Suchergebnisse

The Government of Indonesia has legally revoked the legal status of the Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) organization, yet thousands of HTI members have embraced strong group identities and systematic resistance strategies. This article reveals the effectiveness of the Government's efforts and their impact on the sustainability or discontinuity of the HTI movement. Based on qualitative data extracted from field research in Gorontalo in 2018 and the theory of identity and resistance, this article reveals the collective identity of the HTI group, models of resistance, and change of space and strategy the members made after the disbandment of the organization. The official revocation has encouraged activists to take symbolic resistance through limited religious circles on campus and in villages, the use of various socio-religious activities in the community, and a door-to-door visit. The dominant narrative of the true meaning of Islam and the discipline of the five daily prayers has made this organization remains accepted in society even though it has been formally disbanded. The pattern of perpetuating ideology, narrative and organizational idealism is carried out through integrating or transforming other organizations; returning to the previous organization which is theologically not in conflict with HTI; applying HTI thoughts and ideology in the organizations they join currently; or leaving out formally from the HTI organization and operate HTI thoughts and ideology in individual life.

Sejarah Indonesia dan agama di Indonesia bersifat androsentrik, yaitu didominasi oleh dan tentang laki-laki, dan dengan demikian telah meminggirkan sejarah perempuan. Model sejarah yang androginis penting dikembangkan, yaitu model yang mengakomodasi suara dan cerita perempuan dan laki-laki serta memungkinkan mereka untuk memiliki tempat yang sama dalam sejarah tersebut. Tulisan ini menguraikan peran perempuan dalam sejarah Kerajaan Aceh dan mengkaji pengaruh agama dan gender dalam proses peminggiran perempuan. Aceh terkenal sebagai wilayah Islam dimana nilai-nilai agama dominan dan menjadi jantung dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di satu sisi, potret Ratu Aceh menarik karena Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Islam di dunia yang pernah mengakui perempuan sebagai pemimpin tertinggi kekuasaan politik dalam pemerintahan. Di sisi lain, nilai-nilai agama mewarnaimasyarakat Aceh, dan pada saat yang sama budaya patriarki menjadi jantung kehidupan politik. Budaya patriarki yang dominan menyebabkan perempuan termarginalisasi dalam kehidupan publik dan dalam sejarah. Agama dan gender memainkan peran penting dalam melegitimasi identitas kolektif dan pada saat yang sama diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks Aceh, perdebatan tentang kelayakanperempuan sebagai pemimpin dalam Islam telah memberikan kontribusi terhadap proses peminggiran perempuan. Peminggiran perempuan di arena politik dan kehidupan publik menjadi masalah serius karena berkelit kelindan dengan keyakinan agama yang androsentris, patrarkhi dan kepentingan politik.