajarnya sehingga menyamarkan hubungan sosial antar kelompok dalam masyarakat sejauh komoditas merupakan objek yang dihasilkan lewat kerja kreatif. ; Hidup seseorang dalam komunitasnya semakin sempurna ketika arsitektur memberi kepuasan, pemenuhan akan kemanfaatan dan pencitra-diri si subyek. Arsitektur sebagai hasil karya penciptaan memberikan pernaungan jasadi senyampang memenuhi tuntutan jiwani. Maka estetika, tentang keindahan dan sublimasi menjadi bahasan penting dalam pembentukan menemukan identitas subyektifnya. Pada perjalanan waktu identitas membeku menjadi sebuah alat bagi politik identitas dan identitas kedaerahan yang justru mengerdilkan nilai substansinya. Telaah ini didasarkan pada studi lapangan melalui kunjungan yang berinteraksi dengan obyek arsitektur Umah Bolon Simalungun. Analisis temuan di lapangan ditunjang oleh studi kepustakaan khususnya dibaca berdasarkan pandangan Slavoj Zizek tentang konstruksi pembentukan identitas subyektif melalui bahasa. Analisis dilakukan berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan diperkuat oleh rekaman foto untuk menemukan dimensi estetik berdasarkan reaksi visual dan pada pemahaman pengamat terhadap obyek tersebut. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa estetika arsitektur melampaui tuntutan kerja visual tetapi meluas menjadi bagian dari citra diri yang berasosiasi dengan sistem pertukaran komoditas material. Sistem yang secara ideologis menunjukkan adanya relasi yang tidak sewajarnya sehingga menyamarkan hubungan sosial antar kelompok dalam masyarakat sejauh komoditas merupakan objek yang dihasilkan lewat kerja kreatif.