Sejak awal penegakan kekuasaan Belanda di Nederlands Nieuw Guinea (Papua), Belanda menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung keberhasilan ekspansinya di wilayah itu. Salah satu kebijakan yang diterapkan Belanda di wilayah itu adalah pemekaran wilayah pemerintahan. Penegakan pemerintahan kolonial Belanda di NNG ditandai dengan pembangunan Afdeeling Nieuw Utara dan Afdeeling Nieuw Guinea Barat dan Selatan pada 1898. Pembangunan kedua afdeeling itu merupakan awal pemekaran wilayah pemerintahan kolonial di daerah itu. Kebijakan Belanda tentang pemekaran wilayah pemerintahan di Papua dari awal penegakan kekuasaan hingga akhir kekuasaannya didasarkan pada pertimbangan politis, ekonomis dan budaya. Namun, pemekaran wilayah yang dilaksanakan setelah kemerdekaan Indonesia, khususnya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda didasarkan pada pertimbangan politis.
This study discussed about the regulation of the Dutch colonial administration for its expansion in Nederlands Nieuw Guinea (NNG) between 1898 and 1962. The arrangement covered the expansion area, uniting and abolition of the government. This process began with the exploration activities, construction of infrastructure facilities and transportation/communication and recruitment of government officials. Construction of transportation and communication made local economy was increase. Government officials who stationed in the region must meet the specific requirements such as familiar with the area and experienced in their duties as well as having a high spirit of devotion. Territorial structuring was based on consideration of geographic/transportation access, culture, economic and political values of such area. Government policy on regional growth aims to shorten the span of colonial government control over territory and population of NNG and government's services that closer to the territory's population.Key words: Territorial regulation, expansion, NNG Penelitian ini mengkaji tentang peraturan pemerintahan kolonial Belanda atas segala bentuk ekspansi di Nederlands Nieuw Guinea (NNG) pada tahun 1898 dan 1962. Peraturan ini meliputi perluasan wilayah, menyatukan dan penghapusan pemerintah. Proses ini dimulai dengan kegiatan eksplorasi, pembangunan fasilitas infrastruktur dan transportasi / komunikasi dan perekrutan pejabat pemerintah. Pembangunan transportasi dan komunikasi membuat perekonomian lokal meningkat. Pejabat pemerintah yang ditempatkan di wilayah tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu seperti akrab dengan daerah dan berpengalaman dalam tugas-tugas mereka serta memiliki semangat pengabdian tinggi. Penataan wilayah didasarkan pada pertimbangan geografis / akses transportasi, budaya, ekonomi dan nilai-nilai politik daerah tersebut. Kebijakan pemerintah mengenai pertumbuhan regional bertujuan untuk memperpendek rentang kendali pemerintah kolonial atas wilayah dan penduduk NNG dan jasa pemerintah yang lebih dekat dengan penduduk wilayah itu. Kata kunci: pearaturan teritorial, perluasan wilayah, NNG
Penerapan Politik Etis di Hindia Belanda dan krisis ekonomi dunia menyebabkan kemerosotan ekonomi para Indo-Belanda di Jawa, sehingga mendorong sebagian kaum Indo-Belanda miskin untuk mencari daerah sebagai sumber penghidupan baru ke Nederlands Nieuw Guinea (NNG). Dengan demikian sebelum kemerdekaan Indonesia, faktor ekonomi merupakan penyebab kolonisasi Indo-Belanda ke NNG. Sedangkan motivasi kolonisasi Indo-Belanda setelah kemerdekaan Indonesia adalah faktor politik yaitu kekhawatiran para Indo-Belanda tentang kedudukannya dalam ketatanegaraan Indonesia, sehingga mereka berkeinginan untuk menjadikan NNG sebagai tanah air baru bagi mereka. Namun keinginan itu tidak tercapai karena tuntutan Indonesia atas wilayah NNG semakin meningkat, sehingga para kolonis Indo-Belanda terpaksa melakukan repatriasi atau migrasi daerah itu.
This study emphasizes on inter-religious affairs happened in Bunga Bondar, South Tapanuli began to experience turmoil when thenational movement era started in 1908 and itstillhappens to present-day. The Dutch colonial government advocated for inter-religiousharmony at a local level. The policy was pursued by the the Dutch colonial government out offear that the Indonesian people would developa sense of unity and fraternityamong them, thereby intensifying thespirit of nationalism. The Dutch government's concern eventuallycame true when the power of the Christian wingof the national movement cooperated with itsIslamic counterpart. Along with the political upheavalsand social changes experienced by the Indonesian people, the harmony between religious groups in various regions was affected. Despite migration, changes of central and local leadership, and the flow of modernization that took place, the dynamics of inter-religious harmony of the 1930s are still present today.The tradition, the spirit of harmony, leadership models, and the application of local wisdom are all the key to the survival of inter-religious harmony in Bunga Bondar, South Tapanuli, as findings in research that can be used as a guide or model to build national integrity.