There are two functions of the state liability principle. The first is to secure individual rights (including economic rights) from a wrongful act conducted by a government, and the second is to compensate for damage caused by the infringement of individual right. Economic right is inherently allowing an individual to pursue economic interest both domestically or globally. In order to accommodate this right, a government is obliged to provide trade rules and mechanisms for every individual to conduct their global economic activities by participating in the WTO. The objective of the WTO significantly corresponds to the individual's right in order to obtain trade benefits. Hence, when a government infringes trade rules and mechanisms underlined in WTO Law, it will directly restrict individuals from gaining trade benefits under the WTO or, moreover, it will restrain individuals from enjoying their inviolable economic rights. When the right is violated, and the damage occurs, it thus leads to the obligation for the government to compensate the damage according to the state liability principle. This article discusses the nexus between the state liability principle and WTO Law, in order to encourage national courts to exercise the function of state liability by referring to the infringement of economic rights caused by the violation of WTO Law.
The main objective of WTO Law is to accommodate individual's right in order to obtain better benefit of international trade. However, when a government violates WTO Law, it is therefore causing deprivation of individual right itself. Direct effect seems to be a feasible doctrine to provide a judicial protection for individual, in order to rebalance the right that is violated. Nevertheless, this doctrine is intractable to imply. This article discuss the polemic of giving direct effect of WTO Law and DSB Decision to domestic law to provide judicial protection for individual who becomes victim of WTO violation conducted by government
Small Medium Entreprises (SMEs) and Cooperative have not received a proper law protection in facing trade liberation of ASEAN Economic Community (AEC) and economic globalized world. In 2015 AEC has been established that would bring a huge change in Southeast Asia regionS and definitely will have a wide impact to business people in Indonesia. SMEs and Cooperative contribute to more than 90 percent of total Indonesian national economy. However, they are weak on investment and information technology and management skill as well as competition law among ASEAN Member States. Economic policies do not give a sufficient protection to SMEs and Cooperative. This article tries to seek solutions for SMEs problems especially their legal structure in order to enhance their competitiveness. This article argues that the government can provide legal protection by reforming SMEs economic sectors similar to the AEC's priority sectors by which the Indonesian' SMEs would become world class corporate.
Selain memiliki dimensi sosial ekonomi, konflik agraria di Bongkoran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia, juga memiliki dimensi hukum. Terdapat dualisme hukum yang konfliktual dalam hal penguasaan tanah dan klaim penggunaan. Satu pihak, pemerintah, dan korporasi mengandalkan hukum negara yang legalistik-positivistik, sedangkan masyarakat lokal mengandalkan hukum rakyat yaitu hukum informal yang sudah ada, hidup, dan berkembang dalam masyarakat komunal secara turun-temurun. Penelitian ini berfokus pada bagaimana perspektif sosiologis hukum menganalisis konflik hukum yang terjadi dalam konflik agraria Bongkoran, khususnya antara hukum negara dan hukum rakyat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan perspektif sosiologi hukum. Subjek penelitian adalah petani/masyarakat Bongkoran, Penasehat Hukum Masyarakat, Pemerintah (Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, dan Kepolisian), dan unsur korporasi (PT Wongsorejo). Informan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling, berdasarkan pertimbangan tertentu yang dapat dikenali terlebih dahulu yaitu mengenali dan memahami masalah yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan mengacu pada perspektif yang telah disajikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian konflik agraria di Bongkoran memerlukan implementasi hukum yang lebih berkeadilan bagi masyarakat lokal. Implementasi hukum tidak hanya berdasarkan pasal-pasal yang rigid dalam undang-undang, tetapi perlu memperhatikan konteks sosial budaya dan historis dari masyarakat. Dominasi hukum negara atas hukum rakyat dalam konflik agraria mengakibatkan praktik penundukan hukum negara ke hukum rakyat, baik secara persuasif maupun represif. Oleh karena itu, untuk meminimalisir ketegangan dan konflik antara hukum negara dan hukum rakyat dalam konflik agraria, diperlukan pemahaman baru tentang hubungan kedua hukum tersebut. Keberadaan dan penegakan hukum rakyat dijadikan sebagai elemen yang saling melengkapi dalam aspek normatif yang belum diatur dalam hukum negara. ; Apart from having a socio-economic dimension, agrarian conflicts in Bongkoran, Banyuwangi Regency, East Java Province, Indonesia, also have a legal dimension. There is a dualism of law that is conflictual in terms of land tenure and use claims. One party, the government, and corporations rely on legalistic-positivistic state laws, while local people rely on folk law, namely informal laws that have existed, lived, and developed in communal society for generations. This research focuses on how the sociological perspective of law analyzes the legal conflicts that occur in Bongkoran agrarian conflict, particularly between state law and folk law. This research used a qualitative method with a legal sociology perspective. The research subjects were farmers/people of Bongkoran, Community Legal Advisors (CLA), Government (Local Government, National Land Agency, and Police), and corporate elements (PT Wongsorejo). Informants were selected using a purposive sampling technique, based on certain considerations that can be recognized beforehand, namely recognizing and understanding the problem under this research. Data collection was conducted through observation, in-depth interviews, and documentation. The collected data were analyzed qualitatively by referring to the perspectives that have been presented. The results indicated that the resolution of agrarian conflicts in Bongkoran requires the implementation of laws that are more just for local communities. The implementation of the laws is not only based on rigid articles in the law, but it needs attention to the socio-cultural and historical context of the community. The dominance of state law over folk law in agrarian conflicts results in the practice of subjugation of state law to folk law, both persuasively and repressively. Therefore, to minimize the tension and conflict between state law and folk law in agrarian conflicts, it is necessary to have a new understanding of the relationship between the two laws. The existence and enforcement of folk law are used as a complementary element in normative aspects that have not been regulated in state law.
GEMPITA pilkada gemuruhnya tengah memekakkan telinga publik. Mimpi dan imaji dibaurkan dalam "pentas demokrasi" sebagai arena memanggungkan janji-janji. 171 daerah membentuk formasi menyongsong "suksesi kepemimpinan lokal" berbiaya tinggi. Fenomena mahar politik tidak terbendung memenuhi jalan rekomendasi partai. Sengkurat kian beranjak dengan paslon-paslon yang tertindih derap korupsi dari ruang kesumat tahta dan harta. OTT KPK terberitakan dalam pekabaran tanpa jeda atas problema "kerakusan" paslon pilkada. Partai-partai tampak menarasikan "kesuciannya", sementara rakyat senantiasa mendapatkan suguhan mengenai "najisnya" pergulatan pasangan. Mahalnya sesi perhelatan pilkada mengkonstruksi ingatan yang konklusif betapa "berharganya jabatan". Apalagi posisi kepala negara. Pilpres tidak mungkin menafikan diri bebas dari "kerumunan persekutuan bandar". Itulah yang mudah dieja oleh khalayak di kala membaca lembar demi lembar kisah jelang coblosan di bentara pilkada.
Keabsahan demokrasi seyogianya berbanding lurus dengan perbaikan kehidupan sosial, lingkungan dan ekonomi. Tahun 2014 ini telah dinisbatkan oleh publik sebagai Tahun Politik dengan helatan coblosan 9 April (pileg) dan 9 Juli (pilpres). lni merupakan babakan demokrasi yang harus diapresiasi dengan segala implikasinya terhadap pelaksanaan pemba,rgunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, sosial dan lingkungan. Terhadap pelaksanaan pemilu ini ada sesuatu yang mengkhawatirkan secara ekologis. Berjuta-luta ton sampah plastik dari alat peraqa katnpanye yang berjajar dari Aceh sampai Papua dapat membahayakan keseimbangan ekosistem nasional. Kontestan yang tidak ramah lingkungan dalam bahasa yang hiperbolik dapat mengguncang tatanan ekologis lndonesia. Dan inilah yang sedang dipentaskan.
TULISAN ini merupakan permenungan atas realitas yang memperhinakan peradaban bangsa. Korupsi merayapi seluruh koordinat institusi negara yang jumawah kuasa dengan harta dan tahtah. Khalayak menyaksikan betapa korupsi menjadi produk keserakahan "modal maupun otoritas legal" yang menjalar di tubuh negara. Simaklah korupsi yang diungkap KPK selama ini, termasuk korupsi sektor: pertambangan, layanan umum, e-KTP, serta para penikmat dana BLBI, adalah orang-orang yang berbilang "sang kuasa" kapital. Kasus skandal BLBI yang "naik-turun" pengungkapannya, dana pungut dan sogokan yang melintas di pojok-pojok "terminal" kota, serta transaksi sumber daya alam di bumi Papua yang belum tergoyahkan, sungguh telah membelalakkan mata publik.
Regional autonomy granted on local government to regulate and administer the governmental affairs in order to improve the efficiency and effectiveness of public services. To do so, the local government is authorized to collect taxes from its people. This research aimed to investigate the problematic of provincial tax collection in order to increase the own- source revenue of autonomous areas in Indonesia. The collection of local taxes is still not optimal. Thus, some necessary actions for betterment need to conduct, such as: a). Improving the human resources of tax authorities in terms of their capability in planning and monitoring the collection of taxes; b) Using technology of information to provide a fast and efficient services; and c) Enforcing the law to each of the taxpayers who violate the regulation of provincial taxes.
In Islamic law, khamr is a common type of alcoholic beverage that is forbidden for consumption due to its elements that can intoxicate and lead to loss of self-control. The government of Indonesia also forbids people from consuming the intoxicating beverage in certain levels. Nevertheless, a community group in Batu Payuang Halaban, Lima Puluh Kota Regency, West Sumatra Province, Indonesia, wherein their daily lives can be found a type of traditional beverage as same as khamr that is a fermented juice of sugar palm bunches. The people call it "tuak". This research aims to investigate how the people of Nagari Batu Payuang produce aia niro and tuak, their motives for buying, selling, and consuming the drink, and judging it from the perspective of Islamic law (hadd al-syurb). This type of research is field research with a qualitative approach. Data sources consisted of primary and secondary. The data collection was conducted by observing the process of producing aia niro, tuak, and the transaction, and in-depth interviews with owners of sugar palm plantation, tuak producers, buyers, sellers, consumers, and local ulama (Islamic scholars). The data were analyzed in descriptive by reduction, display, and verification. To examine this research, the theory used was the concept of hadd al-syurb in Islamic law and the regulation on alcoholic beverages in Indonesia. The results show that aia niro is produced by extracting the bunches of male sugar palm and it is the raw material to produce tuak by leaving the aia niro in jerry cans and adding agarwood bark for 3 days. The sellers have various reasons to sell tuak and its raw materials. Besides the price is higher than brown sugar, it is also motivated by personal and other economic reasons as well as easier processing. People who drink tuak realize that it is intoxicating in a certain amount but they drink it to warm their bodies and relieve their fatigues. In the concept of hadd al-syurb, consuming tuak as an intoxicating substance is haram (forbidden) and is condemned to those who drink it. However, they who trade it are not punished by hudud since the Sunna proposition only refers to the transaction as an act of curse. ; Dalam konteks hukum Islam, khamr adalah salah satu jenis minuman yang dilarang untuk dikonsumsi karena mengandung unsur yang dapat memabukkan dan menghilangkan fungsi akal. Pemerintah Indonesia juga melarang masyarakat mengkonsumsi minuman memabukkan dalam kadar tertentu. Meskipun demikian, ada kelompok masyarakat di Batu Payuang Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, yang dalam keseharian mereka ditemukan jenis minuman tradisional yang berfungsi sama dengan khamr. Mereka menyebutnya dengan nama tuak yang berasal dari fermentasi air perasan tandan aren. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara masyarakat Nagari Batu Payuang memproduksi aia niro dan tuak serta mengetahui alasan mereka melakukan jual beli dan mengkonsumsinya, kemudian menilainya dari sudut pandang hukum Islam (hadd al-syurb). Jenis penelitian adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Sumber data terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi proses pembuatan aia niro, tuak dan jual belinya, wawancara mendalam dengan pemilik kebun aren, produsen tuak, pembeli, penjual, konsumen dan ulama lokal. Data dianalisis secara deskriptif dengan cara reduksi, display dan verifikasi. Teori yang digunakan untuk menelaah kajian ini adalah konsep hadd al-syurb dalam hukum Islam dan pengaturan minuman keras di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara produksi aia niro adalah dengan menyadap tandan bunga jantan dan airnya digunakan untuk membuat tuak dengan cara mendiamkan aia niro itu dalam jeriken dan menambahkan kulit kayu gaharu selama 3 hari. Para penjual memiliki alasan yang beragam ketika menjual tuak maupun bahan bakunya. Selain harganya lebih tinggi dari gula merah juga karena alasan pribadi dan ekonomis lainnya serta proses pengolahannya yang lebih mudah. Masyarakat yang suka meminum tuak mengetahui bahwa tuak itu memabukkan dalam jumlah tertentu tetapi mereka meminumnya hanya untuk memanaskan tubuh dan menghilangkan rasa penat. Dalam konsep hadd al-syurb, mengkonsumsi tuak sebagai zat yang memabukkan adalah haram dan dihukum hudud orang yang meminumnya. Tetapi orang yang memperjualbelikannya tidak dihukum hudud karena dalil Sunah hanya menyebut jual belinya sebagai perbuatan yang dilaknat.