Pada hakekatnya, VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) didirikan dengan tujuan tidak lain kecuali berdagang. Demi kepentingan usaha dagangnya, hal yang paling esensial adalah upaya intervensi VOC terhadap penguasa lokal (raja dan bupati), pertama-tama lewat jalur politik dengan menggunakan kewenangan dan kekuasaan mereka. Lalu, meminjam tangan penguasa lokal itu untuk menguasai sektor-sektor ekonomi adalah pilihan yang paling masuk akal. Untuk kepentingan ini, karenanya politik yang dijalankan VOC adalah mengalihkan dan memindahkan kekuasaan para penguasa lokal dan loyalisnya kepadanya. Demikianlah, pengaruh yang mula-mula disemai lewat perjanjian dengan sultan-sultan Cirebon merupakan strategi pembukanya. Melalui perjanjian-perjanjian ini, di samping melakukan intervensi kebijakan politik, VOC juga mulai menguasai dan mendominasi sektor-sektor penting perekonomian Kesultanan Cirebon, seperti bea cukai, ekspor impor dan yang paling strategis adalah proses produksi dan penyerahan hasil produksi pertanian sebagai komoditas utama.
ABSTRAKSistem politik pada negara-negara pascakolonial saat ini, yang telah dibagun atas dasar kontruksi berfikir berbasis moderisasi, demokratisasi dan liberalisasi justru memunculkan terciptanya sistem politik otoritian yang semakin digdaya. Kontruksi teoritis seharusnya menjadi semacam main reference dalam mengarahkan dan memandu perpolitikan Indonesia. Munculnya konsep negara-bangsa yang pada akhirnya mempersatukan orang-orang Indonesia dari beraneka ragam bahasa, budaya dan etnis ke dalam satu unit politik dan kesadaran akan kesamaan berkembang dalam diri masyarakat Indonesia. Identitas politik yang bernama negara-bangsa ini menginginkan terciptanya suatu bentuk kekuatan dan kekuasaan yang terpusat dan integral demi kepentingan politik bersama. Hal tersebut memunculkan falsafah yang sering dikampanyekan yaitu "Bhineka Tunggal Ika", ke-Bhinneka-an dipandang sebagai hal yang harus dilampaui untuk mencapai yang Tunggal.Kata Kunci: Reinventing, Politik Otoritarian, Ideologi Totaliterianisme, Negara-Bangsa, Bhineka Tunggal Ika.
Keterlibatan pesantren dan kyai dalam hal politik selalu menarik untuk diperbincangkan dan menimbulkan pro dan kontra. Apalagi perbincangan itu muncul dari masyarakat sekitar pesantren sendiri, baik penduduk sekitar pesantren, alumni pesantren maupun walisantri. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan tafsir dan ijtihad politik pesantren dengan mengambil lokasi di pesantren Buntet yang merupakan salah satu pesantren tertua di Jawa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan cara pengambilan data wawancara terhadap sumber yang terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa Pondok pesantren sebagai lembaga dakwah yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat sangat menarik perhatian para politisi sebagai bidikan untuk mengangkat suara partai politiknya. Atas dasar itu pula, maka kemudian muncul pandangan masyarakat yang pro dan kontra mengenai keterlibatan pesantren dan kyai dalam persoalan politik praktis. Kata Kunci: Ijtihad Politik, Pesantren Buntet, Kyai
Abstrak: Cirebon merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir pantai utara jawa, dimana sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Profesi ini tentu saja bergantung pada sekali pada sumber daya alam, dalam hal ini adalah laut yang meruopakan open access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan mesti berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, yang dengan demikian elemen resiko menjadi sangat tinggi. Kondisi sumber daya yang beresiko tersebut menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka. Dan bagi nelayan, kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut sangat menentukan keberlanjutan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan hidup mereka. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan ekologi politik masyarakat Cirebon, dengan mengambil lokasi penelitian di desa Citemu kecamatan Mundu Cirebon. Kata Kunci: Ekologi Politik, Masyarakat Pesisir
Abstrak: Pada akhir abad ke-19 paham liberalisme ekonomi ala Barat terdengar gaungnya oleh pemerinah Hindia-Belanda. Paham itu mengubah kebijakan ekonomi pemerintah dari yang semula kerja paksa menjadi industrialisasi. Masuknya investasi swasta telah mengubah tanah-tanah perkebunan menjadi pabrik-pabrik dan mengubah buruh-buruh tani bumi putra menjadi buruh-buruh pabrik. Kebijakan pemerintah itu mendapat kritik dari kaum kiri yang berpaham Marxisme di Belanda. Kritik itu berhasil mendesak pemerintah untuk memberlakukan kebijakan politik 'balas-budi' atau eticshe politic. Kebijakan ini lah yang kemudian menjadi awal masuknya paham Marxisme di Indonesia. Kebijakan politik etis telah membuka kran terbentuknya perkumpulan-perkumpulan di Hindia-Belanda. Sneevliet, seorang anggota kaum kiri Belanda masuk di Indonesia membawa paham Marxisme dengan mendirikan Indische Social Democratische Vereniging (ISDV). Pengaruh ISDV sampai pada Sarekat Islam (SI) yang saat itu memiliki basis massa yang banyak, yang kemudian membentuk SI-Merah. Oleh perkumpulan ini Marxisme menemukan kesamaan dengan ajaran Islam. Keduanya bertemu pada kesamaan pada perjuangan pembebasan kaum lemah. Analisis perjuangan kelas dalam Marxisme digunakan untuk menginterpretasi ayat-ayat al-Qur'an. Misalnya, Hadji Misbach menafsirkan surat al-Humazah menemukan dua kontradiksi kelas, antara kaum uang dan kaum mustadl'afin yang disebabkan oleh fitnah kapitalisme berupa kesengsaraan rakyat. Selain itu Marxisme juga memengaruhi pemikiran tradisi Jawa, yang memunculkan semboyan 'Sama Rata-Sama Rasa' dan 'Bangkitnya Kaum Kromo'. Dua semboyan ini bertemu pada gagasan Marx tentang "masyarakat tanpa kelas" yang tertuang dalam Babad Tanah Jawa-nya Marco Kartodikromo. Paham ini melahirkan para pejuang revolusi di Hindia-Belanda. Mereka menyebarkan gagasan Marxisme dan melakukan aksi-aksi pengorganisasian rakyat, terutama pada kelompok buruh pabrik. Perjuangan itu telah sampai pada pembentukan organisasi revolusioner yang bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Kata kunci: marxisme, kapitalisme, imperialisme, ISDV, PKI.
Secara geografis, masyarakat pesisir atau nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Secara sosiologis, mereka memiliki karakteristik sosial yang berbeda dengan masyarakat lainnya, karena perbedaan karakteristik sumberdaya yang dimiliki. Kesejahteraan secara ekonomi masyarakat pesisir sangat bergantung pada sumberdaya perikanan baik perikanan tangkap di laut maupun budidaya, yang hingga saat ini aksesnya masih bersifat terbuka (open access), sehingga kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut menentukan keberlanjutan kondisi sosial ekonomi mereka. Membicarakan masyarakat nelayan hampir pasti isu yang selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik. Kemiskinan yang selalu menjadi trade mark bagi nelayan dalam beberapa hal dapat dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, rentannya mereka terhadap perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa yang datang. Disamping itu, kemiskinan mereka juga diakibatkan oleh masalah kerusakan ekosisitem pesisir-laut yang berdampak serius terhadap menipisnya sumberdaya perikanan. Masalah lain yang tak kalah penting dalam kegiatan ekonomi nelayan, terutama terkait operasional penagkapan ikan adalah persoalan modal usaha untuk menyediakan segala kebutuhan kegiatan penagkapan ikan, seperti bahan bakar kapal, alat-alat penagkap ikan dan sebagainya. Bagi masyarakat nelayan, khusunya nelayan kecil atau nelayan tradisional, kebutuhan akan modal usaha, yang bisa diakses atau yang bisa didayagunakan setiap saat tersebut, sangat tinggi. Kondisi ini merupakan respon atas besarnya biaya investasi di sektor perikanan tangkap, sedangkan perolehan pendapatan tidak pasti dan tingkat penghasilan bervariatif. Dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang harus dipenuhi setiap hari, nelayan tidak memiliki tabungan dana yang mencukupi jika suatu saat harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sarana-prasarana penangkapan yang mereka gunakan mengalami kerusakan dan membutuhkan biaya perbaikan yang cukup besar. Keterbatasan pemilikan dana kontan inilah yang kemudian mendorong nelayan terperangkap dalam jaringan hutang piutang yang kompleks, khususnya kepada para rentenir atau penyedia kredit informal.