Jurnal peradaban: jurnal resmi Pusat Dialog Peradaban Universiti Malaya
ISSN: 1985-6296
504 Ergebnisse
Sortierung:
ISSN: 1985-6296
Abstract: In 1989 Francis Fukuyama with his article The End of History? In the journal The National Interest revolves a speculative thesis that after the West conquered its ideological rival, hereditary monarchy, fascism and communism, the constellation of the world of international politics reached a remarkable consensus to liberal democracy. A few years later, Samuel P. Huntington came up with a more provocative thesis that ideological-based war would be a civilization-based war in his article, The Clash of Civilizations? In the journal Foreign Affairs. It reveals that in the future the world will be shaped by interactions among the seven or eight major civilizations of Western civilization: Confucius, Japan, Islam, Hinduism, Orthodox Slavs, Latin America and possibly Africa. Huntington directed the West to pay particular attention to Islam, for Islam is the only civilization with great potential to shake Western civilization. Departing from the above hypotheses, this paper will specifically discuss the bias of Fukuyama and Huntington's thesis on Islam, and how its solution to build a dialogue of civilization by taking the paradigm of dialogue from Ibn Rushd and Raghib As-Sirjani. Abstrak: Pada tahun 1989 Francis Fukuyama dengan artikelnya The End of History? Dalam jurnal The National Interest revolusioner tesis spekulatif bahwa setelah Barat telah menaklukkan lawan-lawan ideologisnya, monarki herediter, fasisme dan komunisme, konstelasi politik internasional mencapai konsensus yang luar biasa untuk demokrasi liberal. Beberapa tahun kemudian, Samuel P. Huntington muncul dengan tesis yang lebih provokatif bahwa perang berbasis ideologis akan menjadi perang berbasis peradaban dalam artikelnya, The Clash of Civilisations? Dalam jurnal Luar Negeri. Ini mengungkapkan bahwa di masa depan akan dibentuk oleh interaksi antara tujuh atau delapan peradaban utama peradaban Barat: Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia Ortodoks, Amerika Latin dan mungkin Afrika. Perhatian Huntington pada Islam adalah potensi terpenting untuk mengguncang peradaban Barat. Berangkat dari hipotesis di atas, makalah ini akan secara khusus membahas bias tesis Fukuyama dan Huntington tentang Islam, dan bagaimana mereka akan mengambil paradigma dialog dari Ibn Rushd dan Raghib As-Sirjani.
BASE
Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa yunani merupakan pusat peradaban tertua di Eropa. Tingginya tingkat peradaban Yunani itu dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu keadaan alamnya, penduduknya dan lain sebagainya.Daerah Yunani terletak diujung tenggara benua Eropa. Sebagian besar kepulauan di laut Aegea dan Laut Ionia masuk wilayah Yunani. Di sebeelah utara, Yunani berbatasan dengan Albania, Yugoslavia, Bulgaria, dan Turki di daratan Eropa. Di sebelah timur, Yunani dikelilingi oleh Laut Aegea, di sebelah selatan dengan Laut Tengah, dan di sebelah barat dengan Laut Ionia. Yunani beriklim Laut Tengah yang nyaman.Bangsa Yunani merupakan pencampuran darah antara bangsa pendatang dari padang rumput sekitar Laut Kaspia dan penduduk asli yang mengusahakan pertanian. Bangsa-bangsa pendatang itu merupakan rumpun bangsa Indo-Jerman. Mereka dikenal dengan nama bangsa Hellas yang terdiri atas suku bangsa Duria, Achaea, Aeolia, dan Ionia.Pada masa kejayaan Yunani (476-338 SM) banyak dibangun kuil dengan gaya Doria. Athena Tata pemerintahan Athena digariskan oleh Solon (549 SM). Negarawan ini melakukan beberapa pembaruan antara lain menghapus perbudakan dan memulihkan hak rakyat sipil. Jika di Sparta para warga mempunyai kewajiban untuk melayani Negara sepenuhnya, maka di Athena hak warga Negara dijamin oleh Negara. Kegiatan serta perhatian setiap warga Sparta hanya ditujukan untuk tugas-tugas pemerintahan dan pertahanan Negara, sedangkna warga Athena sangat besar perhatiannya terhadap kemajuan seni, olahraga, ilmu pengetahuan, dan filsafat.Kata Kunci: peradaban yunani kunoABSTRACTThe high level of civilization of Greece was affected by several factors, namely natural state, its inhabitants and other Greek sebagainya.Daerah located the southeastern tip of continental Europe. Most of the islands in the Aegean and Ionian Sea enter Greek territory. In sebeelah northern Greek borders with Albania, Yugoslavia, Bulgaria, and Turkey in Europe. In the east, Greece is surrounded by the Aegean Sea, to the south by the Mediterranean Sea, and on the west by the Ionian Sea. Greece temperate Mediterranean Sea nyaman.Bangsa Greece is mixing of blood among the immigrants from the pasture around the Caspian Sea and the natives who cultivate the farm. Nations settlers are clumps of the Indo-German. They are known by the name of Hellas nation consisting of ethnic Duria, Achaea, Aeolian, and Ionia.Pada heyday of Greece (476-338 BC) built many temples in the style DoriaAthena governance outlined by Solon of Athens (549 BC). These statesmen did some updates among others abolished slavery and restore the rights of civilians. If in Sparta citizens have an obligation to serve the country completely, then in Athens the rights of citizens guaranteed by the State. Activities and concern every citizen of Sparta is intended only for the duties of government and the country's defense, sedangkna Athenians had great attention to the progress of the arts, sports, science, and philosophy.Keyword: : civilization of Greece
BASE
Salah seorang Guru Besar Ilmu Pemerintahan di Harvard University, Amerika Serikat,Huntington,berpendapat bahwa kebanyakan ahli politik, melihat perbedaan antar negara-bangsa, ideologi, dan ekonomi sebagai faktor-faktor utama yang menentukan percaturan politik global. Padahal, katanya, ada gejala yang menunjukkan bahwa percaturan politik dunia mendatang akan lebih ditentukan oleh adanya perbedaan-perbedaan antara peradaban itu, yaitu agama.Huntington memprediksi bahwa konflik yang mewarnai politik dunia, tidak lagi terpusat di negara-negara yang berperadaban Barat Kristen,tetapi antara peradaban Barat dan peradaban selainnya, yaitu Islam, Konfusius, Kristen Ortodoks-Slavia, Hindu, dan Budha,Afrika, dan Amerika Latin. Sumber utama konflik dunia baru, kata Huntington, tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan, karena peradaban terdeferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi adalah oleh agama. Namun demikian, meskipun perbedaan peradaban terutama yang menyangkut agama, diramalkan Huntington sebagai sumber konflik antarperadaban, dalam realitanya ternyata tidak sepenuhnya agama menimbulkan benturan, karena pada masing-masing agama yang berbeda itu terdapat unsur universal yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Adanya perbedaan tersebut tak mesti dikedepankan sebagai sumber benturan, karena dalam perspektif al-Qur'an, perbedaan yang masuk katagori sunatullah itu,lebih berkonotasi koeksistensi damai, untuk saling kenal-mengenal. Untuk itu yang diperlukan sekarang adalah dialog antar-peradaban dengan melakukan komunikasi lintas-budaya, sehingga kita mafhum bahwa ada "peradaban" lain yang sesungguhnya hadir di tengah-tengah peradaban kita yang perlu dihormati dan diakui haknya untuk berbeda. ; Salah seorang Guru Besar Ilmu Pemerintahan di Harvard University, Amerika Serikat,Huntington,berpendapat bahwa kebanyakan ahli politik, melihat perbedaan antar negara-bangsa, ideologi, dan ekonomi sebagai faktor-faktor utama yang menentukan percaturan politik global. Padahal, katanya, ada gejala yang menunjukkan bahwa percaturan politik dunia mendatang akan lebih ditentukan oleh adanya perbedaan-perbedaan antara peradaban itu, yaitu agama.Huntington memprediksi bahwa konflik yang mewarnai politik dunia, tidak lagi terpusat di negara-negara yang berperadaban Barat Kristen,tetapi antara peradaban Barat dan peradaban selainnya, yaitu Islam, Konfusius, Kristen Ortodoks-Slavia, Hindu, dan Budha,Afrika, dan Amerika Latin. Sumber utama konflik dunia baru, kata Huntington, tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan, karena peradaban terdeferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi adalah oleh agama. Namun demikian, meskipun perbedaan peradaban terutama yang menyangkut agama, diramalkan Huntington sebagai sumber konflik antarperadaban, dalam realitanya ternyata tidak sepenuhnya agama menimbulkan benturan, karena pada masing-masing agama yang berbeda itu terdapat unsur universal yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Adanya perbedaan tersebut tak mesti dikedepankan sebagai sumber benturan, karena dalam perspektif al-Qur'an, perbedaan yang masuk katagori sunatullah itu,lebih berkonotasi koeksistensi damai, untuk saling kenal-mengenal. Untuk itu yang diperlukan sekarang adalah dialog antar-peradaban dengan melakukan komunikasi lintas-budaya, sehingga kita mafhum bahwa ada "peradaban" lain yang sesungguhnya hadir di tengah-tengah peradaban kita yang perlu dihormati dan diakui haknya untuk berbeda.
BASE
Peradaban adalah bentuk budaya paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat yang dibedakan secara nyata dari makhluk-makhluk lainnya, Agama (baca Islam) adalah faktor terpenting yang me- nentukan karakteristik suatu peradaban. Peradaban mencerminkan kualitas kehidupan manusia dalam masyarakat. Kualitasnya diukur dari ketentraman (human security), kedamaian (peacefull), keadilan (justice), kesejahteraan (welfare) yang merata. Perwujudan keadilan sosial politik ekonomi dan budaya tidak akan sempurna dengan agen- da yang serampangan, tetapi ia akan matang jika dilakukan secara sadar dan terencana, karena itu Negara berkewajiban memberikan pelayanan dan kepastian hukum yang setara terhadap kehidupan ma- syarakat yang beragam tersebut (keberagaman adalah sunnatullah; QS. Al-Hujarat [49]:13). Tekad masyarakat untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara yang bertujuan melindungi segenap bangsa masyarakat dalam satu Negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana ter- tera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, memiliki esensi dalam membangun dan mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu, Sumber daya manusia yang terampil memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, berbudaya dan bermoral yang berakar dari Agama yang berkembang di suatu Negara. Ada tiga bentuk masyarakat sejahtera yang dicatat oleh Al-Quran dan ditegaskan oleh para ulama, ketiga bentuk tersebut memiliki perbedaan satu sama lain dalam karakteristik, sifat-sifat, landasan dan tiang pe- nyangga yang menjadi sandaran (Dr. M. Ahmad Khalafallah; Hakaza Yabni al-Islam, 2008)
BASE
Before the advent of Islam, Spain was inhabited by various nations, including the Suevi and the Celts who were one family with the original inhabitants of England, Scotland and Ireland. Apart from these nations, the Cartaghe, Romans and Vandals also inhabited the land. With a background of political conflict, Governor Vandal invited the Arabs to flock to Andalusia to carry out an invasion through the command of Thariq bin Ziyad and at that time Islam recorded a victory. From then on, Spain was a very important center of Islamic civilizatio rivaling Baghdad in the East. The existence of Islam in a country known as the country of Matador has had a significant impact on various aspects, especially in the aspects of knowledge and technology. In fact, it is advances in science and technology that support the success of his political mission.
BASE
Pada millenium ketiga ini, seni mengalami situasi paradoksal : di satu sisi konon ia 'telah berakhir' ('The end of art' kata Arthur Danto dll), di sisi lain seni melebur ke dalam kehidupan sehari-hari, menjadi apa pun juga. Di satu sisi, dalam konstelasi teknokultur hari ini seni selalu dianggap sekedar hal sekunder –seperti tampak dalam kurikulum pendidikan umum-, di sisi lain pada strata masyarakat papan atas seni justru diapresiasi sebagai simbol kemewahan dan keberadaban. Situasi ini menarik, memaksa kita meninjau kembali keterkaitan antara seni dan kehidupan. Barangkali sebenarnya yang berakhir hanyalah pemisahan ketat antara 'seni tinggi' dan 'seni populer' yang semakin lama semakin dirasa artifisial dan tendensius, yang juga tidak sesuai dengan kenyataan perkembangan 'seni tinggi' itu sendiri. Barangkali juga yang sebenarnya menghilang hanyalah pretensi 'eksklusif' dari dunia seni itu, sebab dalam kenyataannya kini seni justru dianggap sebagai paradigma utama yang lebih tepat untuk memahami berbagai fenomena kreatif pokok dalam dunia manusia, sejak fenomena kreatif dalam sains, teknologi, industri, ekonomi, hingga politik, gaya hidup dan agama. Dunia manusia tetaplah dunia yang diciptakan dan'dibuat-buat'nya sendiri alias dunia yang di'seni'kannya. Barangkali akhirnya seni memang bukan hanya soal 'keindahan', melainkan lebih perkara 'kebenaran', kebenaran tentang bagaimana hidup ini ditafsirkan dan dimaknai secara khas oleh manusia. Extension Course Filsafat kali ini hendak merenungi dan mengkaji lebih jauh posisi seni yang paradoksal itu, untuk memperjelas seberapa penting sesungguhnya seni itu dalam kehidupan kita kini.
BASE
In: Society, Band 2, Heft 1, S. 15-25
ISSN: 2597-4874
Although Indonesia suffered from European colonization like most of East Asian countries in the past, its civilizational characteristic is distinct from that of its closest neighbors such as Malaysia, Singapore, and Brunei Darussalam. As a nation, Indonesia is poorer in terms of discipline, law enforcement, and economy. This writing proposes a hypothesis that the cause of such distinction is not the different colonizers. Instead, it is Indonesia"s attitude towards its colonizer that makes it different. In a sense, Malaysia, Singapore, and Brunei Darussalam were "given" freedom by the British Empire, while Indonesia obtained its freedom by force, followed by the removal of all traces of its colonizer, which include the old European values. It was reborn and began its new life as a baby, experiencing multiple dying dots and faltered several times. To survive, Indonesia began its complicated, vicious cycle of involution while its neighbors began their evolution. There are three things that must be done to stop the cycle and enforce an evolutive Indonesian civilization. First, the leaders of this country should learn the reason behind the current poor condition of Indonesia, so they can restrain themselves from making the wrong moves. Second, the implementation of the system should be more repressive at certain times, to enforce discipline and law. Third, it is important to learn that democracy can come in many colors since all nations have different natures and needs.
Peradaban Islam pernah berjaya pada abad VII-XIV Masehi. Banyak karyakarya besar ilmuwan Muslim antara lain seperti Al Biruni (fisika, kedokteran), Jabir Haiyan (kimia), Al-Khawarizmi (matematika), Al Kindi (filsafat), Ibnu Khaldun (politik, sosiologi), Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Rusyd (filsafat), dan lain sebagainya. Namun kejayaan Islam tersebut disabotase oleh Barat dan diklaim sebagai milik mereka. Barat dengan berbagai ideologi seperti materialisme, kapitalisme, liberalisme, sekularisme dan sebagainya justru gagal dan menenggelamkan peradaban Islam hingga saat ini. Namun, dengan berkembangnya berbagai tesis para tokoh non-Islam seperti Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington yang menyimpulkan berubahnya siklus ideologi dari Barat ke Islam sebagai alternatif ideologi masa depan, ditambah lagi dengan hasil riset Pew Forum on Religion and Public Life Januari 2011 tentang menguatnya jumlah populasi komunitasmuslim dunia yang diprediksi tahun 2030 akan bertambah dua kali lebih cepat dibandingkan penduduk non muslim, maka bukan tidak mungkin peradaban Islam akan lahir dari Indonesia sebagai negara terpadat ke-4 dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Apalagi Indonesia bercirikan pluralistik sama dengan Madinah zaman Rosul. Skenario grand design untuk menata kembali peradaban Islam bisa dimulai dari bumi Indonesia di era mendatang. Ada beragam tawaran solusi konsep, langkah konkret, strategi dan metodologi untuk mengarah pada upaya menata peradaban Islam, antara lain pertama, adanyaperubahan mainsett, kesadaran kolektif serta ketauladanan para tokoh dan pemimpin. Kedua, membangun dialog antar-agama (interfaith dialogue).Ketiga, mengadopsi kultur Nabi di Madinah. Keempat, penegakan supremasi hukum tanpa tebang pilih. Kelima, membumikan sikapinklusifisme. Keenam, retrospeksi menyeluruh di internal umat Islam. Kata kunci : , , , , , ,mainsett, kesadaran kolektif,, , , .
BASE
Abstract: Indonesia's Islamic higher education has a strategic position in developing the future of Indonesian civilization. The institution which was established in the era of independence has been as a part of Indonesia education system following the policies and regulations made by the government. Pendidikan tinggi Islam mengalami dinamika dan pengembangan antara lain dari STAIN/IAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri/Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). The Islamic High Education has been experiencing dynamical changes and developments which started from Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri/ Institute Agama Islam Negeri (STAIN/IAIN) which are then changed into Universitas Agama Islam Negeri (UIN). In addition, private Islamic high school and private Islamic university have also developed. And their existence continues to develop up to this era of globalization. The globalization era is indicated by the massive development of sciences and technology creating a borderless world where people can communicate each other easily in a distance places. . This globalization era is also marked by an open economy with its system of capitalism that has brought human being to easily fulfill their sexual libido. Now days, Islamic high education also exists amid international trades, including bilateral trade among Asian countries that should be responded in order to produce qualified graduates. Although the role of Islamic High Education has not given an optimal contribution to the nation, this research attempts to describe its existence and history since its birth in independence. With all of its potentials it has, Islamic High Education provides human resources in all aspects of life. It is not impossible for Islamic high education, as a part of nation, to bring Indonesia to reach its civilization peak. Like the civilization that had happened several decades ago, that is, in the era of the Umayyad and the Abbasid, was a good example of Islamic golden era that should be achieved back. الملخص: كان التعليم العالي الإسلامي الإندونيسي مصدرا مهمّا في تكوين الحضارة الإندونيسية في المستقبل. وأصبح هذا التعليم العالي الإسلامي – القائم منذ بداية عهد استقلال إندونيسيا – كقسم من أقسام النظام التربوي الإندونيسي عبر الأنظمة والقوانين التي قررتها الحكومة، ثم تطوّر من اسم STAIN/IAIN إلى أن يكون باسم الجامعة الإسلامية الحكومية UIN. وبجانب ذلك وتطوّر كذلك STAIS و UIS. وكان التعليم العالي الإسلامي تطوّر في عصر العولمة هذا. واتّسم عصر العولمة بتطوّر العلوم والتكنولوجيا وأدت العولمة إلى انفتاح الحياة البشرية للاتصال بأناس آخرين في الأماكن الأخرى البعيدة. وتتّسم العولمة كذلك بالإقتصاد المتفتّح التابع للنظام الرأسمالي الذي يؤدّى إلى أن يكون الناس أحرارا في الأداء الجنسي. وكان التعليم العالي الإسلامي في وسط التجارة العالمية وفيها العلاقات الاقتصادية بين الدول في آسيا التي لابد من الاهتمام بها ليُخرّج التعليم العالي الإسلامي الخرّيجين المتفوّقين. حاولت هذه الدراسة عرض التعليم العالي بتاريخه الطويل ومنذ نشأته في بداية عهد الاستقلال الإندونيسي، إلا أن دوره في الشعب الإندونيسي لم يكن فعّالا. وبما لدى التعليم العالي الإسلامي من الامكانات والطاقات أعدّ هو الموارد البشرية في جميع نواحي الحياة، ولا يستحيل أن يكون هو قسما من هذا الشعب ليحمله إلى حضارته كالحضارة التي وصل إليها المسلمون في عهد خلافة بني أمية وبني عبّاسية. Abstrak: Pendidikan Tinggi Islam Indonesia merupakan wahana yang penting dalam pembentukan peradaban Indonesia masa depan. Lembaga yang didirikan sejak awal kemerdekaan ini telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional melalui peraturan dan perundangan yang dibuat oleh pemerintah. Pendidikan tinggi Islam mengalami dinamika dan pengembangan antara lain dari STAIN/IAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri/Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Juga berkembang Sekolah Tinggi Islam Swasta (STAIS) dan Universitas Islam Negeri (UIS). Eksistensinya terus berkembang di era globalisasi sekarang. Era Global, ditandai oleh berkembangnya IPTEK yang membuat kehidupan manusia terbuka bergaul dengan manusia lain di tempat yang jauh. Era globalisasi juga ditandai ekonomi yang terbuka yang menganut sistem kapitalisme yang juga membawa manusia menghumbar libido seknya. Pendidikan tinggi Islam kini juga di tengah perdagangan internasional termasuk perdagangan antar Negara Asia yang harus direspon oleh pendidikan tinggi Islam agar memproduk lulusan yang berkualitas.Penelitian ini bertujuan menggambarkan pendidikan tinggi Islam dengan sejarahnya yang cukup yang panjang yang lahir sejak era kemerdekaan, hanya saja perannya belum optimal di tengah bangsa ini, dengan berbagai potensi yang dimilikinya pendidikan tinggi menyiapkan sumber daya manusia di semua bidang kehidupan, tidak mustahil pula akan menjadi bagian dari bangsa ini membawa Indonesai menuju ke peradabannya. Seperti peradaban keemasan Islam yang pernah lahir beberapa abad yang lalu di era Bani Umayyah dan Abbasiyah.
BASE
Human rights and democracy according to Islamic and western values; papers of an international dialog between Muslims and westerners to review Samuel Huntington's opinion on the clash of civilizations